Mohon tunggu...
Cristina Yolanda
Cristina Yolanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - student

ir stud

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rasisme dalam Kacamata Internasional

4 Juni 2023   21:32 Diperbarui: 4 Juni 2023   21:38 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia budaya populer diramaikan dengan dirilisnya film remake live action terkenal dari Disney, yaitu The Little Mermaid. Film ini ramai karena banyaknya celaan yang menghampiri pemeran utama dalam film tersebut. Halle Bailey  merupakan pemeran utama dari film tersebut, merupakan aktris keturunan Afrika-Amerika. 

Tagar #NotMyAriel memenuhi jagat dunia maya dikarenakan pemilihan Halle Bailey sebagai pemeran utama tidak sesuai dengan versi orisinil dari versi kartun The Little Mermaid. Film ini terus menuai banyak kontroversi sampai film ini resmi dirilis pada 24 Mei 2023.

Apa yang terjadi terhadap Halle Bailey sebagai Ariel dalam film The Little Mermaid merupakan salah bentuk dari rasisme. Namun, meskipun dianggap sebagai tindakan rasisme pemilihan Halle Bailey yang berkulit gelap sebagai Ariel juga merupakan bentuk dari ‘Woke Culture’ yang menekankan konsep keadilan pada orang-orang berkulit gelap. Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan rasisme?

Rasisme merupakan bentuk diskriminasi atas suku, ras, agama, dan warna kulit  yang berdampak kepada kebebasan individu maupun kelompok. Rasisme lekat dengan prasangka keliru mengenai suatu ras terhadap ras lain. Rasisme memiliki dimensi, dilansir dari laman resmi milik Amnesty Internasional yang mengutip dari Lilian Green, pendiri North Star Forward Consulting rasisme terdiri dari beberapa dimensi. Dimensi yang pertama adalah Rasisme Internal, rasisme ini merujuk sesuatu dari dalam seorang individu baik cara pandang dan berperilaku yang dilakukan secara secara sadar maupun tidak, contohnya menyetujui prasangka negatif akan suatu ras, agama, suku, dan warna kulit. Dimensi rasisme selanjutnya adalah rasisme interpersonal, dimensi ini merupakan tindakan rasisme yang dilakukan secara langsung seperti menghina dan melakukan diskriminasi dimana tindakan ini akan mempengaruhi interaksi publik yang bersinggungan.

Dimensi yang ketiga adalah dimensi rasisme institusional, dimensi terjadi pada institusi politik, ekonomi, hukum yang menyebabkan ketidaksetaraan (diskriminasi), contohnya adalah proses perekrutan pekerja yang mementingkan suatu agama atau suku tertentu. Dimensi Rasisme Sistemik merupakan dimensi yang terakhir, sebenarnya dimensi ini merupakan dimensi yang cukup mirip dengan dimensi institusional, tetapi rasisme sistematik lebih menekankan kepada kebijakannya.

Sepanjang sejarah, rasisme merupakan hal yang tidak pernah luput dari kehidupan manusia. Di berbagai belahan dunia isu rasisme merupakan hal yang cukup sensitif  keberadaannya. Perkembangan rasisme berkaitan erat dengan hubungan internasional, beberapa faktor berkembangnya rasisme juga ikut dipengaruhi oleh arus internasional. Beberapa  faktor adanya rasisme adalah adanya mitos serta rasionalitas dimana pembedaan ras sudah terjadi sejak lama dan lahir atas pemikiran mengenai keunggulan ras yang akhirnya menghasilkan peraturan yang ‘rasis’. Salah satu contohnya adalah adalah pergerakan NAZI Jerman yang beranggapan bahwa ras Arya merupakan ras yang unggul dan tidak boleh ada ras lain yang mengungguli ras Arya. 

Berkembangngnya kolonialisme bangsa Eropa juga merupakan faktor yang menyebabkan adanya rasisme. Karena adanya penjajahan kolonial, banyak penduduk asli dari wilayah yang dijajah diambil hak dan kebebasannya karena adanya anggapan bahwa penduduk asli tidak memiliki kekuatan serta pengetahuan sehebat para penjajah kolonial (Yenita Irab, 2007).  

Rasisme tentu berbahaya dan berdampak sangat negatif.  Rasisme menghilangkan kesempatan individu maupun kelompok untuk mendapatkan berbagai kemudahan untuk mengakses sistem institusional. Pada beberapa kasus rasisme, banyak yang pada akhirnya berujung pada kekerasan seperti penyiksaan dan jika terus terjadi tentu saja rasisme akan menyebabkan konflik terbuka yang akan semakin mencemarkan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Rasisme juga membuka lebar adanya impunitas, karena beberapa kasus rasisme dilakukan oleh para aparat dan banyak aparat yang bebas dari hukuman yang seharusnya didapat. 

 Rasisme dalam Perspektif Realisme 

Stereotipe akan ras, suku, agama, dan warna kulit terkadang dipandang sebagai sesuatu yang wajar karena setiap orang berpegang pada prinsip bahwa setiap individu memiliki pandangan sendiri terhadap orang lain. Stereotipe adalah awal dari pemisahan hak atas seorang individu dengan individu lainnya. Thomas Hobbes, pemikir realisme terkenal mengemukakan bahwa  masyarakat akan selalu barbar dan miskin merupakan kondisi alami dari negara berdaulat. Mungkin apa yang disampaikan oleh Hobbes merupakan pandangan non-rasisme dan dapat berlaku secara umum, tetapi Errol Henderson (2007) mengkritisi dan mempertimbangkan pemikiran Hobbes mengenai rasisme dalam kajian Hubungan Internasional. 

Hobbes mungkin berpikir bahwa orang-orang yang biadab dan barbar merupakan penduduk asli dari suatu wilayah dan bukan masyarakat kulit putih ini menimbulkan supremasi kulit putih. Pemikiran Realisme mengacu tindakan yang berorientasi pada keuntungan suatu negara meskipun sistem dalam negara tersebut mengalami ketimpangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun