Heracletos (540 -- 480 seb. M) filsuf Yunani kuno mengatakan, "Nothing endures but change" "Tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri."
Tahun-tahun akhir masa pemerintahan Jokowi mencuat isu hangat presiden tiga priode yang menjadi konsumsi publik. Para pakar dengan disiplin ilmunya masing-masing mencoba membedah isu ini hingga kedengarannya makin ramai.
Saya senyum-senyum sendiri ketika membaca argumen dan pendapat dari berbagai kalangan. Ada yang mewacana presiden tiga priode, ada juga yang memunculkan isu penundaan pemilu.
Sebagai salah satu dari sekian banyak orang yang puas dengan kinerja Jokowi, saya merasa terusik juga dengan wacana ini. Bila ditangan Jokowi ada perubahan yang signifikan, adanya pembangunan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia, mengapa tidak?
Peluang Jokowi untuk merasakan masa jabatan presiden menjadi tiga periode sangat terbuka. Sebab, hampir seluruh partai politik kini berada dalam kekuasaan Jokowi. Karena itu, bila ada usulan untuk amandemen UUD 1945 maka saya kira presiden tiga priode bukan sekedar wacana.
UUD tahun 1945 membuka ruang untuk di lakukannya sebuah amandemen, sebagaimana yang di termaktub pada pasal 37 Undang Undang dasar tahun 1945.
Pada ayat (1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurangkurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.