Mohon tunggu...
Kris Fallo
Kris Fallo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku Jalan Pulang, Penerbit Gerbang Media, 2020

Menulis itu pekerjaan keabadian. Pramoedya Ananta Toer berkata:  'Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.' Lewat tulisan kita meninggalkan kisah dan cerita yang tak akan sirna.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Potret Pendidikan Perempuan, antara yang Real dan yang Ideal

2 April 2021   18:42 Diperbarui: 2 April 2021   18:45 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto.dok.pribadi/perempuan dianggap hebat bila pandai menenun

 Eksistensi perempuan di dunia jaman dulu, sering kali tidak diperhitungkan. Perempuan sering dipandang lemah, atau manusia kelas dua. Mereka sama sekali tidak diberi peran. Dalam dunia pendidikan pun sama, pada zaman penjajahan, hanya kaum pria yang boleh sekolah.

Kenyataan ini mulai berubah, Sejak zaman Kartini, kaum perempuan mulai mendapat tempat di berbagai bidang. Kaum hawa, mulai diizinkan untuk menempuh pendidikan tinggi. Ada aturan yang mengikat, tentang penerimaan tenaga kerja quota perempuan dalam pemerintahan, politik, swasta, perusahaan plat merah, dan tempat strategis lainnya.

Pemberian kebebasan dan peran merupakan bagian dari upaya kita untuk memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Selalu dikampanyekan upaya kesamaan hak dan derajat antara kaum hawa dan kaum adam.

Memang fakta masa lampau perlahan-lahan ditepis, tetapi secara riil, praktek semacam itu masih membekas dan kita temukan di kampung-kampung yang masih terisolasi.

Saya sendiri merasakannya di dalam keluarga. Yang diprioritaskan untuk melanjutkan pendidikan adalah kaum pria. Sementara pendidikan perempuan dibatasi. Mereka cuman diberi ketrampilan memasak, menenun, menjahit, dan keterampilan lain yang dianggap sesuai.

Kita mengidealkan persamaan derajat antara pria dan wanita. Idealnya harus demikian. Karena itu, berbagai aspek telah diupayakan untuk kesetaraan gender.

foto.dok.pribadi/Mempromosikan hasil temunan sendiri
foto.dok.pribadi/Mempromosikan hasil temunan sendiri
Faktor utama mengapa keseteraan gender sulit diperjuangkan:

1. Budaya kita adalah budaya patrilinial. Hal ini selalu menempatkan laki-laki lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan kaum perempuan. Yang selalu diutamakan adalah pria. Perempuan selalu dinomor duakan, padahal sudah gencar diperjuangkan di mana-mana.

2. Hal yang turut mempengaruhi masalah gender adalah masalah kehidupan sosial ekonomi. Perempuan sering dipandang lemah, tak berdaya berhadapan dengan pria. Perempuan identik dengan kelembutan, sementara pria identik dengan kekuatan dan keperkasaan.

Memang secara keseluruhan masalah gender sudah bisa diatasi, tetapi di kampung-kampung yang masih terisolir dan sangat kental dengan budaya, kenyataan ini masih kita temukan.
Idealnya harus ada persamaan hak dan derajat retapi realnya praktek menomorduakan perempuan masih ada.

Bagi saya kita bisa mengatasi masalah ini, hanya lewat jalur pendidikan. Pendidikan yang baik bagi kaum perempuan dengan sendirinya mengangkat derajatnya di mata masyarakat. Maka saran saya untuk kaum perempuan adalah, raihlah pendidikan setinggi-tingginya. Jangan cepat-cepat memilih menjadi ibu rumah tangga. Salam Kartini.

Atambua, 02.04.2021

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun