Hari ini saya berkesempatan mengunjungi Kelas Tenun Ikat Nunupu, tepatnya di Kuneru, Atambua. Sungguh luar biasa, meski dengan peralatan seadanya.
Anastasia Theodora Mau dan Viktoria Naimau, penggagas Kelas Tenun Ikat Nunupu berkisah, "Awalnya jumlah anak sedikit saja. Tapi, begitu mulai latihan tenun, ada beberapa anak yang mau bergabung, mulai dari umur SD, SMP, sampai SMA."
"Aktivitas tenun dilakukan setiap hari Rabu dan Jumat dalam seminggu, dengan waktu 2 jam setiap harinya. Kalau kelamaan waktunya, dikhawatirkan anak-anak merasa jenuh." Pintah mereka berdua.
Saya menyaksikan sendiri, alat-alat tenunan dan bahan yang digunakan masih seadanya. Alat-alat tenun, dikumpulkan dari pengrajin tenun sedangkan, bahan yang dipakai masih menggunakan benang-benang bekas.
Yang menarik bagi saya adalah, di sanggar ini anak-anak usia sekolah, dilatih untuk menenun kain adat setempat. Jadi, mereka tidak hanya mencintai budayanya tetapi juga melestarikan budaya yang terancam punah.
Di rumah Belajar Kreatif ini, (rumah Nunupu), anak-anak didampingi mulai dari pengenalan alat-alat tenun, bahan-bahan yang digunakan, mengurai benang, hingga melatih mereka untuk bertenun. Biasanya dimulai dari yang paling mudah, yakni menenun kain selendang, (kain tenun ukuran kecil) hingga yang paling sulit yakni berukuran lebar.
Kita harus jujur mengakui bahwa untuk generasi sekarang bisa dihitung dengan jari, berapa yang benar-benar mahir menenun. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di satu sisi membawa kemajuan tetapi di sisi lain membawa dekadensi budaya. Bahkan bila tidak dirawat dengan mewariskan kepada anak-cucu, lambat laun akan memudar dan menghilang dari peradaban manusia.
Kita tidak bisa memutar balikkan fakta sejarah. Jaman dulu hampir semua ibu atau mama menjadikan tenun sebagai mata pencaharian. Ciri khas seorang ayah adalah bekerja di kebun, sementara untuk kaum perempuan yang sudah berkeluarga, selain bekerja di dapur tetapi juga menambah penghasilan suami dengan bertenun dan menghasilkan kain tenun untuk dipasarkan.
Bahkan lebih kuno lagi, seorang perempuan baru bisa diijinkan menikah bila sudah mahir dalam bertenun dan menghasilkan kain tenun. Jika tidak, ia dianggap belum layak atau matang untuk berkeluarga.
Seiring perkembangan jaman, peradaban manusia pun turut mengalami pergeseran. Pandangan dulu sudah tidak berlaku untuk jaman sekarang, mau menikah tidak harus mahir bertenun. Belum lagi pandangan sekarang, dikatakan gaul, ngetop, bila berpenampilan modis, ikut gaya dan perkembangan jaman.