Mohon tunggu...
Kris Fallo
Kris Fallo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku Jalan Pulang, Penerbit Gerbang Media, 2020

Menulis itu pekerjaan keabadian. Pramoedya Ananta Toer berkata:  'Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.' Lewat tulisan kita meninggalkan kisah dan cerita yang tak akan sirna.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Benarkah Presiden Jokowi Melegalkan Miras?

2 Maret 2021   12:07 Diperbarui: 2 Maret 2021   12:35 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar kompas com/Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat sedang memegang miras Sopia di Undana Kupang

Ramai diperbincangkan di media soal Presiden Jokowi melegalkan miras. Banyak tanggapan muncul, termasuk tanggapan yang menolak keputusan presiden.

Tanggapan menolak, investasi dan izin minuman keras, (miras), datang dari Partai Keadilan Sejahtera, (PKS), disampaikan oleh Mardani Ali Sera melalui cuitan di akun Twitter miliknya pada Sabtu, 27 Februari 2021.

"Pelonggaran izin industri miras membahayakan generasi muda bangsa. Memang negara perlu investasi, tapi jangan yang membahayakan masa depan bangsa," cuit Mardani Ali Sera, dikutip PikiranRakyat-Tasikmalaya.com dari Twitter @MardaniAliSera.

Sebenarnya kita harus tahu apa dasarnya Jokowi melegalkan miras:

Pertama, Harus kita sadari bahwa negara Indonesia terbentuk dari latar belakang budaya, adat istiadat yang berbeda-beda. Contoh masyarakat NTT. Orang NTT membutuhkan minuman keras, (sopi), dalam setiap kesempatan acara adat.

Adanya sopi, karena tuntutan adat, bukan intensinya untuk mabuk-mabukan. Dalam setiap acara adat, entah nikahan, duka, dan urusan lainnya, pasti dibutuhkan sopi. Harus ada sopi dan sirih-pinang di atas meja, baru dimulainya pembicaraan atau kesepakatan adat.

Atas contoh ini maka, dilarang sekalipun masyarakat tetap memproduksi sopi untuk kebutuhan adat dan acara lainnya.

Kedua, Menyangkut pelegalan miras ini, sesugguhnya telah diatur dalam Peraturan Presiden. Hal itu ditandai dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.

"Merujuk Pasal 6 Perpres 10/2021, industrimirasyang termasuk bidang usaha dengan persyaratan tertentu itu dapat diusahakan oleh investor asing, investor domestik, hingga koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Namun, investasi asing hanya dapat melakukan kegiatan usahanya dalam skala usaha besar dengan nilai investasi lebih dari Rp 10 miliar di luar tanah dan bangunan. Selain itu, investor asing wajib berbentuk perseroan terbatas (PT) berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia."(Kompas, 28.02.2021).

Gambar Lintasntt.com.Sopi dalam acara adat di Perbatasan RI-RDTL
Gambar Lintasntt.com.Sopi dalam acara adat di Perbatasan RI-RDTL
Atas kebijakan itu, pemerintah membuka pintu untuk investor baru baik lokal maupun asing untuk minuman beralkohol di 4 provinsi yakni Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua. Jadi Faktanya bukan untuk semua wilayah di Indonesia.

Menurut saya, hal ini baik karena adanya peraturan presiden yang bisa mengikat dan mengatur soal miras dan soal impor miras. Kita tahu selama ini, banyak minuman impor dengan biaya pajak besar, dan bukan tidak mungkin hal ini bisa dimanupulasi, tetapi bila diawasi langsung oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah maka, segala kemungkinan buruk dapat dipangkas.

Ketiga, Pemerintah melegalkan miras untuk empat provinsi yakni, Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua, jadi bukan seluruh wilayah Indonesia. Mengapa empat provinsi? karena empat provinsi ini dengan latar belakang agama berbeda jadi tidak ada urusannya dengan halal dan haram. Lagi pula secara budaya mengijinkan. Kita contohkan saja DKI Jakarta, memiliki saham terbesar dalam minuman Anker Bir.

Lagi-lagi kita mencontohkan NTT. Semenjak Viktor Laiskodat menjadi gubernur, beliau telah memproduksi secara legal miras, dengan nama sopia, bahkan berlabel pemerintah provinsi NTT. Menurut saya langkah gubernur NTT baik karena untuk memajukan usaha mikro. Asumsi gubernur sama, daripada kita impor mengapa kita tidak memproduksi miras yang berkwalitas untuk diekspor, karena ada potensi di masyarakat, dimana selama ini mereka memproduksi mandiri, untuk kebutuhan sendiri dan dengan harga yang berbeda-beda. Bila diatur oleh pemerintah setempat maka soal harga dan jalur pasaran bisa diawasi.

Saya berpikir presiden Jokowi, tidak memiliki intensi agar masyarakat boleh mengkases dan mengkonsumsi miras tanpa batas hingga membahayakan kesehatan, tetapi legalkanya miras semata-mata untuk menggenjot UKM, dan penanaman modal bagi pemerintah daerah.

Pemerintah pusat melegalkan, tetapi tetap ada peraturan daerah, dalam hal ini gubernur dan bupati untuk mengatur lebih lanjut. Jadi bila ada izinan dari kepala daerah ya disilahkan, tetapi bila tidak ada izinan dari kepala daerah dengan pertimabangan masuk akal, itu juga tidak masalah, intinya setiap kebijakan tidak merugikan merugikan dan membahayakan masyarakat, itulah yang paling penting. Seperti kata presiden, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.

Jadi, bila ada pertanyaan apakah benar Jokowi melegalkan miras, ya, agar bisa diataur dan sehingga tidak merugikan dan membahayakan masyarakat.

Atambua, 02.03.2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun