Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), atau dikenal juga dengan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (R-HAP), merupakan salah satu jawaban pembuat kebijakan, dalam hal ini adalah eksekutif dan legislatif dalam melakukan reformasi dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Hal tersebut terasa wajar, mengingat Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia yang telah berlaku sejak tahun 1981, telah dirasa perlu untuk melakukan pembaharuan atas perkembangan hukum Indonesia saat ini.
Meskipun mendapatkan pro-kontra dalam pembentukannya, Rancangan KUHAP menjadi bahasan penting dalam hal reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia. Salah satu hal penting yang dapat dijadikan bahasan penting dalam reformasi sistem peradilan pidana adalah tingginya beban perkara yang membuat aparat penegak hukum Indonesia, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bekerja keras dalam penyelesaiannya. Hal tersebut tentu akan membuat sistem peradilan pidana menjadi lebih lama dan berbiaya mahal untuk diselesaikan. Adapun hal tersebut tentu saja berlawanan dengan asas sederhana, cepat dan biaya ringan yang menjadi asas peradilan yang mendasar dari pelaksanaan sistem peradilan pidana Indonesia.
Pembaharuan hukum acara pidana di Indonesia menjadi bagian dari penataan regulasi yang telah dicanangkan oleh Pemerintah melalui agenda revitalisasi hukum yang bertujuan demi kepentingan masyarakat secara umum dengan menghilangkan peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, disharmoni dan multitafsir. Perubahan KUHAP merupakan salah satu agenda pembangunan hukum nasional guna mengatasi berbagai permasalahan di bidang hukum, hal ini sejalan dengan visi dan misi pemerintahan saat ini sebagaimana terangkum dalam nawacita yang berbunyi “Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya” yang kemudian diperkuat dalam arah kebijakan dan strategi pembangunan hukum Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019 melalui: pertama, meningkatnya kualitas penegakan hukum dalam rangka penanganan berbagai tindak pidana, mewujudkan sistem hukum pidana dan perdata yang efisien, efektif, transparan, dan akuntabel bagi pencari keadilan dan kelompok rentan, dengan didukung oleh aparat penegak hukum yang profesional dan berintegritas; kedua, terwujudnya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak atas keadilan bagi warga negara.
Kemudian, kebutuhan akan efisiensi peradilan di Indonesia ditunjukan dengan semakin menumpuknya berkas perkara persidangan di pengadilan tingkat pertama di Indonesia. Berdasarkan data yang dirilis oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, bahwa kisaran tumpukan berkas perkara yang terdapat di pengadilan pertama seluruh Indonesia mencapai kurang lebih 25 ribu kasus. Pilihan atau solusi atas permasalahan tersebut berupa penyederhanaan dan percepatan prosedur beracara, sudah menjadi pilihan mutlak dalam penyelesaian permasalahan mengenai penumpukan berkas perkara di peradilan.
Revisi KUHAP sangat penting untuk dilakukan demi progresivitas hukum untuk melindungi hak-hak warga negara. KUHAP yang diundangkan pada tahun 1981 telah menunjukkan beberapa kekurangan dalam penerapannya, terutama dalam hal perlindungan hak-hak tersangka selama proses hukum. Contohnya, ketidakpastian waktu yang digunakan untuk mendefinisikan "segera" dalam pasal mengenai penangkapan serta lamanya waktu penahanan tanpa persetujuan pengadilan menunjukkan adanya potensi pelanggaran hak-hak individu.
Proses hukum yang tidak optimal ini bisa menyebabkan seseorang yang tidak bersalah mengalami penahanan yang berkepanjangan dan tidak adil. Oleh karena itu, revisi KUHAP menjadi sangat penting untuk memastikan adanya kejelasan prosedur dan perlindungan hak asasi manusia dalam penegakan hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H