Mohon tunggu...
Hanna
Hanna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Legal Opinion

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Opini: Dinamika Perlindungan Anak Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

4 Juni 2024   20:49 Diperbarui: 4 Juni 2024   20:58 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Anak merupakan aset negara yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, namun bagaimana jika aset yang seharusnya di lindungi oleh negara tetapi longgar dalam peraturan yang berlaku. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) merupakan langkah penting dalam memperkuat jaring pengaman bagi anak-anak di Indonesia. UU ini memuat berbagai ketentuan untuk melindungi anak dari berbagai bentuk kekerasan, eksploitasi, dan penelantaran.

UU Perlindungan Anak bukan sekadar kumpulan pasal dan ayat, melainkan sebuah tumpuan penting yang mengukuhkan hak-hak fundamental anak. Di dalamnya, tercantum pengakuan dan jaminan atas hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan anak; hak untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, dan bermain; serta hak untuk berpartisipasi. Hak-hak ini tidak hanya dilindungi di atas kertas, tetapi juga diwujudkan melalui berbagai ketentuan yang dirancang untuk memastikan kesejahteraan anak di berbagai aspek kehidupan.

Salah satu poin penting dalam UU Perlindungan Anak adalah ditegakkannya sistem perlindungan anak yang lebih komprehensif. Sistem ini tidak hanya melibatkan pemerintah, tetapi juga menggandeng keluarga, masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat. Kolaborasi multi-stakeholder ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang.

Namun bagaimana jika UU Perlindungan Anak malah kendor dan tidak memiliki daya yang maksimal dalam melindungi anak dalam berbagai macam tindak pidana yang ada. Sanksi yang lebih tegas ini diharapkan dapat memberikan efek jera dan mencegah terjadinya kembali tindak pidana tersebut. Hal ini sejalan dengan prinsip keadilan restoratif yang ingin memulihkan hak-hak anak yang telah dilanggar. perjalanan UU Perlindungan Anak masih panjang. Implementasinya di lapangan masih dihadapkan dengan berbagai tantangan. Kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak anak dan pentingnya perlindungan anak menjadi salah satu hambatan utama. Selain itu, keterbatasan sumber daya, baik dari segi anggaran maupun personel, juga menjadi faktor yang menghambat efektivitas pelaksanaan UU tersebut.

Oleh karena itu, diperlukan upaya kolektif dan berkelanjutan dari semua pihak untuk memastikan UU Perlindungan Anak dapat diimplementasikan secara maksimal. Sosialisasi dan edukasi tentang hak-hak anak dan pentingnya perlindungan anak perlu dilakukan secara masif dan berkelanjutan. Peningkatan sumber daya juga menjadi kunci untuk mendukung implementasi UU ini. Dan yang tak kalah penting, koordinasi yang kuat antar pihak yang terlibat dalam sistem perlindungan anak, seperti keluarga, masyarakat, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat, harus terus diperkuat.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) menggunakan pendekatan penal dan non penal untuk menanggulangi kekerasan, eksploitasi, dan penelantaran anak.


Pendekatan Penal:

  • Sanksi pidana yang tegas bagi pelaku tindak pidana terhadap anak. UU Perlindungan Anak mengatur berbagai macam tindak pidana terhadap anak, seperti kekerasan fisik, psikis, dan seksual; eksploitasi ekonomi dan seksual; penelantaran; dan perdagangan anak. Tindak pidana tersebut diancam dengan hukuman pidana penjara dan/atau denda yang berat.
  • Peningkatan efek jera: Sanksi pidana yang berat diharapkan dapat memberikan efek jera bagi para pelaku dan mencegah terjadinya kembali tindak pidana terhadap anak.
  • Penegakan hukum yang efektif: Efektivitas UU Perlindungan Anak sangat bergantung pada penegakan hukum yang efektif. Aparat penegak hukum harus dapat menangani kasus-kasus kekerasan terhadap anak dengan profesional dan cepat.

Pendekatan Non Penal:

  • Pencegahan: Pendekatan non penal lebih berfokus pada upaya pencegahan terjadinya kekerasan, eksploitasi, dan penelantaran anak.
  • Sosialisasi dan edukasi: Sosialisasi dan edukasi tentang hak-hak anak dan pentingnya perlindungan anak perlu dilakukan secara masif dan berkelanjutan. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai cara, seperti kampanye publik, seminar, dan penyuluhan di sekolah dan masyarakat.
  • Peningkatan kapasitas keluarga dan masyarakat: Keluarga dan masyarakat merupakan garda terdepan dalam melindungi anak. Dengan membekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan yang tepat, diharapkan keluarga dan masyarakat dapat mengenali tanda-tanda kekerasan terhadap anak dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi anak.
  • Pemenuhan hak-hak dasar anak: Pemenuhan hak-hak dasar anak, seperti hak atas pendidikan, kesehatan, dan bermain, dapat mengurangi kerentanan anak terhadap kekerasan, eksploitasi, dan penelantaran.
  • Kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM): UU Perlindungan Anak mendorong kerjasama dengan LSM yang bergerak di bidang perlindungan anak. LSM dapat berperan dalam memberikan pendampingan kepada anak korban kekerasan, melakukan advokasi kebijakan, dan mengelola layanan pengaduan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun