Mohon tunggu...
Anissa Nichan Putri
Anissa Nichan Putri Mohon Tunggu... -

Tulisan saya membosankan. Tak seindah senja yang tak pernah ingin dilewatkan. Demi segala nama. Senja adalh perpisahan terbaik walau berurai air mata langit.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Prama dan Secangkir Kopi

16 April 2014   05:23 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:37 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari sudah larut. Mataku bergelanyut pada setitik rendah dipelupuk malam. Namaku masih sama. Rona. Tak kusangka aku sudah mematung disni sejak sore tadi. Kemacetan Ibu kota seolah jadi alasan ampuh bagiku. Duduk bersama laptop dan sebatang rokok tanpa bertemu kata jemu. Pelayan di kedai kopi ini sepertinya sudah hapal waktu kehadiran dan kepulanganku. Serta secangkir Ijs Koffie Indotjina yang menjadi minuman wajib buatku. Entah sejak kapan aku mulai menyukai tempat ini. Dan entah sejak kapan aku terbius oleh tempat yang dulu terkesan mahal untukku.

Aku menghisap rokokku dalam dalam. Bukan keluh, aku hanya ingin berbagi hampaku disini. Perjalanan yang dulu tak pernah kubayangkan sedetikpun. Kini sudah genap lima tahun aku di hingar bingar Ibukota. Bahkan kini aku sudah tak meneteskan airmata ketika aku harus kembali kesini. Ketika kedua orang tuaku mengantar kepergianku. Mereka harta terindah yang aku punya. Ayah, Ibu, Adikku dan Prama.

Prama. Namanya mampu memelukku tanpa aku harus membayangkannya. Tanpa aku harus banyak berceritera. Dia ruangan kecil hatiku yang ada di sudut terdalam. Aku mengenalnya ditempat ini. Dia “Rona Gendhis Mahendra” begitu sapanya ssaat melihatku duduk di sudut kafe ini. “Saya Prama, saya melihat kamu di Taman Ismail Marzuki. Kamu bermain sangat apik sekali.” Dan saat itu aku hanya tersenyum. Selanjutnya hari hariku berisi namanya serta berjuta kegiatan bersamanya.

Kutatap ponselku dengan senyuman.

Sayang, aku di depan. Sabar ya… aku naik dulu

“Dasar bodoh. Kau memang tidak romantis. Hahhahahahahaa…”gumamku. Kuletakkan ponselku disamping kotak rokok. Kuseruput perlahan kopi dihadapanku. Kubiarkan dia tersenyum sambil duduk didepanku. Tangannya mengusap manis pipiku sambil berkata “sayang,,, aku kangen kamu” Aku biarkan dia menatapku dan aku hanya menatapnya dengan senyuman. “Aku sudah pesankan kamu teh tarik dingin. Kamu masih tidak suka kopi kan?” tanyaku memastikan. “Kamu tau yang terbaik” katanya. Aku dan Prama hanya saling pandang. Hanya saling berpegangan tangan. Hanya saling tatap. Kami sungguh asyik dengan cara kami saling menyayangi. Karena kami tahu, cinta punya bahasa sendiri untuk bisa sampai dihati. Bahkan saat kami tak berkata cinta sekalipun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun