Masih di kedai kopi biasanya dengan secangkir Kopi Soesoe Indotjina. Kubiarkan mataku yang lelah mengitari ruang berjejal asap dan kehangatan sang kopi. Kuletakkan tas yang sejak dua tahun lalu menemani punggunggku. Dia tak pernah absen kujejali beragam benda dan beriring beragam cerita. Bahakan dia yang kuajak bertemu dengan lelakiku. Prama. Ah…. tak ada habisnya aku bercerita tentang dia. Tas coklat yang kubeli dari lapak barang second. Dua tahun lalu.
Kubiarkan pantatku beradu bersama kursi kayu di sudut favoritku. Tempatku menunggu dan mengadu. Hingga kini tempatku bercengkrama bersama lelakiku yang tak menyukai kopi. Mataku menyorot pada sudut seberang. Kulihat serombongan orang berbaju rapi dari berbagai instansi milik negeri. Entah apa yang mereka bicarakan. Yang menjadi menarik buatku adalah tertawa mereka bersama amplop cokelat yang diacungkan keudara. Kubiarkan asap mengudara dari bibirku yang kuolesi gincu berwarna jingga. Seorang dari mereka memperhatikanku dan tersenyum.Sedangkan aku hanya menatap acuh ketika seorang berseragam dari direktorat pajak berkata “Semuanya bisa diatur bapak”. Kata itu membekas erat ditelingaku. Geram. Tapi aku harus bersabar, hingga Prama tiba dan aku menahan hati untuk melempar mereka dengan asbak.
Seorang pelayan menghampiriku. Dia membawa secarik kertas bertulis nomor telfon. Saat yang sama aroma kopi mendekat kearahku. Parfume prama, manis. Campuran coklat dan kopi yang kupesan dari kawanku di daerah timur. Kuberikan senyum pada pelayan sembari ku letakkan tisu balasan berbekas bibirku. Aku memeluk kekasihku dan kuajak dia turun. Sesaat kudengar umpatan dari pria sudut seberang. “JALANG!!!”
Kukecup bibir Prama kubiarkan dia menikmati aroma kopi dibibir kesayangannya.
"Mas, nomormu bukan untukku. Uangmu hasil pajakku. Kau tak lebih dari puntung rokok yang kubuang"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H