Mohon tunggu...
Cosmas Kopong Beda
Cosmas Kopong Beda Mohon Tunggu... Jurnalis - jurnalis

pembaca novel dan cerpen.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Editor Bahasa

14 Juli 2024   13:48 Diperbarui: 14 Juli 2024   18:53 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Dari ratusan media di Indonesia, hanya sedikit sekali yang berani membayar editor bahasa untuk menyunting tulisan wartawan mereka. Editor bahasa posisinya tentu sangat penting sekali karena tidak semua tulisan wartawan bagus, baik secara gramatikal maupun leksikal. Pasti ada saja cacat sekalipun sedikit ihwal dua aspek itu. Tidak semua reporter di lapangan menguasai itu. Mereka bukan linguis yang paham sekali dengan bahasa, kecuali memang si wartawan punya latar belakang lulusan sastra Indonesia.

Itulah kenapa penulis ternama sekalipun tetap membutuhkan editor untuk mempercantik tulisan mereka. Dulu media sekelas Kompas tidak memakai by line karena konon tulisan wartawannya masih belum bagus. Ada kemungkinan persoalannya adalah bahasa juga sehingga tidak semua wartawan bisa mendapatkan by line. Itu salah satu fakta yang menunjukkan tidak semua wartawan bisa menulis bagus dan tertib tata bahasa. 

Belakangan semuanya semakin kacau dengan kehadiran media online yang kejar-kejaran. Wartawan di lapangan dituntut menulis secepat mungkin sehingga kesalahan berbahasa itu semakin mungkin terjadi. Wartawan nyaris tidak diberikan kesempatan untuk melakukan koreksi “kecil” atas tulisan mereka. 

Kondisi ini diperparah dengan tulisan yang ada nyaris tanpa disunting lagi oleh editor dan langsung dipublikasikan. Jadi, tidak heran kadang kita bisa dengan mudah menemukan banyak tulisan yang memang belum matang. Kesalahan tidak hanya pada informasi yang disajikan, tetapi juga tata bahasanya.

Kehadiran editor bahasa sepertinya tidak diperlukan lagi oleh media-media nasional. Bisa saja keberadaan mereka di ruang redaksi cuma memakan waktu ketika media lain sudah mempublikasi isu yang sama.

Editor yang memiliki pengalaman di lapangan bertahun-tahun sebagai wartawan sekalipun tidak menjamin ia paham bahasa Indonesia yang baik. Ada pun mungkin cuma segelintir orang saja. Itu terbukti karena masih ada editor, yang memang tidak punya latar kuat di bidang bahasa dan kadang malas mempelajarinya, sering kebingungan dengan hal paling sepele seperti penempatan konjungsi namun. Kata hubung namun dengan sembrono dipakai sebagai pengganti tetapi yang merupakan konjungsi intrakalimat. Dalam aturan bahasa Indonesia tidak demikian. Konjungsi namun adalah konjungsi antarkalimat yang seharusnya berada setelah tanda titik dan diikuti oleh tanda koma. Ini persoalan paling kecil yang suka bikin gedek. Jadi, sebagai reporter di lapangan, sangat ingin sekali tulisan saya disentuh oleh orang yang paham aturan bahasa. Setidaknya ia melewati dua kali proses penyuntingan.

Media-media di Indonesia pada saat ini memang cukup banyak. Namun, hanya sedikit di antaranya yang mempertahankan fungsi edukatif mereka, dalam hal ini tata bahasa. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh media soal bahasa bisa saja dicontoh oleh pembaca mereka karena media dianggap paling paham soal itu. Akan tetapi, kenyataan tidak demikian. Banyak media juga abai soal bahasa. Media sekarang memang kehilangan kredibilitas karena tidak semua fungsinya berjalan dengan baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun