Akhir-akhir ini retorika politik Indonesia diramaikan oleh sekurang-kurangnya dua kelompok politisi. Kelompok pertama adalah para politisi yang menjalankan amanat undang-undang secara konsisten dan bertanggung jawab. Kelompok ini menggunakan akal sehat dan nurani yang bersih untuk menjalankan amanat konstitusi demi kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia.Â
Mereka menjadi kelompok pengemban amanat konstitusi yang kritis terhadap pemerintah dan program-programnya, namun tetap rasional dan bertanggung jawab memberikan bantuan tuturan dan wacana politik yang konstruktif bagi pemerintah demi mewujudkan tujuan demokrasi yang hakiki, yakni membangun kehidupan bangsa Indonesia yang harmonis dan sejahtera.
Tetapi ada juga kelompok kedua, yaitu para politisi yang menjalankan amanat undang-undang secara formal namun kurang bertanggung jawab dalam tuturan dan wacana politik nasional. Mereka ini tampak sangat kritis terhadap pemerintah dan seluruh kebijakan yang dihasilkannya. Akan tetapi sikap kritis kelompok politisi ini tampaknya memiliki nuansa dan efek yang kurang lebih negatif, kalau bukan destruktif, dalam rangka membangun kehidupan berbangsa dan negara yang harmonis.Â
Pemerintah bukan dipersepsikan sebagai "partner dialog-kolaborasi" melainkan bagaikan "lawan tanding" yang harus dijatuhkan dalam proses berdemokrasi. Memang, jumlah kelompok politisi ini tidak banyak bila dibandingkan dengan kelompok politisi pertama, namun efek tuturan dan wacana politik mereka sangat kontra-produktif dengan mandat konstitusi yang diembankan kepada mereka, yakni mengatur kesejahteraan dan keharmonisan seluruh masyarakat Indonesia.
Gambaran di atas menunjukkan kepada kita betapa kualitas seorang politisi sangat signifikan dalam membangun kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Kualitas seorang politisi tidak dapat diukur semata-mata dari kemampuan membangun retorika dan diplomasi politik, melainkan pada kemampuan mengembangkan dirinya sendiri dan publik menuju perihidup yang lebih beradab menurut prinsip-prinsip demokrasi modern.
Pertanyaanya ialah apakah kriteria di atas cukup untuk menilai kualitas seorang politisi? Kalau tidak, maka bagaimana kita menilai kualitas seorang politisi? Filsuf sosial-politik Jerman abad ini, Jurgen Habermas, dalam artikelnya berjudul "What Macron Means for Europe: How Much Will the Germans Have to Pay?" (Der Spigel, 26 October 2017), membantu kita memahami bagaimana menilai seorang politisi yang berkualitas. Ia mengungkapkan sebagai berikut:
"The quality of one's work as a politician, of course, isn't measured by rhetorical talent. But speech can change the public's perception of politics; it can raise the level of discourse and broaden the horizons of public debate. As such, it can improve the quality not just of political opinion and the formation of political will, but of political action itself."
Pernyataan filsuf Habermas mengingatkan kita bahwa kinerja seorang politisi yang berkualitas sekurang-kurangnya terlihat pada "tutur politik" (political speech), dan bukan berdasarkan "talenta retorik" (rhetorical talent) yang dimiliki seseorang.
Sebuah "tutur politik" pada hakikatnya merupakan hasil pertimbangan dan analisis kritis terhadap realitas yang dihadapi demi membangun diskursus politik yang egaliter demi kebaikan bersama. Yang ditekankan oleh Habermas adalah sikap keterbukaan dalam tuturan politik, dimana semua pihak menjadi "rekan dialog" yang kritis satu sama lain demi pembentukan kebijakan politik yang merangkul semua pemangku kepentingan.
 Politik dalam arti ini tak lain adalah sebuah tindakan komunikatif, sebuah "tutur tindakan" (speech act) yang tidak hanya terbatas pada retorika melainkan terbuka terhadap aksi nyata dengan menghargai pluralitas dan pluriformitas semua pihak melalui deliberasi politik yang egaliter.
Sedangkan sebuah "talenta retorika" lebih merupakan sebuah kemampuan bawaan yang belum ditata secara sistematis melalui pertimbangan nalar yang kritis. Akibatnya, wacana politik yang dibangun menjadi bahan perdebatan public sering kali, sebagaimana terlihat akhir-akhir ini, dipenuhi dengan kecenderungan "menyinyir" satu sama lain di ranah publik. Dalam konteks ini sebuah "talenta politik" menjadi instrumen yang sangat strategis untuk membangun dan menggiring opini publik demi kepentingan seseorang atau sekolompok politisi.