Setiap bab yang ada dalam buku dongeng iki menyiratkan kumpulan peristiwa fiktif yang melukiskan pesan moral dan nasehat yang mampu membukakan mata dan melapangkan hati. Nilai kehidupan seperti hidup bermasyarakat; hubungan keluarga, pertemanan, dan percintaan; serta kepribadian dikemas secara apik. Meskipun begitu, segala hal yang dikisahkan dalam tiap babnya merupakan cerminan dari fenomena dunia nyata yang menjadi inspirasi untuk membangun batang tubuh buku ini. Tak lupa, pengalaman pribadi dari sang penulis pastinya menjadi bumbu yang memberi rasa ke dalam isi tiap babnya.
    Di dalam prolog (hal 5--18), dijelaskan berbagai ciri khas tentang bagaimana sang penulis, Mashdar Zainal, membawakan kumpulan dongeng yang ia tulis dengan metode fiksionalisasi realitas. Gaya bahasa yang sarat akan sindiran---baik secara tersirat, tersorot, maupun tersurat---membangun kritik terhadap fenomena sosial dan budaya yang kini marak terjadi. Sebagian besar peristiwa di dalamnya merupakan hal fiktif (tak nyata) yang dikemas ulang dari peristiwa nyata yang telah terjadi. Namun, penyampaian yang digunakan tidak lain dan tidak bukan merupakan sindiran, sehingga makna yang ingin penulis sampaikan dapat dengan cepat dipahami. Sebagian besar fiksionalisasi peristiwa masih relevan terhadap hal yang terjadi di sekitar kita.
   Terdapat 20 bab dalam buku dongeng ini. Masing-masing alur dan penokohan yang digambarkan di dalamnya dapat dengan mudah diikuti, sehingga pembaca bisa dengan mudah menangkap alur cerita dari sang penulis. Walaupun tersirat, metafora yang digunakan memiliki diksi yang efektif untuk dinalar dan dipahami nilai-nilainya. Akan ada dampak positif setelah membaca satu bab buku ini, dan untuk menyempurnakannya, nilai moral dari setiap babnya dapat dijadikan kesimpulan: sesuatu pasti ada ada alasannya.
   Sekilas, sampul depan dan judul dari buku dongeng ini menyiratkan akan saratnya alur yang menceritakan problematika kehidupan. Akan tetapi, setelah membacanya, ternyata terkandung banyak kisah tragis ataupun trauma yang dimulai dengan pembukaan yang terlihat tidak akan memberikan akhir semengejutkan itu. Contohnya seperti bab "Seekor Kucing Hitam" yang mengajarkan untuk tidak terlalu cepat meluapkan amarah dan membenci sesuatu. Fenomena ini disebut dengan plot twist atau putaran alur. Pembaca bisa belajar untuk tidak terlalu cepat menilai atau menanggapi sesuatu, melainkan memahami dan mempelajari ada apa di balik sesuatu yang terjadi.Â
    Dongeng Pendek tentang Kata-Kata dalam Kepala adalah suatu wujud kreativitas penulis dalam menggaungkan kritik sosial dan menyentuh hati seseorang. Saratnya kalimat yang puitis dapat mengasah sisi kesusastraan dari seseorang yang membacanya dengan sepenuh hati. Dengan pembawaan yang begitu berpengaruh, pembaca akan lebih memahami nilai sosial dan kebudayaan serta menjadi motivasi untuk memahami makna kehidupan ataupun menulis puisi, cerpen, dongeng, bahkan novel melalui cara yang serupa---bahkan bisa saja lebih baik.
   ") Dwiki Achmad Thoriq, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas AirlanggaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H