Indonesia telah dikekang oleh penjajahan selama kurang lebih tiga setengah abad lamanya. Setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya, revolusi mulai bermunculan di seluruh pelosok Indonesia. Dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis ini, pembaca disuguhkan dengan situasi di era pasca kemerdekaan, di mana ketidakstabilan dalam aspek sosial, ekonomi, keamanan, serta politik dapat tergambarkan dengan jelas. Oleh karena itu, penulis memilih untuk melakukan pendekatan dengan cara mimetik yang dinilai cocok dalam mengaitkan realita dengan penggambaran yang diberikan oleh Mochtar Lubis.
Pendekatan mimetik sendiri adalah pendekatan kajian sastra yang menghubungkan isi dari karya sastra itu sendiri dengan realitas kehidupan. Dengan kata lain, pendekatan yang memandang karya sastra sebagai imitasi atau tiruan dari kehidupan (Abrams 1981, p. 89, dalam Tussaadah, et al., 2020). Pendekatan mimetik merupakan salah satu jenis kritik sastra tertua yang ada dalam sejarah manusia, hal ini dapat dilihat dari awal kemunculannya. Salah satu pencetusnya, Aristoteles, berpendapat bahwa karya sastra bukanlah sekedar tiruan atau potret dari realitas belaka, melainkan jelmaan atau manifestasi terhadap realita yang sudah dipadukan dengan ide-ide atau pengalaman dari sang pencipta karya sastra (Umamy, 2021, p. 4).
Novel ini menceritakan kehidupan Guru Isa yang tinggal di Jakarta bersama dengan istrinya, Fatimah, dan anak pungutnya di tahun 1946, satu tahun setelah kemerdekaan bangsa Indonesia. Walaupun sudah merdeka, masyarakat masih dibuat takut akan rumor kedatangan Belanda. Benar saja, sekembalinya pasukan Jepang, para pasukan Belanda beserta sekutu-sekutunya yang tergabung dalam NICA (Netherlands Indies Civil Administration) datang kembali menggantikan Jepang untuk mengambil alih Indonesia. Untuk mempertahankan kemerdekaan, berbagai macam perlawanan rakyat diupayakan untuk mengusir pihak NICA.
Guru Isa hidup dengan penuh kesulitan, sulit memperoleh stabilitas ekonomi dan kondisi pernikahannya. Ditambah dengan situasi negara yang juga dalam ancaman perang, membuat beban pikiran Guru Isa semakin menjadi-jadi. Karena tidak ada pilihan lain, ia tetap menjalani hidupnya sebagai seorang guru. Namun, di samping hal tersebut, ia juga bergerak dalam pergerakan bawah tanah untuk melawan Belanda, walaupun sebenarnya terpaksa. Ia takut dianggap sebagai pengkhianat negara, apabila tidak ambil peran dalam revolusi di tanah airnya.
Dalam kegiatannya di pergerakan bawah tanah, ia bertemu dengan Hazil, seorang anak pensiunan Belanda yang berambisi untuk memukul mundur Belanda. Pertemanan yang unik ini, antara Guru Isa dengan Hazil, terus berjalan dan berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Mereka sering melakukan misi-misi bersama, mulai dari menyeludupkan senjata-senjata hingga melakukan aksi teror terhadap para serdadu Belanda. Namun, aksinya itu perlahan-lahan menumbuhkan rasa takut dan cemas dalam dirinya. Ia kerap kali bermimpi buruk, bermimpi bahwa perjuangannya seperti jalan yang tidak berujung.
Aksi demi aksi dilakukan oleh kedua sahabat tersebut, hingga akhirnya mereka berdua tertangkap. Di dalam penjara, mereka berdua disiksa untuk mengakui perbuatan-perbuatan yang mengganggu Belanda. Pada akhirnya, semuanya menjadi berbalik, Hazil menyerah dan memohon ampun dengan penuh rasa takut, sementara Guru Isa tidak lagi takut. Kini ia telah berdamai dengan situasi yang dihadapinya.
Novel Jalan Tak Ada Ujung ini mampu memberikan penggambaran akan realitas sosial yang ada pasca kemerdekaan Indonesia, di mana kekacauan semakin menjadi-jadi setelah NICA datang untuk merebut kembali Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada awal cerita, di mana Guru Isa yang hendak berangkat kerja dihadapkan dengan pasukan NICA yang tiba-tiba menembaki secara membabi buta.
"Serdadu-serdadu di atas truk itu menembak terus. Siapa saja yang lari mereka lihat, mereka tembak." (Lubis, 1952, p. 6)
Kedatangan NICA memang memberikan ketakutan sendiri bagi bangsa Indonesia, di mana para tentara NICA kerap kali melakukan teror terhadap masyarakat Indonesia (Sardiman, 2017). Sehingga, ketika warga sekitar mendengar truk-truk NICA mendekat, mereka segera berlari dan mencari perlindungan.
"Dan ketika truk itu tiba di tempat mereka bermain-main, mereka baru sampai dekat warung Pak Damrah. Tukang becak dan tukang loak melompat berdiri hendak melarikan diri. Pak Damrah bagai kaku duduk di atas bangkunya." (Lubis, 1952, p. 6)
Kekacauan tidak hanya disebabkan oleh NICA, tetapi disebabkan juga oleh para warga sekitar yang bertingkah layaknya seorang pahlawan, tetapi nyatanya berlaku layaknya seorang preman, memalaki para warga dengan alasan sebagai uang keamanan.