Sebagian besar perhatian terhadap radiasi pengion (IR) lebih difokuskan pada potensi bahaya yang ditimbulkan bagi organisme hidup. Namun, pentingnya IR lebih dari itu, meliputi pembentukan molekul organik, kontribusinya dalam menciptakan lingkungan planet yang dapat mendukung kehidupan, berfungsi sebagai faktor stres bagi seluruh ekosistem, dan berperan dalam proses evolusi. Dalam ulasan ini, kami mengulas berbagai sumber IR, baik yang berasal dari komponen alami lingkungan maupun yang dihasilkan oleh aktivitas manusia terkait dengan peningkatan permintaan teknologi nuklir. Peningkatan tingkat radiasi IR akibat aktivitas manusia memberikan dampak langsung terhadap ekosistem, yang menuntut adanya tindakan pencegahan yang efektif untuk melindungi biota dari dampak radiasi tersebut.
Kelangsungan hidup organisme yang terpapar IR ditentukan oleh sejauh mana kerusakan yang terjadi dan seberapa efisien sistem pertahanan seluler mereka dalam menangkal dampak buruknya. Menariknya, dosis radiasi yang lebih rendah dari tingkat mematikan tidak selalu meningkatkan angka kematian, melainkan justru dapat merangsang berbagai efek samping yang sifatnya sementara, termasuk stimulasi pertumbuhan dan perkembangan setelah iradiasi. Mekanisme di balik efek non-target ini baru mulai terungkap, dan bergantung pada berbagai faktor seperti spesies tanaman, jenis radiasi pengion, dosis dan laju dosis, tahap ontogenetik, musim, dan kondisi lingkungan yang kompleks.
Natural sources of ionizing radiation
Radiasi pengion (IR) ditandai oleh partikel atau gelombang berenergi tinggi yang mampu mengionisasi atom dan molekul. IR berasal dari sumber alami, seperti sinar kosmik (baik partikel maupun elektromagnetik) dan mineral radioaktif yang ada di tanah. Sinar kosmik adalah partikel subatomik yang bergerak sangat cepat, dan dapat dibedakan menjadi sinar dari Matahari atau dari galaksi. Meskipun sinar ultraviolet (UV-C) berenergi tinggi juga dapat menyebabkan ionisasi molekul, sinar ini disaring oleh atmosfer Bumi sehingga tidak mencapai permukaan. Sekitar 90% sinar kosmik yang sampai ke Bumi berasal dari galaksi, sebagian besar terdiri dari proton (hingga 87%), dengan sisanya berupa partikel alfa (inti helium), serta ion dan elektron berat dalam jumlah kecil. Sinar kosmik yang berasal dari Matahari memiliki energi lebih rendah, mayoritas terdiri dari proton (hingga 98%) dan sebagian kecil partikel alfa (sekitar 2%). Saat sinar kosmik mencapai Bumi, mereka berinteraksi dengan unsur-unsur gas dan partikel di atmosfer, menghasilkan radioisotop akibat reaksi spalasi. Dengan demikian, semakin tinggi ketinggian dari permukaan Bumi, semakin tinggi pula insidensi sinar kosmik, yang diperkirakan mencapai 30 kali lebih tinggi antara 6--9 km di atas permukaan tanah. Radiasi kosmik ini sebagian besar dilindungi oleh medan magnet Bumi, yang menjelaskan mengapa tingkat IR di permukaan Bumi berubah selama proses evolusi, yang berpengaruh langsung terhadap evolusi kehidupan.
Ionisasi atmosfer dan awan antarbintang oleh sinar kosmik diperkirakan berperan dalam pembentukan molekul yang relevan dengan asal-usul kehidupan. Sebagai contoh, boron, unsur yang dihasilkan oleh sinar kosmik, penting dalam reaksi biokimia. Pada cyanobacteria, boron dibutuhkan untuk fiksasi nitrogen, yang berhubungan dengan evolusi organisme fotosintetik. Pada tanaman, boron adalah mikronutrien penting yang mendukung pembentukan dinding sel, membran, sitoskeleton, dan pembelahan sel, yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Meskipun boron dapat menyebabkan kerusakan DNA jika terpapar dalam jumlah berlebihan, kemampuannya untuk menstabilkan molekul kemungkinan besar telah berkontribusi pada munculnya kehidupan dalam konteks dunia RNA pra-biotik.
Kerak Bumi mengandung radionuklida alami yang dibagi menjadi radionuklida primordial dan sekunder. Radionuklida primordial terbentuk sebelum pembentukan tata surya, dan karena waktu paruhnya yang sangat panjang (>108 tahun), mereka masih ada di Bumi dengan sedikit perubahan. Contoh yang umum adalah 40K, emitor dan dengan waktu paruh 1,26 x 108 tahun, serta unsur-unsur langka seperti 123Te (pemancar sinar-X) dan 209Bi (pemancar ) dengan waktu paruh yang sangat panjang. Radionuklida sekunder, dengan waktu paruh mulai dari beberapa detik hingga jutaan tahun, terbentuk dari peluruhan radionuklida primordial. Contohnya adalah peluruhan uranium (238U dan 235U) yang menghasilkan isotop stabil seperti 206Pb atau 207Pb, serta peluruhan unsur radioaktif lainnya seperti thorium, radium, radon, dan polonium, yang melepaskan partikel dan .
Saat ini, rata-rata paparan IR bagi populasi manusia adalah sekitar 2,4 mSv per tahun (0,27 Sv/jam). Namun, beberapa wilayah di Bumi memiliki tingkat latar belakang IR yang lebih tinggi, seperti di Ramsar, Iran (30 Sv/jam), Morro do Ferro dan Guarapari di Brasil (22 dan 20 Sv/jam), dan Mombasa, Kenya (12 Sv/jam). Pada beberapa spesies tanaman, paparan kronis terhadap radionuklida alami di tanah telah diteliti sebagai faktor penyebab kerusakan genetik. Di laut, tingkat radioaktivitas alami juga terdeteksi pada komunitas laut yang tinggal di dekat ekosistem ventilasi hidrotermal, yang dipengaruhi oleh sumber magma akibat aktivitas tektonik. Misalnya, di East Pacific Rise dan Mid-Atlantic Ridge, terdapat kadar uranium yang tinggi, dan isotop anakannya telah ditemukan pada berbagai metazoa. Meskipun komunitas jaring makanan abisal ini berkembang di bawah zona eufotik dan tidak bergantung pada tumbuhan atau alga, aktivitas hidrotermal tetap berdampak langsung pada fitoplankton di lautan. Meskipun demikian, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah dampak yang sama akibat pelepasan radionuklida hidrotermal juga mempengaruhi komunitas fitoplankton dan rantai makanan yang ada di wilayah tersebut.
Anthropogenic IR impact on the environment and plant biota
Peningkatan daerah yang terkontaminasi radioaktif akibat dampak aktivitas manusia telah menimbulkan kekhawatiran terkait perlindungan radiasi bagi manusia dan biota. Radiasi pengion digunakan dalam berbagai aplikasi, seperti pengobatan nuklir, pembangkit listrik, serta sebagai alternatif sumber energi rendah karbon. Selain itu, IR juga dimanfaatkan sebagai mutagen dalam pemuliaan tanaman, untuk sterilisasi makanan, dan untuk mengatur perkecambahan, pertumbuhan, serta pematangan buah dan sayuran. Namun, sektor industri ini juga menghasilkan limbah nuklir yang memerlukan pengelolaan khusus dan infrastruktur untuk penyimpanan jangka panjang. Meskipun peluruhan radioaktif dari radionuklida alami di Bumi menyumbang sekitar 50% dosis radiasi yang diterima manusia, emisi radioaktif yang tidak terkendali dapat menimbulkan risiko langsung, baik melalui paparan akut dengan dosis tinggi maupun melalui kontaminasi jangka panjang terhadap ekosistem. Sebagian besar kontaminasi lingkungan yang ada saat ini berasal dari uji coba nuklir yang dilakukan sejak 1945, terutama selama perlombaan senjata nuklir. Pada tahun 1996, ketika Perjanjian Larangan Uji Nuklir Komprehensif ditandatangani, telah dilakukan 2052 uji nuklir, 25% di antaranya dilakukan di atmosfer oleh Amerika Serikat dan bekas Uni Soviet. Uji coba ini melepaskan sejumlah besar isotop radioaktif ke atmosfer, yang kemudian terdistribusi ke lingkungan laut. Sebagai contoh, sedimen laut di Bikini Atoll, Kepulauan Marshall, mengalami dampak berat akibat uji coba bom-H AS (Castle Bravo) pada tahun 1954, dengan konsentrasi tinggi bahkan lebih dari 60 tahun setelah peristiwa tersebut.
Secara umum, dampak biologis kecelakaan nuklir pada biota non-manusia berbeda antara fase awal (paparan iradiasi akut dosis tinggi) dan fase selanjutnya, ketika radionuklida berumur pendek meluruh dan radionuklida berumur panjang menyebabkan paparan IR kronis yang berkelanjutan. Untuk respons radiobiologis tanaman, durasi paparan radiasi sangat penting, karena sensitivitas tanaman terhadap IR tergantung pada tahap perkembangannya. Selama periode pertumbuhan aktif, tanaman lebih sensitif terhadap kerusakan DNA akibat radiasi karena tingginya aktivitas meristematik dan ketersediaan air yang melimpah. Sebaliknya, selama periode dormansi fisiologis, seperti musim dingin, radiosensitivitas tanaman menurun. Oleh karena itu, dampak dari kejatuhan radioaktif pada populasi tanaman sangat dipengaruhi oleh musim terjadinya penyinaran. Misalnya, kecelakaan Kyshtym yang terjadi pada akhir September disusul dengan musim dingin yang mengurangi dampak kerusakan radiasi akut.
Cellular effects of IR exposure