Tahun 2019 silam, Indonesia berhasil merilis banyak film dengan kualitas cerita dan visual yang sangat baik. Sebut saja salah satunya film garapan sutradara Joko Anwar yaitu Gundala (2019).
Sebuah gebrakan baru bagi dunia perfilm-an Indonesia, di mana film ini diangkat dari komik Gundala Putra Petir (1969) karya Hasmi, dengan mengangkat realita kehidupan yang ‘gelap’ di Indonesia.
Film ini menceritakan seorang pemuda bernama Sancaka yang menjalani kehidupan yang sangat kelam, di mana sedari kecil ia hidup kurang berkecukupan dan harus ditinggalkan oleh kedua orang tuanya.
Terbiasa hidup sendiri sedari kecil menumbuhkan sikap mandiri, dingin, dan apatis dalam diri Sancaka. Hingga di suatu waktu, Sancaka mendapat kekuatan petir yang menjadikannya manusia super.
Atas pemberian ini, Sancaka mulai berubah menjadi pribadi yang peduli akan sekitarnya, dan berupaya membantu orang-orang yang ditindas oleh para penguasa. Pengkor seorang mafia kaya raya menjadi salah satu musuh besar Sancaka yang kemudian menjadi Pahlawan Super bernama Gundala.
Banyak adegan yang menggambarkan situasi terkini. Kritik demi kritik ditampilkan secara nyata dalam film, mulai dari kritik sosial, ekonomi, dan politik. Karena itu, film ini pun masuk ke dalam paradigma kritis.
Paradigma membantu penonton untuk melihat dan mem-fokuskan pesan yang diangkat dalam film. Paradigma dalam film sendiri dibagi menjadi empat yaitu Paradigma Fisiologis, Paradigma Empiris, Paradigma Fenomenologi, dan Paradigma Kritis.
Di artikel ini saya akan membahas mengenai Paradigma Kritis melalui film Gundala.
Paradigma Kritis (dalam Fauziah & Nasionalita, 2018, h. 84) adalah proses untuk menemukan suatu hal yang sebenarnya terjadi dalam pandangan peneliti, pengalaman yang ditampilkan belum tentu terkait dengan dirinya sendiri.
Paradigma kritis berupaya untuk mengungkap the real structure, yang bertujuan untuk membentuk kesadaran sosial supaya memperbaiki kehidupan manusia (Fauziah & Nasionalita, 2018, h. 84).