Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang sedang bergulir saat ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat dan sejumlah pihak terkait. Salah satu kekhawatiran utama adalah kembalinya dwifungsi ABRI, suatu konsep yang pernah berlaku pada masa Orde Baru. Dwifungsi ABRI memungkinkan militer tidak hanya berperan sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan, tetapi juga sebagai pengatur dalam struktur pemerintahan. Apakah revisi ini akan menghidupkan kembali dwifungsi ABRI? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penting untuk memahami sejarah dan penerapan konsep dwifungsi ABRI, serta implikasinya terhadap negara dan sistem pemerintahan Indonesia.
Apa Itu Dwifungsi TNI?
Dwifungsi TNI merujuk pada konsep yang memberikan peran ganda kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI), yakni sebagai alat pertahanan negara sekaligus sebagai kekuatan yang berperan dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep ini muncul pada masa pemerintahan Orde Baru, yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, dan diterapkan untuk memperkuat posisi militer dalam tatanan politik Indonesia.
Sejarah Dwifungsi ABRI
Dwifungsi ABRI pertama kali diterapkan setelah Indonesia merdeka, sebagai bagian dari kebijakan yang mengatur peran militer dalam kehidupan negara. Setelah kemerdekaan, banyak perwira militer yang merasa berhak ikut serta dalam pengambilan keputusan politik dan pelaksanaan pembangunan negara. Namun, konsep dwifungsi ABRI yang lebih formal baru muncul pada masa Orde Baru, di bawah kepemimpinan Soeharto.
Pada awalnya, gagasan tentang dwifungsi ABRI dikemukakan oleh Jenderal AH Nasution yang mengusulkan militer berperan sebagai alat pertahanan negara sekaligus sebagai penggerak dalam berbagai bidang seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Gagasan ini dikenal sebagai "Konsep Jalan Tengah" yang kemudian diadopsi oleh Soeharto dalam kebijakan dwifungsi ABRI.
Penerapan Dwifungsi ABRI pada Masa Orde Baru
Pada tahun 1982, melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982, Soeharto secara resmi melegalkan penerapan dwifungsi ABRI. Hal ini memberikan legitimasi bagi TNI untuk menempati berbagai posisi penting di pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Banyak perwira aktif TNI yang menduduki jabatan strategis, mulai dari anggota DPR, MPR, hingga posisi eksekutif seperti bupati, wali kota, dan bahkan menteri.
Keterlibatan TNI dalam berbagai sektor pemerintahan berujung pada dominasi militer dalam kehidupan sosial-politik Indonesia. Kekuatan militer yang terlibat langsung dalam pembuatan kebijakan mengurangi keterlibatan warga sipil dalam proses pemerintahan, yang akhirnya menimbulkan ketidakterbukaan dan tidak transparannya sistem pemerintahan. Pada puncaknya, pada dekade 1990-an, anggota ABRI memegang posisi kunci dalam pemerintahan Indonesia, termasuk di sektor peradilan, perusahaan milik negara, dan bahkan lembaga diplomatik.
Dampak Negatif Dwifungsi ABRI