Kemendag berusaha meminimalisir dampak dari masalah ini melalui penerapan Permendag Nomor 31. Peraturan ini menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki izin perdagangan sosial dilarang memproses transaksi pembayaran, karena memerlukan izin lokapasar (izin e-commerce).
TikTok-Tokopedia telah mengatasi masalah ini dengan solusi teknologi, yang memungkinkan tampilan produk dikelola oleh sistem TikTok dan transaksi pembayaran ditangani oleh sistem Tokopedia. Strategi mereka memprioritaskan pengalaman konsumen yang mulus tanpa perlu berpindah-pindah aplikasi.
Faktor lain yang berkontribusi terhadap pengalaman konsumen yang mulus terkait erat dengan keamanan siber. Hal ini karena memaksa konsumen untuk beralih dari satu aplikasi ke aplikasi lain untuk menyelesaikan transaksi dapat menimbulkan berbagai risiko siber, seperti tertipu iklan palsu atau secara tidak sengaja masuk ke sistem e-commerce palsu.
Apabila pelanggan mengalami kerugian, baik penyedia platform media sosial (medsos) maupun e-commerce tidak akan memikul tanggung jawab karena transaksi dilakukan di luar platform mereka.
Selain dari dua masalah teknis yang disebutkan di atas, integrasi sistem yang lancar ini juga memberikan dampak positif tidak hanya kepada konsumen, tetapi juga kepada UMKM. Hal ini memungkinkan UMKM untuk mendapatkan lebih banyak eksposur dalam memasarkan produk mereka di platform baru yang menggabungkan e-commerce dan social commerce.
Terutama jika kita merujuk pada data Statistik E-Commerce 2021 yang disediakan oleh BPS. Ternyata, lebih dari setengah (54,66%) dari usaha e-commerce menjual secara online melalui media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter. Ini menunjukkan bahwa mayoritas dari mereka tidak menggunakan marketplace yang hanya mencapai 21,64%. Hal ini menandakan adanya peluang bagi pemerintah untuk mendorong UMKM untuk beralih ke marketplace.
Jangan lupa, tahun ini pemerintah menargetkan 30 juta UKM go digital, meningkat dari target tahun 2023 sebesar 24 juta. Menurut data dari Smesco Kementerian Koperasi dan UKM, per Desember 2022, baru 20,76 juta atau 69% yang telah menggunakan teknologi digital.
Mengenai perspektif makro, e-commerce diproyeksikan akan terus berperan sebagai kontributor utama dalam ekonomi digital dan pada akhirnya mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Google, Temasek, dan Bain & Company dalam laporan e-Conomy SEA 2023, diperkirakan bahwa nilai ekonomi digital di Indonesia pada tahun 2025 dapat mencapai US$ 109 miliar atau setara dengan Rp 1.690 triliun, meningkat sebesar 15%. E-commerce diharapkan akan memberikan kontribusi terbesar sebesar US$ 82 miliar atau Rp 1.271 triliun.
Untuk para pelaku e-commerce, inovasi ini dapat memperkuat strategi mereka dalam mencapai keuntungan sambil terus berinovasi dalam layanan, fitur, dan model bisnis mereka.
Saat ini, Instagram dan Youtube bersaing untuk menemukan ceruk di pasar e-commerce, sementara platform e-commerce seperti Shopee dan Lazada juga menawarkan layanan seperti media sosial melalui fitur perdagangan langsung mereka. Tren global menunjukkan bahwa media sosial dan e-commerce akan terus mencari bentuk kemitraan yang sesuai.
Indonesia memiliki peluang untuk menjadi contoh yang baik di level internasional dengan memperlihatkan kesuksesan kerjasama antara perusahaan media sosial, seperti TikTok, dan e-commerce, seperti Tokopedia, guna memberikan keuntungan bagi UMKM lokal.