Sekilas Revolusi Surabaya/Insiden Bendera Berdarah
Malam hari, 18 September 1945, rakyat Indonesia, khususnya warga Surabaya, masih larut dalam euforia proklamasi kemerdekaan, ketika bendera triwarna Belanda berkibar di atas Hotel Yamato (kini bernama Hotel Majapahit), Surabaya. Peristiwa ini memicu aksi protes besar-besaran oleh warga Surabaya keesokan hari.Â
Aksi protes yang akhirnya berujung pada kerusuhan... dan pertempuran. Bahkan pertempuran ini tercatat sebagai pertempuran terbesar dan terberat dari rangkaian pertempuran pascaproklamasi yang menjadi bagian dari Revolusi Nasional Indonesia. Pertempuran ini juga merupakan pertempuran terbesar yang pertama kali terjadi setelah perang dunia II berakhir (sumber : buku Good News from Indonesia, oleh Akhyari Hananto.
"The Indonesian people in Surabaya did not care about the victims. If one fell, another one came forward. Bren firing continued to arrive in greater numbers, pushing on and on..." (Lieut-Col. A.J.F. Doulton, dalam buku The Fighting Cock).
Buntut dari kerusuhan di Hotel Yamato yang menewaskan W.V.Ch. Ploegman -pimpinan orang Belanda di Hotel Yamato, Belanda dengan bantuan sekutunya -Inggris- mencoba 'menjinakkan' warga Surabaya, dalam misinya untuk mendirikan lagi Kerajaan Hindia-Belanda.Â
Pertempuran kota pun terjadi, hingga puncaknya saat arek-arek Suroboyo berhasil menewaskan salah seorang jenderal militer Inggris, A.W.S. Mallaby di Jembatan Merah. Mayor Jenderal Mansergh, pengganti Mallaby, kini memimpin ratusan ribu militer Inggris (termasuk orang India yang tergabung di dalamnya) yang khusus didatangkan ke Surabaya, lengkap dengan persenjataan berat, artileri, dan kendaraan lapis baja.Â
Saat itu Surabaya mendapat 'perhatian' khusus dari militer Sekutu karena mungkin merupakan satu-satunya daerah di Indonesia yang gagal dikuasai sepenuhnya melalui teknik propaganda. Pada akhirnya pemerintah pusat menyerahkan segala keputusan terkait ancaman militer Inggris kepada pemerintah Surabaya yang diwakili Gubernur Suryo.Â
Mansergh memberikan ultimatum kepada rakyat Surabaya untuk menyerah dan menyerahkan segala macam senjata -termasuk senjata tradisional (bambu runcing, keris, tombak, parang, celurit, dan sebagainya)- kepada Inggris.Â
Hario Kecik dalam bukunya berjudul Pemikiran Militer I : Sepanjang Masa Bangsa Indonesia, menulis bahwa mungkin baru kali ini -di Surabaya- militer Inggris merasa terancam dengan berbagai persenjataan primitif. Batas ultimatum ini adalah 10 November 1945. Dalam pekikan semboyan Merdeka ataoe Mati yang digemakan berapi-api oleh Bung Tomo melalui siaran radio, dan diteriakkan oleh rakyat Surabaya di jalanan, pertempuran besar pun terjadi. Pertempuran ini kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan yang jatuh setiap tanggal 10 November.
Pertempuran 10 November dianalogikan melalui Romantika BONEK dan PERSEBAYA
Tak pernah habis cerita mengenai romantika BONEK dan PERSEBAYA. Saya sendiri sudah beberapa kali menulis tentang kedua topik ini. BONEK dan PERSEBAYA bagaikan dua kutub magnet yang berbeda, saling tarik-menarik. Mungkin saja romantika antara sebuah klub sepakbola dengan pendukungnya ini merupakan romantika paling menggetarkan dalam sejarah sepakbola dunia.