Penggunaan media digital sebagai sarana komunikasi massal mulai marak saat era kampanye Barrack Obama sebagai calon Presiden Amerika Serikat (AS) dalam Pemilu tahun 2008. Tim kampanye Obama saat itu sangat jeli membaca peluang dan perkembangan tren komunikasi masyarakat AS, khususnya kaum muda, mereka membentuk tim khusus yang menangani bidang kampanye melalui kanal digital.Â
Adalah Joe Rospars yang merupakan otak di balik suksesnya kampanye digital Obama. Ia memiliki konsep pemikiran bahwa kanal media sosial adalah sarana untuk pencitraan diri yang bisa kontinu menampilkan apa yang ingin ditunjukkan oleh Obama kepada masyarakat.Â
Selain itu, baginya kanal digital bukanlah sebuah pelengkap dari media konvensional melainkan 'senjata utama' untuk menyampaikan pesan secara langsung (real time) dan tepat waktu (on time). Rospars jugalah yang jeli membaca tren generasi muda yang lebih memprioritaskan media sosial dan media daring sebagai media preferensi dan referensi informasi.Â
Puncak keriuhan media digital di Indonesia mencapai puncaknya saat kampanye Presiden di Pilpres tahun 2014. Sayangnya, momen ini juga menjadi pintu pembuka untuk penyebaran konten negatif dan hoaks (KBBI daring versi 5 : berita bohong). Seperti pemikiran Rospars, media sosial, termasuk blog menjadi rujukan bagi para generasi muda untuk mendapatkan berita dan menyebarkannya, tanpa melalui proses literasi digital.Â
Seperti yang saya tuliskan sebelumnya, generasi milenial ini cenderung malas melakukan analisa mendalam mengenai konten media atau informasi, mereka menelannya bulat-bulat, dan lebih parah lagi dengan gampangnya membagikan konten-konten berekses negatif tersebut, meskipun sumber informasi belum tentu kredibel dan tidak terdaftar secara resmi di Dewan Pers Indonesia.Â
Akibatnya, terjadi perpecahan antar anak bangsa sebagaimana disebutkan Sri Mulyani. Sebagaimana dilansir dari laman web nationalgeographic.co.id, Indonesia merupakan ibu kota media sosial di dunia, karena pengguna akun media sosial yang sangat aktif dan masif, menjadikannya rentan terhadap ekses negatif dari lemahnya literasi digital. Untuk hal terakhir ini sepertinya pihak Saracen memahami benar kelemahan generasi muda kita, mereka dengan masif dan terstruktur menyebarkan konten-konten negatif, provokatif, radikalis, dan hoaks.
Saya tak akan mencontohkan perpecahan seperti apa yang dimaksud Sri Mulyani, saya hanya akan mengajak Anda untuk lebih bijaksana dalam menggunakan media digital, juga mengajak Anda melakukan literasi digital. Saya tak akan menjabarkan konten-konten negatif dan daftar website serta blog hoaks. Literasi digital pun tak perlu Anda lakukan secara menyeluruh jika Anda malas (tipikal generasi milenial).Â
Saya hanya minta Anda sedikit bersikap bijaksana. Jika konten yang akan Anda tulis atau sebarkan bisa menimbulkan keresahan, berpotensi menciptakan konflik, atau membahayakan, maka tak perlu dibagikan. Cukup Anda saja yang membaca (atau mungkin lebih baik lagi tak perlu dibaca). Biasakan Anda memperoleh informasi hanya melalui media massa resmi, baik dalam bentuk konvensional, digital, maupun daring.Â
Saya juga konsisten melakukan literasi digital, karenanya saya tak akan pernah menulis hoaks di blog saya, karena dari awal tujuan saya menulis blog adalah untuk menginspirasi, bukan memprovokasi (baca blog saya berjudul : Apa Tujuanmu Menulis? (Menyambut Hari Blogger Nasional)).
Jadi, bijaksanalah dalam menggunakan media sosial, jangan menjadi bagian dari one click killer!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H