Bermula saat saya turut membaca sebuah blog yang sebenarnya saat itu sedang dibaca oleh seorang kolega di kantor, tentang kritikan si penulis terhadap metode parenting (pola asuh anak) orang tua lain yang menjadi objek tulisannya. Jadi di dalam blog itu dituliskan ada seorang ayah yang kebetulan anaknya mendapatkan nilai ujian yang 'kurang memuaskan' pada mata pelajaran matematika (di blog ditulis 'jelek'). Sang ayah tidak keberatan dengan nilai akademis anaknya dan menghibur anaknya lebih-kurang dengan kata-kata seperti ini, "Tidak apa-apa, Nak. Yang penting kamu sudah berusaha maksimal."
Dan sang ayah juga meyakini bahwa anaknya memiliki kelebihan dan bakat di bidang selain Matematika. Nah, argumen muncul saat penulis blog tidak sependapat dengan pemikiran sang ayah tersebut, dan menulis bahwa 'pembiaran' seperti itu justru tidak mengajarkan motivasi dan kedisiplinan pada anak. Anak seharusnya tetap diberikan 'dorongan' untuk terus belajar dan memperbaiki nilai di masa depan. 'Pembiaran' dan 'kegagalan' seperti ini yang bisa membuat anak-anak menjadi malas. Lagipula 'kegagalan' itu juga berpotensi membuat malu orang tuanya karena menjadi bahan pembicaraan (baca: gosip) orang tua lain. Intinya adalah, menurut penulis, anak-anak jaman sekarang dibiarkan orangtuanya yang 'kekinian' menjadi bodoh.
Pertanyaannya, benarkah demikian? Saya tidak sependapat dengan si penulis blog. Bagaimanapun, hanya orang tua yang lebih mengetahui dan memahami kemampuan dan potensi anak. Bagaimana mungkin Anda bisa berprasangka pada orang tua lain, sedangkan Anda sendiri tidak pernah benar-benar mengenal anaknya? Orang tua manapun pasti memiliki konsep dan metode parenting sendiri yang dianggapnya paling efektif dan humanis dalam mendidik dan melatih anak-anaknya.
Proses tumbuh kembang dan belajar anak memerlukan banyak faktor, sekaligus memiliki karakteristiknya sendiri. Tak ada anak-anak yang sama, masing-masing memiliki keunikan dan karakternya, namun demikian, semua anak adalah istimewa. Hanya orang tua (bukan orang tua) yang lebih mengetahui faktor-faktor ini. Bisa jadi anak memang lemah dalam hal matematika, namun dia memiliki bakat yang menonjol di bidang lain. Jika bidang lain itu bisa mengantarnya menjadi manusia yang sukses, maka apa gunanya matematika?
Tentang digosipkan sebagai orang tua dan anak yang 'gagal', kenapa harus malu? Janganlah orang tua justru menjadikan anaknya sebagai bahan eksperimen. Tanpa disadari, mayoritas orang tua 'menjual' anak-anak demi nama baik dan kepentingan mereka sendiri. Kemampuan setiap anak berbeda dan suatu potensi yang menonjol belum tentu menentukan kesuksesan tanpa tuntunan orang tua untuk mengajarkan keberanian pada anak dalam mengekspresikan diri.
Terkadang kita menganggap autisme adalah hal abnormal, padahal autis memiliki caranya sendiri dalam memandang dan merasakan dunia. Malah, dari banyak kasus autis yang saya baca, mereka cenderung lebih sensitif dan menghargai alam. Mereka mampu memahami alam, mereka bisa bersahabat dengan alam, saat kebanyakan dari kita justru merusaknya. Kita tak pernah bisa mentolerir atau memahami pola pikir mereka karena ketidakmampuan kita sendiri untuk memahami diri.
Apakah benar anak-anak kita ingin pandai dalam segala bidang? Atau justru itu hanyalah paksaan orang tua semata-mata karena ambisi? Ingatlah bahwa tren dunia terus berkembang. Dulu di jaman saya sekolah (dan di zaman orang tua saya), pendidikan formal adalah hal paling utama. Embel-embel gelar yang disematkan baik di awal maupun di akhir nama lengkap adalah krusial. Namun di era millenial saat ini, pendidikan bisa ditempuh di mana saja. Bahkan saat ini industri kreatif berkembang pesat, dimana embel-embel gelar tak lagi berperan signifikan. Pendidikan terbaik malah bisa saya dapat bukan dari dalam gedung, melainkan dari jalanan atau dari alam. Alih-alih melalui teori, pembelajaran terbaik saya dapatkan melalui pengamatan langsung. Inilah yang saya coba ajarkan pada anak-anak saya.... Empati sangat langka belakangan ini.
Saat menempuh pendidikan di sekolah dan kuliah, saya unggul dalam semua mata pelajaran linguistik (kecuali Bahasa Jawa, jangan tanya alasannya!) Saya juga unggul dalam semua mata pelajaran sastra dan seni menggambar/seni lukis. Namun saya sangat payah dalam hal berhitung. Saya juga cenderung malas mengerjakan tugas prakarya, tak jarang saya mendapat omelan dan marah dari orang tua dan guru. Namun, hampir setiap masa evaluasi (dulu dalam bentuk rapor), saya mendapatkan peringkat teratas. Saya juga menjadi satu dari dua orang yang mewakili SMP dan kota saya di ajang lomba bercerita dalam Bahasa Inggris (English Storytelling Contest).
Saya sangat sedih saat 'hanya' mendapatkan B+ di nilai Bahasa Inggris saat kelas dua SMU dan membenci guru Bahasa Inggris saya saat itu karena dialah satu-satunya guru Bahasa Inggris yang berani memberi saya nilai selain A, meskipun belakangan saya baru paham alasan beliau memberikan saya nilai B+: agar saya tidak lekas jumawa dan berhenti memahami Bahasa Inggris. Nyatanya, pada akhirnya saya masuk sepuluh besar siswa dengan nilai kelulusan tertinggi di kota.
Saat kelulusan saya mendapatkan beberapa tawaran beasiswa Bahasa Inggris, namun takdir membawa saya lulus seleksi menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), melanjutkan pendidikan di STIE Harapan di Kota Medan (dengan skripsi sebagai salah satu yang terbaik), dan kini menjadi PNS di Kementerian Keuangan. Pada akhirnya, mayoritas nilai A Bahasa Inggris saya tidak terlalu berperan karena semasa kuliah, saya lebih banyak belajar tentang keuangan negara dan perekonomian.