Catatan : supaya tidak bingung, sampai disini, saya akan menyebut Persebaya yang berlaga di Indonesia Super League (ISL) sebagai Persikubar, dan menyebut kelompok pendukungnya sebagai Bonuk.
Sampai disini, perdebatan perihal mana Persebaya yang asli dimulai. Pihak Persikubar dan PSSI tak tahu diri dengan sikap arogansi dan kekanak-kanakannya berkoar mengklaim diri sebagai yang asli dengan hanya bermodalkan logo dan nama Persebaya, pelatih dan para pemain bintang, serta segelintir Bonuk. Bahkan mereka merekrut ikon Timnas U-19, Evan Dimas, yang terdaftar di akademi Persebaya.
Disini saya sempat kecewa karena pemain muda ini menanggalkan nilai loyalitas. Saya paham pertimbangannya mungkin keluarga dan kampung halaman di Surabaya, tetapi terkadang pengorbanan harus dibuat. Evan bisa saja bermain di klub lain seperti yang dilakukan oleh para pemain Persebaya 1927 saat dibubarkan. Atau contohlah Andik Vermansyah --ikon Persebaya 1927-- yang lebih baik hijrah ke Malaysia daripada membela klub domestik selain Persebaya. Atau Taufiq, yang lebih memilih hijrah ke Persib Bandung.
Bagian yang mungkin tak disadari PSSI adalah bahwa mereka menguji kesetiaan dan darah perjuangan arek-arek Suroboyo yang memang telah teruji karakter dan kegigihannya dalam pertempuran 10 November 1945. Seharusnya PSSI belajar bahwa kediktatoran dan uang tak bisa membeli harga diri dan sejarah. Perjuangan Bonek melalui aksi protes, demonstrasi, boikot, kampanye, dan perlawanan melalui media massa dan media sosial menjadi fenomenal.
Bertahun-tahun Bonek tak bisa ditundukkan, malah sebaliknya PSSI kebakaran jenggot dan kehilangan tajinya setelah Pemerintah Indonesia membekukan organisasi sepakbola nomor satu di Indonesia itu dan menganggap semua kegiatan PSSI pasca pembekuan adalah ilegal. Saat itu PSSI memang diindikasi terlibat banyak kasus, mulai mafia sepak bola, skandal pengaturan skor, korupsi, dan sebagainya.
Kini titik terang itu nampaklah sudah. Melalui Sertifikat Merek yang diterbitkan Kemenkumham, Bonek bisa tersenyum puas dan bangga atas perjuangan mereka selama bertahun-tahun membela eksistensi Persebaya. Seketika, Persikubar yang saat mengikuti Piala Presiden mengubah nama menjadi Persebaya United, berubah kembali menjadi Bonek FC untuk menghindari jeratan hukum. Namun kini, para Bonek ganti menuntut dan menentang perubahan nama Bonek FC karena penggunaan nama Bonek merupakan nama kelompok pendukung Persebaya yang pertama kali dipopulerkan oleh media Jawa Pos yang dipimpin Dahlan Iskan.
Kali ini pihak Persikubar masih juga seperti tak punya malu dan berpura-pura tegar dengan mengatakan apa yang dilakukan PT. Persebaya Indonesia adalah tidak masuk akal dan lucu karena nama dan logo yang didaftarkan justru adalah miliknya (entah mana yang lebih lucu, pendaftaran atau penyangkalannya). Mungkin pihak Persikubar melewatkan bagian bahwa yang berhak menggunakan nama dan logo Persebaya adalah PT. Persebaya Indonesia. Dan jika memang tindakan Persebaya tidak masuk akal, kenapa Persikubar sampai harus merubah nama dan logo klub mereka?
Alasan kedua pihak Persikubar adalah mereka telah terlebih dahulu mendaftarkan nama dan logo sejak masih berkompetisi di Divisi Utama. Jika memang benar, dimana buktinya? Kenapa justru Sertifikat Merek yang terbit adalah milik PT. Persebaya Indonesia? Lalu kenapa pula pihak Persikubar dan PSSI berkali-kali mangkir dalam persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya?
Ya, seperti biasa, PSSI dan pihak Persikubar memang pandai berkelit. Entah apa lagi alasan mereka nanti. Jelasnya, kini logo Persebaya 1927 pun juga akan didaftarkan patennya. Dipelintir dan dimanipulasi bagaimanapun, sejarah tak akan pernah berubah, dan sejarah tak akan pernah bisa dibeli. Iming-iming nama besar dan prestasi itu tak sebanding dengan harga diri dan reputasi.
"You can't buy history. It can only be made." (Mario Karlovic, Persebaya 1927).
Tak masalah jika Persebaya harus memulai kompetisi dari kasta terbawah sekalipun. Kita lihat saja, klub mana yang memiliki basis massa pendukung lebih besar, Persebaya yang memulai dari kasta terbawah, atau Persikubar (entah berubah nama jadi apa lagi) yang bergelimang harta dan --jika masih eksis-- mungkin berlaga di kasta tertinggi. Tak masalah, Persikubar pada akhirnya akan mati juga jika masih bertahan di Surabaya. saran saya, kembalikan saja klub ini ke Kutai Barat. Masyarakat disana pasti merindukan klub kebanggaan mereka.