Dalam beberapa kurun waktu terakhir, aktivitas politik makin kian ramai diperbincangkan. Terlebih dalam memilih pemimpin negara untuk lima tahun ke depan. Dari berbagai platform digital; baik sosial media maupun jejaring pesan elektronik lainnya kian marak yang menjadi topik pembahasan.
Salah satu media yang paling sering digunakan dalam pembahasan tersebut ialah grup whatsapp, tidak jarang obrolan menjadi senyap, ada saja yang dibahas dari mulai pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden yang diunggulkan, hingga paslon lawan yang semakin banyak dicecar - dicari-cari kesalahan dan keburukannya untuk diungkap dan dijelekkan di khalayak, Â agar citra paslon tersebut memburuk.Â
Whatsapp memang menjadi salah satu solusi guna tetap terjalin komunikasi dan silaturahmi kepada sanak-keluarga, handai-taulan, kerabat, dan para sahabat. Mendekatkan yang jauh, dan mengeratkan yang dekat.
Di tengah carut-marut dunia perpolitikan, ada rasa yang mengganjal ulu hati. Mengingat di dalam grup whatsapp tidak hanya ada sahabat maupun keluarga, juga ada beberapa grup yang menyatukan antara kita dengan sang guru.
Seorang murid dituntut untuk berakhlakul karimah - sami'na wa ato'na terhadap gurunya. Agar apa yang diperoleh dari gurunya mendapatkan keberkahan dan barokah, sehingga yang didapatkan bermanfaat.Â
Ada kawan yang bertanya kepada saya beberapa waktu lalu, terkait menjaga adab di dalam grup whatsapp yang di dalamnya juga ada sosok sang guru. Belakangan gurunya sering memposting gambar maupun video terkait salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden, dan sesekali mengunggah konten kontra terhadap pasangan calon lainnya. Kawan saya bingung harus bersikap bagaimana, sebab dalam pandangan politik saat ini dirinya berbeda haluan dengan sang guru.Â
Menjawab hal tersebut, saya terlebih dahulu konsultasi kepada salah satu guru saya, Abah Kiai Imam Murtadho Sayuthi - Khadim Pondok Pesantren Asshiddiqiyah 11 Gunung Labuhan, Way Kanan, Lampung.
Dalam pandangan Abah, demikian saya memanggil beliau, batas-batas ketaatan murid terhadap guru di antaranya; menjaga akhlaq, tidak menggunjing. Jika berbeda dalam pilihan politik, selama seorang murid tersebut tidak mencela gurunya, serta tetap memegang akhlaq al-karimah - menurut beliau hal itu tidak menjadi masalah.Â
Namun, Kiai asal Banyuwangi, Jawa Timur itu menyarankan, jika murid belum mampu ijtihad sendiri, serta tidak ada unsur dorongan kepentingan pribadi dalam hal materi - betul-betul murni sebab kepentingan agama, beliau menyarankan agar lebih baik turut serta mengikuti gurunya.
Seorang murid betul-betul tahu (tanpa su'udzon bahwa dari gurunya tidak ada unsur tujuan materi. Namun, jika ia tahu (dengan penglihatan langsung) bahwa gurunya memiliki kesepakatan yang bersifat materi pribadi dengan pasangan calon yang diunggulkan, maka dengan tanpa su'udzon dan tetap hormat - takzim serta tawadhu, sebaiknya mengikuti pilihan hati.