Lokomotif beserta gerbong-gerbong besi itu mula-mula melaju kencang, kemudian melambat teratur ketika memasuki stasiun. Beberapa orang melihat dengan tatapan bosan, bersikap acuh tapi lucunya masih mencuri pandang. Jika diamati, mereka adalah orang-orang yang sudah berteman lama dengan bau aspal di sepanjang rel, orang-orang yang hilir mudik menjalin keakraban dengan kereta api.
Dari gerombolan manusia yang menanti gerbong-gerbong itu berhenti bisa jadi kita tahu jenis kereta api yang bising menyapa. Kelas bawah, menengah, atau merk langganan para eksekutif. Kalau glamor pakaiannya, fashion keren, maka bisa diprediksi kereta yang akan datang tidaklah murah. Demikian juga jika pakaian yang dikenakan ala kadar, hanya mengambil fungsi sandang, maka itulah gerbong kaum-kaum marjinal. Kami ini.
Mungkin juga bisa ditemui anak muda berselera busana yang lumayan elegan namun tentu saja tak pernah mewah. Biasanya merekalah mahasiswa-mahasiswa rantauan yang lagi mengencangkan ikat pinggang. Pedagang kiloan, seniman yang tak kondang, mahasiswa pas-pasan, semua lebur membaur. Bersama-sama menjadi penikmat nuansa pahit manis realitas.
Di sanalah, di gerbong-gerbong ekonomi, bermacam warna ‘bahasa’ kehidupan bercampur dan berinteraksi yang lalu berkembang melahirkan suatu ‘dialek’. ‘Dialek’ yang hanya dipakai orang-orang yang biasa berlalu lalang di sekitar garis marjinal. ‘Dialek’ masyarakat kecil di dalam gerbong pengap ekonomi.
Tapi mungkin di sana letak kayanya. Kekayaan tanpa ukuran alat tukar. Di sini mereka saling meramu kisah nasib akan kerasnya kehidupan. Ini yang menarik, adanya keragaman cerita yg uniknya, masih dalam satu judul. Disini tidak akan ditemukan obrolan koleksi mewah atau mahal seperti Louis Vuitton, Rolex, merdu deru Mercedez, atau nikmatnya kemewahan-kemewahan hotel berbintang banyak. Mungkin yang ada adalah diskusi produk-produk imitasi, kenangan-kenangan masa muda, dan susah senang mencari sesuap nasi. Sebuah gambaran gamblang perjuangan untuk menyambung hidup.
Kadang pun hanya sebuah guyonan kering garing namun kami masih tetap dibuat tertawa. Yang paling sering barangkali sesumbar-sesumbar kenakalan masa muda bapak-bapak. Tidak semua jujur, ada mungkin bumbu-bumbu penyedap, tapi sebagai pendengar pun tak pernah tahu di mana letak fiksinya, jadi, nikmati saja. Seperti yang kulakukan bersama dua orang asing yang saling sapa demi mengusir kebosanan. Aku, satu seniman Kediri berumur 50an dan seorang anak buah kapal berdarah Madura berumur hampir 30.
---
Topi baret miring bewarna krem kecoklatan bertengger di kepala bapak di sampingku, memberi tahu sekelilingnya siapa dia. Penampilan yg sudah menjadi stereotip, stereotip seorang seniman. Tentu saja obrolan seputar seni yg lantang kami diskusikan. Kami berbicara tentang seni ke sana kemari, tentang seni pahat, seni jaranan dan bermacam seni rupa. Paling banyak celotehan tentang seni pahat. Pengetahuanku tentang seni seperti ini tidak banyak, jadi lebih sering aku mengambil peran pendengar khidmat saja.
Bapak itu mulai bercerita bagaimana ia bisa menjadi seniman sampai geliat seni di daerah tempat tinggalnya, Kediri. Seni di Kediri selalu mengalami pasang surut, tuturnya. Kurang lebih banyak bergantung pada pemimpinnya, atau bupati. Kalau bupatinya peduli, yah, jadi seperti sekarang ini, ramai, hingar bingar, berhiruk pikuk. Kalau tidak, yah tinggal dibalik saja. Dulu seni di sana sempat redup karena kurangnya perhatian dari bupati yang sedang berkuasa. Namun saat ini keadaan mulai berubah.
Geliat seni Kediri mulai ramai, itu karena bupatinya telah ganti dengan sosok yg ‘peduli’ seni. Imbasnya pun dirasa bapak ini. Banyak pesanan topeng untuk pertunjukan semacam reog atau jaranan untuk pria berbaret ini. Makanya si bapak ini melancong ke ibukota sekalian sowan dengan saudaranya. Dengan lugu bapak berbaret mengaku kalau ini adalah perjalanan terjauh yang pernah beliau rasakan. Selama ini belum pernah beliau keluar dari Kediri kecuali ke Bali. Itupun untuk melihat barang dagangannya yang diproses di sana.
Berbeda dari seniman-seniman yang pola pikirnya melilit seperti yang kulihat di televisi, bapak ini sederhana. Bekerja di bengkel seninya, mendapatkan kepuasan atas karya, lalu mendapat uang, selesai. Atau uang dan kepuasan di waktu yang sama. Itu kesan yg bertelur lalu menetas di persepsiku dari pribadi Kediri ini. Aku setuju begitu saja, sederhana. Mungkin aku saja yang tolol seni, tapi pendapatku, seni itu tak perlu berbelit-belit, cukup bermakna dalam keelokan. Indah dalam kekayaan pesan.
Sudah, tak perlu geleng kepala, ini hanya pendapat awam saja. Sudut pandang.
Lalu satu pertanyaan keluar saja tanpa filter dari mulut berlidah serampanganku ini. Tiba-tiba saja bunyi,”Gimana Pak idup jadi seniman? Berat nggak?” Beberapa saat aku agak mengutuki keceplosan akibat otakku yg tak mampu berpikir dua langkah lebih jauh. Mungkin memang tak terduga. Aku masih ketar-ketir kalau saja pertayaanku terlalu pribadi. Namun kemudian aku mendesah lega dalam desibel minimum karena ujung-ujungnya dijawab santai oleh bapak itu,
”Gimana ya dik.. Dari kecil saya cuma kenal beginian. Saya tahunya ya ini. Kalau dibilang berat ya berat. Tapi kalau ditanya gimana, ya saya menikmati saja. Nerimo saja. Pas susah ya susah, pas seneng ya seneng.”
Terucap ringan bak selempang selendang saja.Begitu tak berjumawa. Ringan tapi menjewer telinga tengilku ini apalagi potongan jawaban ‘Nerimo saja’-nya itu. Kata-kata ini entah kenapa bercokol lama meminta digodok dan diberi rasa supaya tak ditelan hambar tak bercitadi kepalaku saat itu. Mungkin karena darah muda masih merona merah, gejolak berontak masih menyala, jawaban macam pasrah ini benar sangat membuat risau saja. Kok hanya puas begini? Hanya nerimo saja rasanya tidak patut. Sekalian saja tantang nasib. Bakar saja! Hantam! Banting hidup ini! Otakku seketika kacau. Semangat menyala seperti Bung Tomo!
Aku ingin terus nyeplos, tapi kutahan, diam. Nyatanya obrolan kami terhenti sampai sini. Gelegar bakar, hantam lalu banting tadi tadi ya hanya ramai di benakku saja. Tentu tak kuloloskan menjadi suara lantang, bisa disangka gila nanti. Lagipula aku tak punya wewenang berpetuah. Aku belum hidup selama bapak itu. Memang tahu apa aku tentang jalan hidup seni?!
Filter yg tadi kendor jadi kembali punya mengencang. Heran juga, biasanya aku berpikir tak sepanjang tali bendera, hanya sejauh bulu ketiak terpanjang di sana itu. Jadi itu semua pada akhirnya hanya berputar-putar saja, bergaduh ria di otak karatanku ini. Bunyinya persis kaleng bekas diseret delman.
---
Kesan serampangan menantang menguar dari seorang laki-laki yg duduk di depanku. Berbeda dengan seniman Kediri tadi, orang kedua yg kuajak berbincang lebih punya kesan ‘liar’. Darah Madura kental mengalir dalam tubuh si abang sangar ini. Logat bicaranya bisa ditebak. Meski begitu, ternyata dia tak tumbuh di tanah Madura sedari kecil, tangis perdananya pecah di ibukota.
Saat ini ia berprofesi sebagai pelayar. Perjalanan hidupnya benar-benar bergelombang dan penuh liku. Lembah hitam ibukota telah ia cicipi. Pernah ia menjadi pengamen. Tak gampang. Menjadi pengamen di ibukota tak bisa hanya dengan modal mangap genjreng lalu sesuap nasi bakal didapat. Ini yang baru saya tahu, ternyata pengamen-pengamen jalanan punya sistem tak kentara yg mau tak mau kudu ditaati selama ini. Semacam konvensi.
Pengamen-pengamen pemula tak diperbolehkan mengamen di bus-bus ber-AC yg asoy itu. Tempat membawa melodi pengemen-pengamen pemula itu ada di sana, di bus-bus kurapan ala Kopaja atau metromini. Bus-bus ber-AC tempat penumpang-penumpang berkantong agak tebal adalah lahan untuk para pengamen senior. Pengamen pun mengenal sistem kenaikan pangkat. Pengamen senior dan baru berbeda. Umumnya sih, pengemen senior lebih keren nyanyinya. Sabda pepatah,” Experience is the best teacher.”
“Saya gak nyangka temen saya ngamen dulu ternyata anak orang kaya.” Celetuknya di sela cerita. Mau tak mau aku jadi penasaran. Ia bercerita. Begini begitu, dibarengi celetuk takzim dariku, di sana-sini.
Sudah seperti film saja, pikirku di akhir cerita. Teman yg ia ceritakan adalah seorang anak kaya yg muak akan hidupnya dan mencari pelarian ke jalanan. Terjebak dalam dilema mencari sesuatu yg menuntunnya pada sebenar-benarnya bahagia, setidaknya dilihat dari perspektif yg sama sekali unik. Kehidupan orang berada ternyata tidak seindah tatanan logika selama ini, “Banyak harta bahagia.” Tidak melulu seperti itu. Kontan, ini melecut ingatan akan seorang penulis yg akrab dengan Sukab, si gondrong Seno Gumira Ajidarma. Mungkin sama-sama terinspirasi oleh Karl May? Bisa jadi.
Awalnya memang bapak ini gak percaya cerocos si anak kaya teman se-amenan-nya. Pikiran senewen seperti itu siapa yg mau menelan begitu saja? Ia butuh bukti. Begitu diajak main ke rumahnya baru si abang sangar ini percaya. Malah hal ini bikin dia mencak-mencak lalu mengutuk berkali-kali.
---
“Dasar gila!”
“Gak tau keadaan orang gila itu gimana sekarang. Saya yg sudah jadi pelayar ini gak pernah lagi bertatap muka dengannya. Gila bener itu orang. Udah enak-enak idup gedongan malah pengennya nggelandang,” ujarnya mengenang.
Ia melanjutkan,”Ada lagi tuh temen saya yg jadi pilot di Inggris, orangnya sipit, emang turunan Cina dia. Asalnya dari Semarang. Banyak orang turunan cina di sana. Tau nggak? Dia jadi pilot gara-gara saya itu.”
Satu lagi petasan cerita dilontarkan. Aku benar-benar kaget mendengar celetuk tak dinyana si abang ini. Pilot? Jujur saja, aku yg skeptis ini jadi makin menjadi saja. Tapi tak ada pilihan lain selain percaya. Pun tak ada argumen valid atas keraguanku, jatuhnya nanti malah sikap meremehkan. Ceritanya saja belum kedengar sudah menghakimi. Kuenyahkan pikiran mencibir.
Ia melanjutkan lagi,”Saya ini udah ke mana-mana. Inggris udah, Belanda udah, Australi udah. Pokoknya hampir keliling dunia. Nah, yg paling gak enak itu di Belanda. Orangnya pelit-pelit. Jarang yg mau ngasih bonus. Beda sama orang-orang di Inggris, gampang ngasih duit.”
“Nah, pas di Inggris saya punya kenalan pilot. Temen saya yg Cina ini itu sudah menahun pengen jadi pilot. Saya kenalin aja. Tuh, sekarang dia lagi ikut akademi pilot di Inggris.”
Sepertinya gampang sekali jadi pilot. Alah, jatuhnya ada rasa ragu juga. Mungkin saja benar, abangnya yg tak pandai bercerita. Mau tak mau aku teringat kisah Forrest Gump. Seketika aku percaya saja. Dikata cerita sekelam atau sehitam jelaga pun mungkin juga percaya.
---
Kereta Gaya Baru Malam akhirnya tiba di Stasiun Senen. Kubereskan segera ransel juara, ransel yg selalu kupakai apapun acaranya. Kutengok jendela menanti kereta ekonomi ini benar-benar berhenti diam. Bapak seniman Kediri sudah berpamitan lebih dulu di stasiun Jatinegara. Dan di stasiun ini wayahnya saling pamit dengan abang Madura.
Ia bergerak lebih cepat, melambaikan tangan melontarkan salam perpisahan. Kubalas sehangat mungkin. Berkatnya juga perjalananku terasa ada rasa. Tidak hambar saja. Walaupun aku tidak tahu yg mana fakta, aku tetap yakin ceritanya. Sudah dua kali aku berkenalan dengan pelayar di dalam kereta. Tapi yg kali ini yg benar-benar memberi cerita seluas segara.
Aku menuruni tangga. Tiap anak tangga yg kujejaki rasanya menarikku menuju meja pelamunan. Entah karena otakku tak punya sesuatu yg penting untuk dipikirkan atau karena memang itu yg sejenak menarik minat, aku nggak ngerti. Kisah-kisah yg baru kutemui di kereta tadi sungguh berwarna. Tak seperti punyaku yg serasa tanpa bahaya, lempeng. Satu sisi aku harus bersyukur. Di sisi lain entah mengapa rasanya dengan hanya jalan tanpa ada makna rasanya sungguh kurang mengena.
Setidaknya aku harus punya tujuan. Kalau masih belum ada, secepatnya kudu ditemukan. Mungkin di kereta ringsek ini kudapat sesuatu sebagai bahan belajar. Mungkin dengan memperkaya diri dengan pengalaman. Mungkin mencari tahu lagi. Entah bagaimana caranya.
Sepertinya aku pun ingin menjalin keakraban dengan kereta api. Bau aspalnya, bau besi gerbong dan juga pekik nyaring roda besi yg mencumbu rel. Harusnya seperti ini, lebih membuka mata untuk melihat lebih dekat. Lagi-lagi, aku tidak tahu bagaiamana caranya. Dialek kaum kami harus benar-benar bermakna. Setidaknya aku ingin menjadi sebuah manfaat. Sebuah adalah keniscayaan. Karena mungkin hitungannya bergerak mundur satu ketika telah maju satu. Dengan begitu mungkin jadi tidak lelah berbagi manfaat. Bagi apa pun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H