SEPANDAI-PANDAINYA membungkus niat busuk, baunya akan tercium juga. Aroma bau busuk itulah yang kini berhembus kencang dari Senayan. Bau busuk itu terkait dengan niat Golkar memetieskan keputusan politik skandal Century. Keputusan politik itu sudah final dan telah menjadi dokumen negara. Seharusnya merupakan tugas DPR untuk mengawal proses hukum atas putusan politik Pansus Angket Century itu. Akan tetapi, apa lacur, Golkar sebagai salah satu partai yang memelopori penolakan kebijakan bailout Century itu justru mulai melunakkan sikap. Partai berlambang pohon beringin tersebut mengisyaratkan menutup buku atas skandal yang merugikan negara Rp6,7 triliun itu. Inilah isyarat yang menyemburkan aroma bau busuk itu, bahwa Golkar berada di barisan yang menolak bailout Century hanya karena faktor Sri Mulyani. Bukan rahasia lagi Sri Mulyani berseteru terbuka dengan Aburizal Bakrie, bos Partai Golkar. Secara terbuka Sri Mulyani mengungkapkan bahwa Pansus Angket Century yang membidik dirinya bermuatan dendam Aburizal terhadapnya. Harus tegas dikatakan bahwa Golkar tidak bisa seenak udelnya mengubah sikap hanya karena Sri Mulyani sudah mengundurkan diri sebagai menteri. Jarum jam penyelesaian Century tidak bisa diputar balik. Penyelesaian hukum atas kasus Century adalah pilihan terbaik untuk kepentingan semua pihak termasuk Boediono dan Sri Mulyani. Bukankah mereka sudah divonis bersalah lewat sebuah proses politik? Perubahan sikap Golkar itu patut dicurigai sebagai alat tawar-menawar untuk mendapatkan kursi menteri keuangan yang akan ditinggalkan Sri Mulyani. Jika itu yang terjadi, Golkar pantas disebut musang berbulu domba. PARTAI Golkar mengukuhkan diri benar-benar sebagai partai yang pragmatis. Tidak ada bulir-bulir idealisme. Sebagai partai dengan penyangga utama para pengusaha, Golkar sepertinya hanya memiliki kalkulator untung dan rugi. Pedagang tentu saja berkehendak mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Perkara yang masuk akal. Menjadi persoalan bila keuntungan itu diraih melalui akal-akalan. PREMANISME politik benar-benar sedang berkembang di Gedung DPR Senayan. Setelah mengeroyok Sri Mulyani, kini para wakil rakyat menggerogoti APBN melalui cara legal konstitusional. Mereka resmi dan terbuka meminta jatah dari APBN. Itulah yang terjadi ketika Partai Golkar melansir usulan mengenai perlunya dana pembinaan daerah pemilihan untuk setiap anggota DPR sebesar Rp15 miliar. Usul yang dikarang-karang, yang dicari-cari basis legitimasinya, karena itu sangat rapuh. Tatkala usulan itu diserang dan dikritik dari berbagai penjuru mata angin, Golkar pun goyah. Wakil Ketua DPR dari Golkar Priyo Budi Santoso mengatakan ide itu sekadar usulan. Jika dilaksanakan, syukur, bila ditolak pun, tak jadi soal. Partai hanya dijadikan sarana untuk memburu kekuasaan dan uang. Sebuah gagasan dari sebuah partai sebesar Golkar seharusnya diuji terlebih dahulu kelayakannya. Sebuah usulan harus memiliki basis berpikir yang kuat serta pengalaman empiris yang teruji. Tanpa uji kesahihan, usul tersebut hanya sampah. Begitu banyak argumentasi yang mematahkan usulan itu, tetapi Golkar memaksakan diri tetap mengajukannya. Bahkan dengan ancaman akan membuat deadlock APBN 2011. Ini sungguh-sungguh mencurigakan. Jangan-jangan Golkar mempunyai agenda terselubung di balik usulan itu. Golkar memang sangat piawai menyelubungkan agenda-agenda mereka, dengan alasan yang bernada populis. Misalnya, argumentasi bahwa dengan pembagian Rp15 miliar per anggota dewan, akan tercipta pemerataan. Argumentasi itu gugur karena sebagian besar anggota DPR justru terdapat di Jawa. Jatah Rp15 miliar malah semakin menimbulkan kesenjangan karena dana tetap terkonsentrasi di Jawa. Sangat mengerikan menyaksikan kerakusan anggota dewan akan uang. Sangat memalukan, bahwa anggota dewan tidak lagi punya rasa malu. Lihat saja. Permintaan jatah Rp15 miliar untuk tiap anggota dewan itu disampaikan dalam rapat pleno DPR yang dihadiri tidak lebih dari seratus anggota dewan. Dari jumlah yang hadir itu pun hanya sedikit yang menyimak secara serius. Mereka lebih asyik main SMS atau bertelepon ria. Sekali lagi, perlu ditekankan, lokomotif permintaan itu adalah Partai Golkar, pemimpin Sekber Koalisi, dan partai terbesar kedua setelah Demokrat. Dapat dipastikan tidak hanya gerbong koalisi yang akan setuju, tetapi semua fraksi dan segenap anggota dewan. Bila dikabulkan, akan jadi apakah gerangan uang Rp15 miliar itu, di tangan anggota dewan yang malas, yang tidur saat sidang, yang sibuk main telepon genggam dan SMS saat rapat? Sudah banyak fasilitas yang diberikan negara kepada anggota dewan, tetapi tabiat mereka tidak juga berubah. Tetap malas dan membolos. Yang pasti, dengan jatah Rp15 miliar itu, setiap anggota dewan otomatis memiliki uang yang banyak sekali untuk memelihara dukungan politik konstituennya secara gratis karena menggunakan uang negara.Dan terbukalah lebar-lebar kesempatan anggota dewan untuk menjadi makelar anggaran atas dana jatah Rp15 miliar itu. Mereka bisa menjual proyek sekaligus menentukan siapa kontraktor pelaksana proyek. Anggota dewan kemudian menerima feedari proyek tersebut. Politik kita hari-hari ini adalah politik muslihat yang amat memalukan. Praktik demokrasi dibajak kekuatan rakus kartel politik, dengan rupa-rupa tekanan, bahkan ancaman. Sangat sulit untuk tidak mengatakan ancaman Partai Golkar yang akan memacetkan pembahasan APBN 2011 sebagai praktik politik muslihat paling jorok. Dengan posisi sebagai pemimpin Sekretariat Bersama Partai Koalisi, Golkar hendak menentukan segalanya. Secara terang-terangan, para politikus beringin mengancam membuat deadlock APBN 2011 jika pemerintah menolak usulan dana Rp15 miliar bagi setiap anggota DPR sebagai dana pembinaan daerah pemilihan (dapil). Jika usulan itu diterima, dana APBN akan tersedot Rp8,4 triliun.Menteri Keuangan Agus Martowardojo dan Menko Perekonomian Hatta Rajasa sebagai wakil pemerintah sudah menolak usul yang digulirkan secara diam-diam dua pekan lalu itu. Sejumlah fraksi koalisi, seperti PKS, PAN, dan PKB, juga menolak usulan itu. Alasannya jelas, dana pembinaan dapil menimbulkan kerancuan anggaran pemerintah. Setiap anggaran sudah disusun berdasarkan program yang ditetapkan pemerintah dan DPR. Di luar ketetapan itu, anggaran yang diusulkan sama dengan dana siluman yang mengesahkan muslihat perampokan uang negara. Karena siluman, susah untuk dipertanggungjawabkan. Sikap ngotot Golkar agar dana pembinaan dapil diluluskan menunjukkan banyak agenda terselubung dalam partai yang dipimpin Aburizal Bakrie itu. Golkar sedang memupuk praktik nyata arogansi kekuasaan sekaligus pengkhianatan terhadap agregasi kepentingan rakyat. Sekber merupakan bahaya nyata bagi demokrasi. Politik ditentukan melalui konsensus sekelompok partai yang berkomplot membentuk kartel. Celakanya, pelaksana kartel politik itu tidak steril dari masalah. Menjadi wajar jika publik khawatir akan terjadi politik transaksional melalui barter kasus. Karena itu, penolakan pemerintah dan fraksi-fraksi di DPR atas usul gila itu merupakan keniscayaan. Akal sehat tidak boleh takluk oleh muslihat politikus murahan penggasak uang negara. Karena itu, semua yang masih waras harus melawan sekuat tenaga untuk membatalkan perampokan uang negara atas nama dana pembinaan dapil itu. Tidak ada niat mulia sekecil apa pun yang bisa dijelaskan dari usul Golkar itu, kecuali itulah tabiat asli partai yang dibesarkan sebagai mesin kerakusan. Sudah banyak kecaman dan argumen yang dilontarkan ke Partai Golkar karena ngotot memaksakan anggaran aspirasi daerah pemilihan sebesar Rp15 miliar per orang per dapil. Namun, Golkar tidak peduli. Dengan berbagai argumen, partai itu mengatakan dana tersebut bertujuan merealisasi janji para anggota ketika berkampanye di daerah masing-masing. Demi rakyat yang dijanjikan, mereka siap tidak populer. Namun, banyak kalangan yang paham tentang sepak terjang dan muslihat politik Golkar yakin dana Rp15 miliar per anggota per dapil itu adalah perampasan uang negara, yang kalau dikabulkan, akan merupakan kejahatan yang dilindungi undang-undang. Itu anggaran akal-akalan untuk membiayai partai dan kampanye para anggota dewan yang akan bertarung lagi dalam pemilu legislatif. Kalau alasannya adalah untuk mempercepat pembangunan di desa, mengapa tidak menambahkan anggaran yang disebut dengan dana dapil itu ke mata anggaran yang sudah ada, misalnya alokasi daerah atau desa? Mengapa harus diberi nomenklatur dana aspirasi? Dana itu, kalau disetujui, jelas akan menyebabkan DPR melanggar fungsi mereka sendiri. Yaitu dari fungsi perencana anggaran menjadi pelaksana anggaran sekaligus pemilik dan penentu proyek yang ujung-ujungnya adalah komisi dan korupsi. Yang amat menggelikan adalah dana aspirasi dipatok dengan basis perhitungan dapil dan harga per kepala anggota DPR. Seakan-akan ketika terpilih menjadi anggota DPR, mereka telah berjasa terhadap negara dan karena itu, negara harus cepat-cepat membayarnya. Sebuah keinginan korupsi yang dilindungi dengan undang-undang adalah sebuah kejahatan. Bahkan pengkhianatan terhadap negara. Bila seorang presiden bisa diberhentikan karena pengkhianatan terhadap negara, apa sanksi bagi Golkar bila mengegolkan mata anggaran yang jelas-jelas adalah perampokan uang negara? Golkar, bila sendirian, tidak bisa mengatur apa-apa. Karena itu, dia tanpa malu-malu merengek berkoalisi. Karena itu pula, di dalam koalisi itulah partai-partai anggota seharusnya bisa mengendalikan muslihat uang Golkar. Hanya anehnya, partai-partai anggota koalisi secara perorangan menyatakan anti terhadap dana aspirasi, tetapi diam-diam justru mendorong Golkar melanjutkan nafsu mereka. Jangan-jangan itu adalah bentuk persekongkolan dan sandiwara koalisi. Lalu apa Kabar Kasus Pajak KPC ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H