Tidak transparannya informasi publik yang berkaitan dengan penanganan wabah virus Covid-19 ini memunculkan banyak pertanyaan besar akan profesionalitas  dan keseriusan pemerintah dalam penanganan masalah Covid-19 tersebut, misalnya pemerintah memilih untuk tidak memberiktahukan jejak rekam korban positif Covid 19 dengan alasan untuk melindungi si korban dari alienasi sosial.Â
Padahal jika dicermati lebih dalam, memberitahukan jejak rekam perjalanan berbeda dengan mengumumkan identitas. Karena pada dasarnya jejak rekam perjalanan dibutuhkan untuk meminimalisir penyebaran, serta langkah himbauan untuk masyarakat agar lebih aware dan waspada.
Ketidak terbukaan pemerintah atas data mengenai wabah yang saat ini menjangkit hampir seluruh negara di dunia, menimbulkan dampak sosial yang cukup meresahkan bagi masyarakat, bahkan terjadinya panic buying di Indonesia, salah satunya disebabkan oleh minimnya informasi valid dari pemerintah. Terlebih lagi, ketidakkonsistenan pemerintah dalam mengambil kebijakan yang ditetapkan menggambarkan buruknya pola koordinasi , seperti tumpang tindihnya kebijakan dari pemerintah pusat dengan kebijakan yang diturunkan oleh menteri bahkan sampai tingkatan daerah.
Pemerintah dalam mengelola informasi dan menyampaikannya kepada publlik, sebenarnya sudah tercantum dalam pasal 154 (1) UU 36/2009 tentang Kesehatan disebutkan "Pemerintah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu yang singkat , serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber penularan."
Berdasarkan analisis regulasi dan fakta yang terjadi selama pemerintah melakukan penanggulangan virus Covid-19, ditinjau dari sisi komunikasi krisis pemerintah belum maksimal dalam upaya preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Pertama, belum maksimalnya upaya preventif (pencegahan) yang dilakukan oleh pemerintah berdampak pada jumlah korban yang bertambah pesat. Data terupdate dilansir oleh CNN Indonesia pertanggal 19 maret 2020 tercatat 309 orang positif Covid-19, 25 orang meninggal dunia dan 15 orang dinyatakan sembuh.Â
Kedua, upaya kuratif (penyembuhan) yang sejauh ini dilakukan oleh pemerintah terkesan lamban. Pemerintah tidak mengembil keputusan secara cepat dan tepat untuk memilih kebijakan lockdown atau tes massal yang akan diberlakukan. Baru pertanggal 19 maret pemerintah pusat memutuskan untuk mengambil kebijakan tes massal di seluruh indonesia.Â
Ketiga, selama proses penanggulangan Covid-19 upaya rehabilitatif (pemulihan) yang dilakukan oleh pemerintah belum terlihat, strategi apa yang akan dilakukan pemerintah untuk menstabilkan keadaan pun belum jelas dan tegas, melihat nilai tukar rupiah yang anjlok sampai angka Rp.15.800/1 USD. Belum lagi masalah IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) yang turut anjlok.
Pemerintah dalam konteks hari ini dituntut kerja cepat, tepat dan akurat. Bukan lagi memikirkan sektor ekonomi saja namun lebih dari itu pemerintah berkewajiban memberikan rasa aman kepada publik. Upaya tersebut dapat dilakukan pemerintah melalui keterbukaan informasi dan langkah-langkah yang konkrit dan berdampak langsung pada masyarakat. Â Tidak boleh terjadi lagi inkonsistensi tindakan apalagi kebijakan, sebab jika terus terulang pemerintah akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI