Mohon tunggu...
Juru Ketik Saja
Juru Ketik Saja Mohon Tunggu... wiraswasta -

Cemberut dalam sangkar butut, berkabut lembut. ~Selamat pagi, selamat unjuk gigi~

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Playboy Karet ~ Seorang Lelaki Harus Berwibawa

15 Agustus 2013   16:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:16 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Seorang Lelaki Harus Berwibawa

Aden telah memasuki Bab IV dalam skripsinya. Semangatnya semakin tidak teredam, meluap tak terbendung. Malam itu hujan cukup deras. Setelah selesai mengetik dia berniat segera menge-print untuk bimbingan keesokan harinya. Tetapi sialnya printer miliknya rusak. Itulah satu-satunya printer andalan di kos-kosan itu. Andri dan Ferry pun kerapkali numpang nge-print. Jadi terpaksa Aden harus keluar mencari rental komputer.
“Besok pasti nggak sempat, sekarang saja aku cari rental komputer.” kata Aden pada Ferry yang mengingatkan agar ngeprintnya besok saja karena sudah larut malam dan juga hujan turun cukup deras.
“Pinjam Hassan dong, Ferr?”Aden merayu dengan muka memelas. Ferry sendiri tengah asyik menonton tv acara kesukaannya, stand up comedy.
"Okelah aku sekarang mengakui bahwa Hassan itu juga termasuk salah satu asset terpenting di kos ini selain dispenser dan printer punyaku, setrikaan dan kompor punya Andri. Entah apa jadinya kita semua tanpa Hassan." Aden merayu.
"Perasaan kemarin ada yang bilang kalau Hassan itu kalau dituker sama dispenser maka yang punya dispenser bakal rugi. Terus pake nyaranin si Hassan dimandiin pake kembang tujuh rupa segala lagi, katanya biar nggak bawa sial melulu." Ferry menyindir.
"Ah, kamu Ferr, gitu aja dimasukin ke hati. Kan kemarin becanda."
“Ya udah sana bawa aja.” akhirnya Ferry mengijinkan, hatinya luluh dengan semangat membara temannya itu. Ferry melanggar janjinya untuk tidak akan lagi meminjamkan Hassan pada Aden setelah Aden tega meninggalkan Hassan kepanasan dan kehujanan begitu saja di depan rumah Fidhi.
Di tengah hujan yang semakin lebat, Hassan setia menemani Aden berputar-putar mencari rental komputer. Tidak sulit bagi Aden untuk menemukan rental komputer karena letak kosnya yang dekat dengan kampus Universitas Gajah Mada. Di sana terdapat banyak rental komputer. Aden berhenti di depan sebuah rental komputer yang cukup besar. Dengan payung yang dipinjamnya dari Andri dia menerobos hujan dan masuk ke dalam rental tersebut.
“Mas, mau ngeprint bisa?” tanya Aden pada lelaki penjaga rental.
“Ya bisalah mas, namanya juga rental komputer. Kalau mau berenang atau karokean itu baru nggak bisa, hehe.” Jawab penjaga rental sok akrab.
“Mana datanya?” lanjut si penjaga rental.
“Sebentar mas.” Aden mencari-cari sesuatu di sakunya. Di saku kanannya hanya ditemukan kunci Hassan, di saku kirinya hanya ditemukan selembar uang lima puluh ribu rupiah. Saku belakang, kosong. Bahkan dia lupa membawa dompet.
Pikun Kronis. Ceroboh Habis.
“Waduh mas, ke mana ya flashdiscnya? Jin di sini doyan makan flashdisc ya?” Aden bingung. Celinguk kanan celinguk kiri.
“Tadi di sini kok,” lanjut Aden sambil menunjuk sakunya.
“Lho mana saya tau mas, ketinggalan kali.” Jawab penjaga rental sambil kemudian berlalu pergi untuk melayani orang lain.
"Ah, masa iya ketinggalan, perasaan udah aku bawa." batin Aden.
Beruntung saja masih ada pulsa.
Pasti kau bisa melanjutkanya. Pasti kau bisa melanjutkannya .... “Ya hallo” suara keren Duta vokalis SO7 berganti menjadi suara cempreng Ferry.
“Fer, tolong dong liatin di kamarku. Ada flashdisc nggak.”
“Iya sebentar, tanggung, nunggu iklan ya.”
"Yaelah, ni anak. Ntar keburu pulsaku habis. Tolong dong cepetan."
"Iya, iya, bentaaaarrrrrrrrrrrrrrr ni lagi jalan!" kata Ferry, sewot.
Tak lama kemudian.
“Ada Den. Bentuknya panjang, item, berbulu kan? Hahaha ... dasar aneh lu, flashdisc pake dikasih gantungan kepala singa segala."
"Ya, bener itu dia, Ferr. Tepat sekali." jawab Aden, girang.
"Ah, bener-bener parah lu ah, masih nyantol di USB komputer lu nih.” suara Ferry terdengar di ujung sana.
“Hehe ... Ferr.” Aden memanggil.
“Iya, kenapa?” jawab Ferry ketus. Sudah bisa menebak apa yang akan terjadi.
“Hehe ... minta tolong anterin sini dong. Pinjam motor Andri, pake jas ujan. Repot kalau mesti balik lagi ke kos pake Hassan.” rayu Aden.
“Kampret lu ah. Dasar pikun."
“Biarin, yang penting ganteng, hehe.”
“Tanggal ulang tahun lu kapan?”
“Empat Agutus. Kenapa?”
“Ntar gue kadoin Cerebrovit satu dus! Nyusahin orang aja lu ah. Pikun kok dipelihara.” Ferry mengomel.
--
Sambil menunggu sahabatnya itu datang Aden duduk di depan rental, sebatang rokok Marlboro Light dihisapnya penuh perasaan. Asap rokoknya membaur dengan deras hujan yang jatuh ke lantai depan rental itu. Tiba-tiba sebuah mobil CRV menerobos dari balik air hujan. Berhenti parkir di sebelah Hassan.
DEG!!! Hampir saja Aden terbatuk karena kaget.
“Neon?” dalam batinnya.
Dan Fidhi.” Dilihatnya Fidhi keluar dari mobil itu. Ingin rasanya Aden bersembunyi. Namun sudah tidak sempat dan tidak ada tempat, hanya ada sebuah kardus kosong di depannya. Tidak mungkin bersembunyi di situ. “Emangnya aku mie instan.” batin Aden. Dia mengurungkan niatnya. Dan memang sudah terlambat karena Fidhi telah melihatnya.
“Hai. Ketemu lagi." sapa Fidhi, akrab dan hangat.
“Hai juga Fi.” balas Aden.
“Oya, masih ingat nggak sama dia?” tanya Fidhi sambil merangkul lengan Neon.
“Siapa ya? Kayaknya bukan makhluk asing deh, mukanya nggak asing soalnya. Pernah masuk tivi ya?" Aden menjawab sekenanya, pura-pura lupa.
Fidhi tersenyum. Sementara Neon setengah mendelik matanya ke arah Aden.
“Ini Neon, teman sekolah kita dulu. Inget nggak?”
Aden memicingkan mata, mengamati wajah Neon, pura-pura sedang berusaha mengingat.
"Neon ini memang udah banyak berubah kan. Jadi pasti bikin pangling. Dulu dia chubby banget, sekarang udah kurusan." Fidhi masih mencoba berusaha mengingatkan Aden.
"Kurusan dari hongkong? Orang masih mirip kayak kulkas dua pintu gini kok dibilang udah kurusan. Fiiiii ... fiiii ... kesambet jin mana sih kamu itu. Selera kamu itu parah banget tau nggak sih. Sadarrr dong Fiiiiii." Aden membatin.
“Oh iya. Neoooonnn. Ya ampun aku baru inget. Kalian masih pacaran? Wah awet banget. Nggak ada expired atau tanggal kadaluarsanya haha. Selamat ya.” Aden berpura-pura heboh. “Hai ...” lanjut Aden menyapa Neon.
Neon tidak membalas senyumnya.
Masih tetap belagu seperti dulu. Batin Aden, menilai.
“Oh iya, kemarin kita sempat bertemu. Di jalan. Di kantor polisi juga.” Aden memberitahu.
“Di kantor polisi?” Fidhi heran.
Neon melotot seketika. Seakan memberi ancaman agar Aden tutup mulut.
“Oh bukan ding, hanya mirip aja kok.” Aden berbohong. Tidak ingin ribut di depan Fidhi.
Kemudian Neon pergi meninggalkan mereka menghampiri penjaga rental.
“Ohh ... eh, sekarang di mana? Kuliah atau kerja?” Fidhi bertanya. Pertanyaan yang membuat urat malu Aden mengencang.
"Bohong apa jujur ya?" batin Aden. Terjadi perang batin.
“Aku ... masih ... kuliah.” Jawab Aden lirih. Mukanya merah tak bisa disembunyikan.
“Ohhh ... kamu masih badung juga ya. Sama seperti waktu SMA dulu.” Fidhi menanggapi dengan santai.
"Wajarlah kalau anak cowok begitu.” lanjut Fidhi, membesarkan hati Aden.
Neon masih sibuk dengan si penjaga rental. Namun matanya sesekali mengawasi Fidhi dan Aden yang tengah mengobrol.
“Kalau Fidhi sekarang masih kuliah atau sudah bekerja?” Aden memberanikan diri bertanya.
“Aku kuliah di sini, di UGM.” jawab Fidhi enteng.
“Olala ... ternyata dia juga masih kuliah rupanya. Yes!!! ... aku nggak sendirian, masih ada yang belum lulus juga ternyata. Jangan-jangan kita emang jodoh. Kita senasib.” Batin Aden, kepercayaan dirinya kembali tumbuh, sedikit.
“Lho, bukannya kamu itu rajin dan pintar, kok bisa belum lulus? Wah, jangan-jangan gara-gara pacaran terus ya?” tuduh Aden setengah bercanda, sambil melirik ke arah Neon.
“Oh ... eh, aku sudah lulus S1 kok. Sekarang kuliah lagi, ngambil S2 di sini.” Fidhi menjelaskan. Mukanya merah karena sekuat tenaga menahan tawa.
DEG.
Urat malu Aden seakan semakin mengencang, terus mengencang dan, Tes ... seperti terdengar putusnya urat malu Aden. Kali ini dia benar-benar malu dan jatuh kewibawaannya di depan perempuan pujaannya itu. Beruntung Ferry datang dengan motor dan jas hujan pinjaman dari Andri. Tubuhnya rapat dibalut jas hujan warna gelap. Mukanya tertutup helm cakil. Persis seperti Batman yang datang menolong di saat yang tepat, muncul dari balik kegelapan.
“Eh maaf Fi, sudah dulu ya. Buru-buru nih udah telat. Baru ingat aku ada acara dengan teman.” Aden beralasan agar bisa segera pergi dari tempat tersebut. Menghilang sejauh mungkin dari pandangan Fidhi.
Fidhi tersenyum. Mengangguk.
“Tuh, dia sudah datang.” Aden menunjuk Ferry yang masih di atas motor dengan muka tertutup helm.
Sebelum Ferry turun dari motor, Aden bergegas menghampirinya dan masuk ke dalam mobil. Beruntung Ferry juga belum melihat Fidhi. Jika sampai Ferry dan Fidhi bertemu maka akan ada reuni SMA mendadak, obrolan akan semakin lama, bisa-bisa dia masuk koran karena mati akibat berlama-lama menanggung malu di situ.
“Yuk, cabut.” ajak Aden.
“Lho, nggak jadi ngeprint?” tanya Ferry heran.
“Printernya rusak, pindah tempat lain saja.” Aden berbohong. Kemudian buru-buru membawa Hassan pergi dari tempat itu.
“Sontoloyo.” Ferry sewot sambil mengekor di belakang Hassan, hujan-hujanan.
“Huff ... untung saja tadi Fidhi nggak mengenali Ferry karena tertutup kaca helm.” Batin Aden, lega. Hassan pun meluncur pelan di jalanan yang sedikit banjir, diikuti Ferry yang tidak berhenti mengomel.
“POKOKNYA HARUS TRAKTIR MAKAN!! POKOKNYA HARUS TRAKTIR MAKAN!!”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun