Seorang Lelaki Harus Bertanggung Jawab
Pada kalendernya Aden melingkari tanggal yang dikeramatkannya itu dengan spidol merah, 23 Maret. Ditulisnya besar-besar di sudut bawah kalender,
JANGAN SAMPAI LUPA KUN ... PIKUN!!!
SATU PERTEMUAN PENTING DAN SATU PERTEMUAN LEBIH PENTING!!!
Dan hari itu pun tiba.
“Pertemuan pertama bertemu pak Bowo untuk membicarakan band, itu penting. Kemudian pertemuan kedua adalah sekalian mampir di rumah Fidhi, ketemu Fidhi itu lebih penting.” kata Aden menjawab pertanyaan Ferry, teman satu kost, tentang apa maksud dari note di kalender itu.
“Jadi cewek itu lebih penting dari pada karir ya, Den?” Ferry menyimpulkan.
“Iya dong, buatku urutan godaan bagi laki-laki yang benar adalah, pertama itu wanita, kemudian harta, setelah itu baru kemudian tahta.” jawab Aden mantap.
“....... ????”
“Embahku bilang kalau wanita sholehah itu sebaik-baiknya perhiasan di dunia.” lanjut Aden seceplosnya sambil menyemprotkan parfum ke badannya.
“Embah lu itu dengar dari mana?”
“Dari ibunya.”
“Kalau ibunya embah lu denger dari mana?”
“Denger dari embahnya embahku.”
“Lha trus embahnya embah lu denger dari siapa?”
“Mungkin dari Nabi Muhammad SAW.”
Ferry mengangguk-angguk.
"Si Hassan aku ajakin boleh nggak, Fer?” tanya Aden.
“Lu mau ke mana?” Tanya Ferry.
Aden tidak menjawab. Tangannya menunjuk tulisan yang tadi mereka bahas.
“Nggak sampai malem kan? Jam sembilan gue ada acara.” Kata Ferry.
“Beres deh pokoknya.” Aden meyakinkan.
"Ya udah ajak aja, tapi jangan lupa kasih minum.” Ferry memberi ijin
“Oke, aku bikin kembung dah tuh.” janji Aden sambil ngeloyor pergi.
Hassan, adalah sebuah mobil keramat milik Ferry. Mobil Nissan keluaran tahun 1985 itu sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidup Ferry. Dia menganggap mobilnya itu sudah seperti sepupunya sendiri. Rasa sayang Ferry terhadap Hassan sudah tidak diragukan lagi. Entah sudah tidak terhitung rupiah yang dikeluarkan Ferry demi membuat Hassan tampil lebih kece dan trengginas. Hassan sendiri mempunyai nama lain yang diberikan oleh teman-teman kampus Ferry yaitu si Onta karena jalannya yang pelan dan boros minum bensin. Ada juga sebagian teman-temannya yang menamai dengan sebutan si Engkong karena faktor usianya yang sudah tua dan jago ngerokok. Bisa dilihat dari begitu tebal dan pekatnya asap yang keluar dari knalpotnya. Selain itu Hassan terkenal juga dengan hobinya yaitu jago mogok.
Aden berpikir si Hassan bisa dijadikan senjata untuk mampir ke rumah Fidhi. Rencananya adalah Hassan pura-pura mogok tepat di depan rumah Fidhi, dan Aden bisa pura-pura numpang istirahat di situ dan tentunya agar bisa pedekate lagi sama Fidhi. Harus dengan alasan yang masuk akal karena Aden gengsi jika Fidhi tahu dia sengaja ingin mampir. Hal itu terjadi karena janjinya dulu. Dulu, Aden sudah nembak Fidhi sepuluh kali tetapi masih ditolak juga. Karena emosi dan frustasi akhirnya Aden bilang pada Fidhi kalau tidak akan mengejar-ngejar dia lagi. Sebagai seorang lelaki Aden harus konsekuen dengan apa yang telah dikatakannya. Tetapi apa mau dikata, pak Bowo secara tidak sengaja telah membangkitkan rasa rindunya. Rasa yang telah lama terkubur dalam-dalam oleh reruntuhan gengsi yang begitu besar. Dia ingin menemuinya.
Kebetulan!!!
Jodoh memang tak bisa dihindari.
Pukul empat tepat sore itu Aden berangkat dari kos. Jalanan cukup ramai, banyak orang pulang kerja. Aden paling tidak bisa ngebut, apalagi di tengah situasi ramai seperti ini. Jadi si Hassan dibawanya hanya melaju pelan sambil menikmati pemandangan di sepanjang jalan. Bermacam-macam pemandangan. Pemandangan favorit tentunya adalah angkot-angkot yang berhenti seenaknya sendiri. Mereka itu seakan-akan berkoalisi dengan becak-becak yang berhenti berjajar hampir menutupi setengan jalan.
“Sepertinya perlu ada undang-undang lalu lintas bagi becak.” kata Aden kepada Andri, teman satu kosnya yang ikut nebeng sampai kampus.
“Becak itu salah satu jenis kendaraan yang kebal hukum lalu lintas. Lampu merah nggak mempan bagi mereka. Mungkin dianggapnya sebagai lampu hias jalan saja.” Aden mengomel. Perhatiannya tertuju ke segerombolan becak yang berbaris membuat macet.
“Atau mungkin mereka itu memang buta warna, ya? Yang jelas merah, kuning, hijau bagi mereka sama saja, jalaaan teruuuus.” Katanya lagi, ketus.
“Dan tau nggak Ndri, parahnya lagi nggak sedikit dari mereka menggunakan ‘riting jari ngacung’. Kamu pasti pernah lihat seorang abang becak yang belok tanpa melihat kanan kiri dulu. Cukup dengan mengacungkan jari telunjuknya ke arah mereka akan belok, dan semua pengendara lain harus mengalah memberikan jalan!” Aden terus mengomel, tanpa menyadari bahwa Andri tengah asyik mendengarkan mp3 dengan head set.
“Sontoloyo! Diajak ngobrol taunya nggak dengerin.” gumam Aden sambil nonyol kepala Andri. Merasa mendapat serangan mendadak tanpa tahu apa kesalahannya, Andri tak terima dan balas menonyol. Dan terjadilah perang tonyol menonyol. Baru berhenti saat keduanya telah merasa lelah.
Mereka kembali sama-sama terdiam. Andri kembali asyik dengan suara merdu Maria Carey. Aden pun kini sudah tidak perduli dengan becak-becak itu. Bayangan Fidhi sepintas hadir dalam pikirannya. Hassan terus melaju pelan, bagai mesin waktu Aden dibawanya ke beberapa tahun silam.
---
"Den ... ikut nggak?" teriak seseorang di belakangnya. Suara yang sudah sangat dikenalnya.
"Kemana Fer?" Aden balik bertanya.
"Ke kantin, ini rame-rame sama anak-anak kelas." jawab Ferry.
Benar saja, di belakang dia hampir semua anak laki-laki di kelasnya mengikuti Ferry.
"Ada apaan nih? Memangnya harga nasi rames di kantin naik ya? Pake demo segala?" tanya Aden, heran.
"Udah ikut aja." paksa Ferry.
“Sebenarnya aku mau ke perpustakaan, tetapi demi kemaslahatan perut oke deh aku ikut kalian saja.” Aden memberi alasan.
“Kalau benar harga nasi rames naik maka aku pastiiin akan berada di garis paling depan dan berteriak paling lantang dalam demo nanti.” batin Aden sambil berjalan mengikuti rombongan.
Dalam perjalanan ke kantin dia sudah memikirkan orasi yang akan dia teriakan nanti. Tiga tuntutan sudah terpikir di otaknya, adalah:
1. Turunkan harga nasi rames,
2. Berlakukan kembali kebijakan bon (boleh ngutang),
3. Pekerjakan kembali Yayuk di kantin.
Yayuk adalah anak pemilik kantin sekolah. Orangnya manis dan baik. Yayuk dapat menambah nafsu makan Aden. Sudah seminggu ini dia diberhentikan secara sepihak oleh orang tuanya. Alasannya karena mereka khawatir dengan tingkah anak-anak yang semakin dekat dan nekat kepada Yayuk. Ferry pernah di lempar gorengan dan ditampar oleh bapak pemilik kantin karena telah bersikap kurang ajar terhadap Yayuk. Sempat terjadi perang dingin saat itu antara Ferry dan pemilik kantin, sampai akhirnya Ferry meminta maaf dan mereka kembali berdamai.
Sesampainya di kantin ternyata sudah sangat ramai. Banyak anak-anak perempuan dari kelas Aden juga di sana. Bu Birin sudah menyiapkan banyak nasi rames dan minuman dingin di meja kantin. Terhidang rapi. Siap ludes dalam sekejap jika Pasukan Lapar atau Doyan menyerbu. Pasukan Lapar atau Doyan adalah nama geng yang biasa nongkrong di kantin sekolah, mereka adalah Ferry, Fuad, Upi, Ades, Avid, dan Aden sendiri. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di kantin dari pada di kelas. Kantin sekolah adalah tempat yang aman untuk membolos pelajaran. Letaknya jauh di belakang dan terisolasi dari kantor guru.
"Ayo teman-teman silahkan makan dan minum sepuas kalian. Hari ini kita ditraktir oleh teman baru kita yang cantik dan baik hati ini." teriak Ferry sambil melirik ke arah perempuan di salah satu meja.
Pasukan Lapar atau Doyan yang jika saat pelajaran di kelas lebih senang duduk paling belakang, tetapi disaat-saat seperti ini mereka selalu ada di barisan terdepan. Namun tidak seperti biasanya, kali ini konsentrasi Aden lebih terfokus pada murid baru yang hanya duduk sambil senyum-senyum melihat keganasan Pasukan Lapar Atau Doyan. Senyumnya benar-benar membuat dirinya merasa telah kenyang.
"Den, sini aku kenalin sama murid baru di kelas kita." panggil Ferry, Aden tersentak kaget. Dan kemudian mendekat.
"Fi, ini kepala suku kita, namanya Aden, kalian kenalan deh. Tadi dia nggak masuk kelas karena ngurusin alat band untuk acara pensi." kata Ferry kepada Fidhi. Kemudian Ferry berjalan pergi meninggalkan mereka berdua.
“Halo, aku Aden.” Aden memperkenalkan diri, berusaha bersikap setenang mungkin. Rasa grogi tiba-tiba menyerangnya.
“Hai, panggil aja Fidhi atau Fi aja juga boleh.” balas Fidhi, ramah.
“......”
“......”
“Lho, kok malah diem-dieman?” Ferry kembali sambil membawa dua piring nasi rames.
“Eh .. oh iya, pindahan dari mana?” Aden bertanya, gugup.
“Aku pindahan dari Jakarta tetapi sebenarnya asli sini. Di Jakarta hanya satu tahun.” Jawab Fidhi.
Aden mengangguk-angguk. Mereka kembali diam. Ferry acuh saja, asyik dengan nasi ramesnya.
“Ferr, nasi rames satunya buat aku, ya?” Aden mengalihkan pembicaraan.
“Enak aja. Ambil sendiri sana. Masih banyak tuh.” jawab Ferry sambil mengamankan nasi ramesnya yang kedua.
Aden tersenyum pada Fidhi, pamit dan berjalan pergi.
--
Tootttt.... toottttt.. !!!
“Woi ... jalan! Merah tuh!” bentak seorang supir angkot di belakang Hassan. Menyadarkan Aden dari lamunannya.
“Sabar dong pak, orang sabar rejeki lebar.” balas Aden sambil menginjak pedal gas Hassan. Hassan kembali melaju pelan melintas kota Jogja.
"Duhai Fidhi, masihkan kamu sefenomenal dulu? Gimana kamu sekarang? Masih cantik kah? Masih seksi kah? Atau kamu sekarang sudah jadi gemuk gara-gara pacaran dengan Neon si cowok pemakan segala itu?" pertanyaan-pertanyaan itu timbul di dalam benaknya, rasa rindu membaur bersama rasa penasaran yang besar. Tiba-tiba sebuah mobil di depan Hassan menabrak sebuah becak yang akan menyeberang jalan.
DUAAARRR.
“Waduh Ndri, ada abang becak dikudeta, terjungkal dari singgasananya.” Kata Aden sambil mengerem mendadak.
“Bukan cuma itu Den, dia juga kangen aspal tuh. Aspalnya dicium. Gila.“ balas Andry sambil melongo.
“Yee ... km malah becanda. Tolongin ... tolongin kasian.” Aden cepat keluar dari mobil.
Kemudian sesosok pria gendut keluar dari mobil yang menabrak becak tersebut. Sepintas Aden melihat wajah pria gendut itu, seolah dia mengenalinya, tetapi lupa. Tidak ada cukup waktu untuk mengingat-ingat siapa pria gendut itu, Aden bertindak cepat mencegahnya berbuat sewenang-wenang kepada si abang becak.
"Anjriiittt ... lu punya mata nggak sih? Nyeberang jalan nggak pake liat kanan kiri, main belok aja. Lu pikir ini jalan nenek moyang lu??!!" bentak pria gendut pada si abang becak yang masih meringis kesakitan.
"Eh ... mas sabar dulu dong, itu kasihan si abangnya sudah bonyok begitu, mendingan kita pinggirin dulu biar nggak di tengah jalan begini." kata Aden berusaha meredam emosi si pria gendut. Kali ini Aden membela si abang becak dengan riting ngacungnya karena memang kondisinya sudah memprihatinkan. Siapa yang salah siapa yang benar itu urusan nanti, yang terpenting sekarang adalah si abang becak diamankan dulu. Begitu pikirnya.
Tidak lama kemudian polisi datang. Polisi yang juga gendut, juga berkumis tebal. Rombongan polisi lain menyusul di belakangnya dengan mobil. Tempat kejadiannya memang tidak jauh dari pos polisi. Melihat gelagat yang tidak beres Aden sedikit-demi sedikit menjauh dari tempat kejadian dan menuju mobil. Tetapi terlambat.
“Maaf, mohon saudara ikut kami ke kantor polisi, kami butuh keterangan dari saksi mata.” Langkah Aden terhenti begitu mendengar si Polisi gendut berkumis berbicara ke padanya. Dari sekian banyak saksi mata, dia yang diminta ikut ke kantor polisi gara-gara kejadian tersebut untuk dimintai keterangan sebagai saksi mata.
Ke kantor Polisi lagi!!!
---
“Rasanya ada yang lupa, Ndri, apaan ya?” tanya Aden kepada Andri setelah selesai memberi keterangan kepada Polisi.
“Anterin aku ke kampus Den, sudah telat nih.” kata Andri tak mengubris pertanyaan Aden.
“Ohh iya, siaaalll... aku harus ketemu pak Bowo jam lima!” Aden teringat janjinya. Dia benar-benar lupa.
Pikun kronis.
“Sori Ndri, aku udah telat, ada janji dengan seseorang, kamu naik angkot aja, ya? Udah deket kan?”
“Hemm ... Oke deh. Udah deket kok dari sini.” jawab Andri sambil menghentikan angkot yang melintas di depannya.
Jam sudah menunjukan pukul 5 sore, lebih 30 menit. Hassan kali ini dipaksa untuk melaju lebih kencang lagi.
---
Butuh waktu sampai lima menit bagi Aden untuk bercermin di kaca spion Hassan sebelum benar-benar siap masuk menemui Fidhi. Rambutnya yang sebahu diikat agar terlihat rapi. Tubuhnya yang tinggi dan kurus dibalut dengan setelan kaos bertuliskan huruf 'A' dan celana jins biru yang menjadi andalannya. Aden melangkah masuk dengan penuh percaya diri. Kali ini dia membawa Hassan yang cukup memberikannya kepercayaan diri. Sebelumnya sopir-sopir angkotlah yang selalu setia mengantar perjuangannya dalam mendapatkan hati Fidhi.
Sampai di halaman rumah Fidhi, Aden melihat ada sebuah mobil Honda CRV terparkir manis di situ. "Ada tamu kayaknya. Apa pacarnya Fidhi ya?" Aden bertanya-tanya dalam hati. Kepercayaan dirinya mulai berkurang, ketika melihat Hassan yang terparkir lesu di luar.
“Eh, kalau nggak salah inikan mobil si gendut yang tadi nabrak becak.” Aden teringat. “Kok di sini ya?” Aden penasaran.
Benar saja, Aden melihat si gendut sedang duduk di teras rumah Fidhi. "Gendut. Ngapain kamu di sini?” batin Aden semakin heran. Fidhi duduk di sebelahnya.
“Ereeehhhh... “ Aden teringat sesuatu.
“Neon? Si gajah duduk” Aden menghentikan langkahnya.
“Pakai pelet apa tuh orang, awet banget sama si Fidhi." batin Aden, kecewa. Dengan cepat dia berbalik badan mengurungkan niatnya. Berjalan setengah mengendap-endap menuju keluar. Beruntung Fidhi dan Neon tidak menyadari kehadirannya. Sampai di mobil dia buru-buru berusaha menyalakan mesin.
TERRRR ... TERRRR ... TEESSSSS ...
Hassan tak bergeming. Seolah kehabisan stamina setelah dipaksa melaju kencang oleh Aden. Lima menit Aden mencoba untuk menyalakan mesin tapi percuma, Hassan memang terkenal juga sebagai mobil yang keras kepala. Aden menyerah, dia mengambil handphone dalam sakunya. Nomor kontak Ferry dicallnya. Bukannya Ferry yang menjawab, akan tetapi yang didengarnya justru suara operator yang memintanya untuk mengisi pulsa kembali. Pulsanya habis, bengkel pun tak ada di sekitar situ. Aden kehabisan akal. Akhirnya dengan sangat terpaksa dia memberanikan diri untuk masuk kembali ke halaman rumah Fidhi. Namun kali ini dilihatnya Fidhi hanya sendirian duduk di teras.
“Si gajah duduk ke mana? Ah, beser kali.” batin Aden, tak mau ambil pusing.
Aden segera mengampiri Fidhi, sebelum Neon keluar.
“Malam, Fi. Eh ... hai.” sapa Aden. Mengagetkan Fidhi yang tengah asyik membaca sebuah majalah.
“Oh. Hai. Aden? Apa kabar? Lama nggak ketemu.” Fidhi balas menyapa dan berbasa-basi.
“Fi, aku buru-buru nih. Maaf kalau mengganggu. Boleh minta tolong nggak?” Aden to the point tanpa menjawab pertanyaan basa-basi Fidhi.
“Minta tolong apa?”tanya Fidhi, heran.
“Eeee... eee... Aku nitip mobil ya? Mogok di depan rumah kamu. Besok aku ambil sama temen ke sini.” kata Aden sambil menahan malu.
Pertemuan yang cukup romantis!!!! Setelah kurang lebih lima tahun tidak bertemu.
“Ada tiga kabar buruk dan satu kabar baik, mau denger yang mana dulu?” tanya Aden begitu sampai di kos, kepada Ferry yang tengah asyik bermain game komputer di kamar Aden.
“Kabar baiknya terakhir aja deh.” jawab Ferry setengah tak perduli, masih menatap layar monitor.
“Kabar buruk pertama, aku gagal bertemu pak Bowo gara-gara telat.” Kata Aden sambil menyambar susu Ultra di meja komputer.
“Lalu?”
“Kabar buruk kedua, aku juga gagal ketemu sama Fidhi gara-gara si Neon ternyata lagi ngapel di sana.”
“Neon siapa?”
“Itu lho, pacar Fidhi sejak dari SMA. Inget nggak?”
Ferry tak menjawab.
“Si gajah duduk? Inget?” tanya Aden lagi.
“Ooohhh .. iya .. iya, gue inget.”
Terus kabar buruk ketigaaa ... “ Aden tidak melanjutkan kalimatnya. Tangannya memegang pundak Ferry. Memijitnya.
“Ahhh ... iya, Den, enak banget. Badan gue emang lagi pegel gara-gara tadi pagi dorong si Hassan. Kalau nggak inget itu mobil adalah pemberian dari almarhum bapak gue dah gue jual tu mobil. Udah kayak gerobag aja, minta didorong terus.” Kata Ferry. Aden cekikikan mendengarnya.
“Oya kabar ketiganya apa?”Ferry penasaran
Aden berhenti tertawa. “Hassan, Ferr. Hassan ... si Hassan ternyata mogok betulan, jadi aku titipin di rumah Fidhi.” Aden menjawab lirih.
Ferry menoleh kaget, melotot. Mobil yang dimainkannya dalam game komputer dibiarkannya menabrak dan terguling. “Serius lu?”
Aden hanya nyengir dan mengangguk pelan. Sambil terus memijit pundak Ferry. Lebih kencang.
“Addduuhhh... jam 9 nanti malam gue janji jemput Fifi di stasiun. Dia dateng dari Jakarta.”
“Trus gimana dong? Namanya juga musibah, Ferr. Ma....aaaaffffffff.”kata Aden dengan muka memelas.
Kampret lu ah.” semprot Ferry, sewot.
“Trus gimana? Mau kita ambil sekarang? Kita derek pake motor Andri?”
“Yee ... malah bercanda ni anak. Lu kan tau si Fifi itu orangnya gimana, dia nggak akan mau kalau dibonceng naik motor. Terus kalau nggak ada mobil gini gimana coba?” Ferry makin sewot.
“Maaf Ferr, aku juga nggak tau kenapa sial begini.”
“Jadi gimana nih, masa gue jemput jalan kaki? Gue gendong dia, gitu?” Ferry masih belum terima.
“Gini aja, kamu jemput dia naik taksi, lima puluh ribu cukup kan?” Aden menyarankan. Dia membuka dompetnya, dan mengambil selembar uang lima puluh ribuan yang kesepian. Satu-satunya uang yang tersisa di dompet Aden.
“Nah gitu dong, seorang lelaki harus bertanggung jawab.” Ferry segera menyambar uang tersebut sambil nyengir.
“Trus, kabar baiknya?” lanjur Ferry.
“Kabar baiknya adalah ... aku bisa pulang ke kos dalam keadaan selamat, sehat wal afiat.” jawab Aden sambil menyambar handuk dan keluar kamar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H