Akhir-akhir ini mencuat kasus pertambangan emas terbesar di dunia yang dimiliki PT Freeport Indonesia di Provinsi Papua, Indonesia. Kasus ini memanas hingga Richard C. Adkerson, presiden McCoran Freeport Inc., induk PT Freeport Indonesia akan membawa kasus ini hingga ke pengadilan arbitrase internasional. Permasalahan muncul karena PT Freeport Indonesia yang awalnya berstatus Kontrak Karya tidak mau menuruti peraturan menteri ESDM untuk merubah statusnya menjadi Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) guna memperleh ijin eksport hasil tambang dari lokasi pertambangan di Timika, Papua ke Amerika Serikat. Presiden McCoran Freeport Inc. mengatakan bahwa IUPK memberi dampak yang tidak menguntungkan bagi perusahaannya.
Sebagaimana diketahui, PT Freeport Indoneia telah berdiri sejak awal orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto. Perusahaan tersebut memiliki prosentase yang besar terhadap keuntungan pertambangan dari PT Freeport Indonesia di Timika, Papua. Tentu tidak akan mudah bagi PT Freeport untuk melepaskan sahamnya kepada pemerintah ataupun perusahaan yang berpusat di Indonesia. Sebagaimana dalam peraturan IUPK, pemegang dalam hal ini PT Freport harus melepaskan hingga 51% saham perusahaan. Tentu tidak akan mudah bagi PT Freeport melepaskan saham pertambangan yang selama 50 tahun atau setengah abad ini sudah memberikan keuntungan yang tak ternilai jumlahnya dari bumi papua.
Menyikapi hal itulah, PT Freeport McCoran melalui presiden perusahaan Richard C. Adkerson berupaya mengajukan permasalahan yang dihadapi ke pengadilan arbitrase internasional. Dalam kasus ini, PT Freeport McCoran melaporkan pemerintah Republik Indonesia atas klaim pertambangannya di Timika, Papua sehingga Pemerintah Indonesia dalam hal ini akan berhadapan dengan PT Freeport McCoran di pengadilan arbitrase internasional.
Sebagai sebuah negara yang besar dengan jumlah penduduk yang besar, tentunya harapan pemerintaah adalah ingin memanfaatkan setiap sumber daya alam berupa tanah, air dan kekayaan alam lainnya yang ada di Indonesia untuk kemslahatan warganya sebagaiman amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 3. Termasuk dalam hal ini adalah sumber daya mineral yang selama ini ‘dibiarkan’ luput dari memberi manfaat kepada warganya di PT Freeport Indonesia, Papua. Pemerintah dalam masalah ini tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri menghadapi keangkuhan penjajah asing yang ingin terus menerus mengeruk kekayaan Indonesia melainkan harus dibantu dengan sikap dan dukungan dari rakyatnya. Hal ini harus dipahami bahwa kemenangan pemerintah Indonesia akan membawa dampak kemakmuran bagi rakyat Indonesia utamanya Papua yang selama ini selalu tertinggal dalam berbagai hal.
Menyikapi hal tersebut, ternyata beberapa waktu yang lalu ketua organisasi masyarakat terbesar di Indonesia, Partai Besar Nahddlotul Ulama’ (PBNU) yakni KH. Sa’id Aqil Siroj telah menyampaikan sikapnya mewakili seluruh masyarakat NU di Indonseia. Sikap yang berisi dukungan moral Nahdlotul Ulama’ (NU) tersebut disampaikan oleh Sa’id Aqil ketika bertemu dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan di kantor Kementerian ESDM Jakarta lima hari lalu tepatnya pada Senin 20 Februari 2017. Sikap PBNU tersebut tentunya mewakili aspirasi seluruh mssyarakat NU atas permasalahan yang saat ini dihadapi oleh pemerintah.
Sikap yang disampaikan oleh Said Aqil dan utamanya kalangan nahdlliyin adalah upaya memberikan dukungan dalam rangka melakukan pembelaaan atas apa yang saat ini terjadi di tanah air Indonesia. Sikap ini merupakkan sikap yang diajarkan oleh guru spiritual terbesar bagi kalangan Nahdlotul Ulama’, KH. Hasyim Asy’ari bahwa dalam memperjuangkan segenap tumpah darah adalah bagian dari iman atau dalam Bahasa Arab dikenal dengan istilah Hubbul Wathon Minal Iman. Hal ini pernah dijalankkan oleh kalangan Nahdlotul Ulama’ dalam rangka mempertahanan kemerdekaan di awal masa revolusi. Yakni ketika terjadi pertempuran 10 November di Surabaya dimana waktu itu myarakat NU, khususnya kalangan santri rela berperaang demi mempertahankan keutuhan NKRI sebagai bagian dari jihad Islam.
Kini ketika kemerdekan sudah tercapai, berjuang di medan perang bukan lagi menjadi sebuah bentuk yang relevan untuk menunjukan hubbul wathon atu cinta tanah air. Upaya menunjukan hubbul wathon atau cinta tanah air saat ini dibuktikan dengan upaya riil membela harkat dan martabaat bangsa dari berbagai upaya asing yang ingin merendahkan kedaulatan bangsa dan negara.
Dengan adanya upaya PT. Freeport yang tidak ingin patuh pada peraturan pemerintah bahkan mengajukan keberatannya hingga ke pengadilan arbitrase internasional, inilah saatnya masyarakat NU khususnya serta utamanya seluruh rakyat Indonesia untuk bersatu menunjukkan rasa cintanya terhadap tanah air dengn cara bersikap melawan keangkuhan PT. Freeport. Serta utamanya bagi masyarakat muslim sebagai mayoritas pemeluk agama di tanah air ini, membentuk barikade hubbul wathon untuk menolak PT. Freport akan jauh lebih mulia dalam rangka jihad fi sabilillah daripada membentuk barikade yang mempermasalahkan kasus hukum segelintir oknum yang tidak disukai.
Dengan adanya sikap yang sama dalam rangka mendukung pemerintah untuk mengatasi kasus ini, paling tidak akan ada dorongan semangat bagi pemerintah untuk memenangkan kasus Freeport di pengadilan arbitrase internasional. Tentunya tidak lupa dengan doa dan upaya riil berupa sikap dukungan terhadap pemerintah, kemenangan untuk pemerintah yang berarti kemenangan untuk rakyat Indonesia adalah sebuah harapan besar yang ditunggu-tunggu akan kedatangnnya.
Nur Kholis, Pimpinan Umum LPM DinamikA IAIN Salatiga 2016, Lembaga Pers IPNU-IPPNU Kab. Semarang 2016-2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H