Mohon tunggu...
Coolis Noer
Coolis Noer Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writing to Release an Overthinking

Menulis sebagai bentuk ekspresi, juga mengungkapkan rasa syukur

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ahmadiyah Dalam Perspektif Kekinian, Bagaimana Seharusnya Kita Menanggapinya?

25 Mei 2016   19:41 Diperbarui: 25 Mei 2016   20:01 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SUmber: Zuhairimisrawi.id

Berbicara tentang suatu golongan, nampaknya terlalu sensitive terlebih menyangkut masalah agama yang menjadi bagian dari isu paling sensitif di negeri ini, yakni isu SARA. Tak bermaksud mendiskriminasi sebuah golongan tertentu, tapi dalam artikel ini sekadar ingin mempertanyakan kabar atau lebih tepatnya persepsi masyarakat terhadap entitas sebuah golongan agama yang dulu sempat mencuat.

Kabar tentang ahmadiyah, sebuah aliran yang diyakini beberapa kalangan sebagai sebuah golongan agama yang berlandaskan asas islamiyah namun memiliki sedikit perbedaan dengan ajaran agama islam pada umumnya, belum lama ini santer dibicarakan karena memiliki perbedaan tersebut. Bahkan karena saking dianggap berbeda dengan golongan islam pada lazimnya, belum lama ini, tepatnya bulan februari lalu sampai terjadi pengusiran masyarakat yang mengakui bahwa dirinya adalah golongan ahmadiyah. Mereka, golongan ahmadiyah ini menurut sumber Tempo bermaksud menuntut dikeluarkannya KTP dari kelurahan Sri Menanti, namun kamudian isu berkembang lebih hangat membawa nama golongan ahmadiyah. Masih menurut sumber yang sama, golongan ahmadiyah menurut beberapa golongan seperti HTI yang didukung oleh pemerintah daerah Kabupaten Bangka telah melanggar keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri nomor 199 tahun 2008, sehingga golongan ahmadiyah tersebut dianggap sesat yang kemudian menjadikan masyarakat setempat tidak lagi dapat menerimanya.

Isu-isu tentang agama memang merupakan sebuah isu yang sangat sensitive dimana hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Namun, demikian melihat kondisi keagamaan masyarakat yang sangat berpegang erat pada aqidah sebelumnya, dengan munculnya hal-hal bersifat privasi seperti ini dapat menjadi sebab munculnya pertikaian di tengah-tengah masyarakat, seperti yang terjadi di Kabupaten Bangka tersebut. Sebab lain karena masyarakat menimbang akan menyebarnya ajaran baru tersebut dan berpotensi merusak tatanan keagamaan yang telah diajarkan kepadanya secara turun temurun. Belum lagi adanya  tokoh agama yang menimbang bahwa munculnya ajaran baru tersebut sering kali tidak sesuai dengan koridor yang dianut oleh kalangan masyarakat yang berpegang teguh pada prinsip Al-Qur’an dan As Sunah sebagai dasar ajaran islam, sehingga kerap pula golongan baru tersebut dianggap sebagai aliran yang sesat.

Namun meski dianggap sesat oleh beberapa masyarakat di beberapa daerah, faktanya ahmadiyah kini dapat menjalankan kehidupan keberagamaannya dengan tenang di beberapa daerah. Bahkan di Indonesia sendiri, tepatnya di Kota Bogor dan Yogyakarta berdiri pusat keagamaan ahmadiyah yang berbeda kelompok. Kelompok Ahmadiyah Qadian atau di Indonesia dikenal dengan nama Jemaat Ahmadiyah Indonesia berpusat di Bogor, sementara di Yogyakarta adalah Ahmadiyah Lahore atau Gerakan Ahmadiyah Indonesia. Kegiatan keberagamaan dari golongan ahmadiyah ini pun juga sudah sampai di kota-kota di luar Bogor dan Yogyakarta, bahkan sampai ke desa-desa.

Di luar isu tentang sesatkah aliran ahmadiyah ini dilihat dari sudut pandang islam yang meyakini tidak adanya nabi lagi setelah nabi Muhammad, ternyata di sebagian daerah lain yang mengijinkan golongan ahmadiyah untuk tetap melaksanakan kehidupan keberagamaannya tetap damai dalam berinteraksi dengan masyarakat yang lain. Artinya bahwa isu tentang ahmadiyah tersebut merupakan aliran sesat ataukah tidak adalah tergantung bagaimana cara pandang masyarakat terhadap golongan ahmadiyah untuk kemudian disadari bahwa hal-hal tentang keberagamaan adalah sebagai hak-hak privasi setiap individu. Jika kemudian hak-hak privasi setiap individu tersebut dihargai oleh orang atau golongan masyarakat lain, maka kemungkinan kehidupan sosial akan terjalin dengan damai, namun sebaliknya jika hal itu dianggap sebagai sebuah “pilihan” yang salah dan melenceng dari kebiasaan masyarakat pada umumnya maka akan memunculkan sebuah interaksi sosial malah memicu pertikaian.

Bagaimana para kompasianer sendiri menyikapi tentang munculnya ajaran-ajaran baru yang kemudian diyakini oleh golongan masyarakat tertentu sebagai sebuah aqidah atau agama? Kompasianer perlu melihat juga bahwa asas kehidupan berbangsa kita adalah demokrasi, sehingga hal-hal bersifat keagamaan seperti ini dianggap sebagai sebuah hak-hak privasi dimana sepatutnya menurut asas demokrasi, kita harus menghargainya demi menjaga kedamaian kehidupan bersama. Nah, bagaimana para kompasianer menanggapinya?

Terima kasih

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun