Kurikulum pendidikan di Indonesia mengandung  pembelajaran mengenai pentingnya menghargai keberagaman di Indonesia. Nilai-nilai anti-rasisme telah diajarkan kepada masyarakata mulai dari pendidikan dasar, bahkan di perguruan tinggi pun pendidikan kewarganegaraan dan pancasila menjadi salah satu mata kuliah wajib. Pendidikan kewarganegaraan mengajarkan nilai-nilai pancasila, rasa nasionalisme, khususnya pengajaran sikap anti-rasisme. Masih ingatkah gambar orang seelompok orang dengan perbedaan warna kulit serta pakaian adat yang saling bergandengan tangan? Tentu saja gambar itu sering dijumpai di berbagai modul pembelajaran sekolah. Pendidikan moral, sikap saling menghargai perbedaan diselipkan Pendidikan kewarganegaraan harus selalu dipelajari terlebih lagi dalam dunia perkuliahan yang lebih multikultural. Mahasiswa dari berbagai daerah, suku, agama berkumpull dalam lingkup perguruan tinggi. Hal tersebut mengindikasikan mengenai pentingnya edukasi. Pendidikan multikultural  sangat penting dalam dunia perkuliahan, dimana semua perbedaan suku, ras dan agama berkumpul menjadi satu.
Realita pendidikan anti-rasisme nampaknya belum terimplementasikan secara menyeluruh. Sikap anti-rasisime tidak hanya sekedar menyuarakan demo sebagai pembelaan sikap rasis seperti fenomena di atas, akan tetapi perlu implementasi yang lebih jauh. Suatu ketika dalam forum, hadirnya mahasiswa papua meruapakn suatu hal unit dan membanggakan mengingat semangat mereka dalam menuntut ilmu. Teman-teman lainnya memberi semangat dan bersorak bangga ketika ada teman mereka yang datang dari juan. Namun, apakah keadaan di luar forum sama? tentu tidak, mahasiswa bergerumbul dan berbincang tanpa menghiraukan kehadiran mahasiswa papua tersebut. Mahasiswa tersebut hanya memiliki beberapa kenalan yang dekat satu atau dua orang. Entah karena mahasiswa tersebut pendiam atau memang kenyataan bahwa interaksi sosial dengan perbedaan warna kulit sulit dilakukan.
Sikap yang seharusnya dilakukan adalah merangkul dan saling menjalin hubungan sosial semestinya. Mayoritas orang memang sulit untuk berinteraksi sosial dengan orang lain yang secara fisik berbeda dengan berbagai stigma negatif yang menyertainya. Sikap semacam itu memang bukanlah ujaran rasisme, kekerasan atau kejahatan rasisme secara langsung, namun secara psikis sangat berpengaruh terhadap kenyamanan sosial. Kondisi yang penulis ceritakan memang tidak bisa mewakili sikap di wilayah lain terkait interaksi dengan saudara Papua. Menurut Utami (2017) dalam artikelnya yang membahas implementasi pendidikan multikultural berdasarkan pemikiran James A. Banks terdapat 14 point penting yang harus diterapkan dalam pndidikan multikultural formal di sekolah yang mana peran dari  pihak pengajar, siswa dan guru haruslah berkesinambungan. Guru dan orangtua harus peka terhadap munculnya benih rasisme pada siswa sejak dini, sehingga bisa ditanggulangi. Pembelajaran tidak hanya sekedar materi, namun juga harus memperlihatkan fenomena rasisme yang tidak patut dicontoh. Lingkungan multikultural dari berbagai agama, suku, warna kulit diutamakan sebagai wujud toleransi dan anti-rasisime sejak dini sehingga masyarakat terbiasa hidup berdampingan.
DAFTAR PUSTAKA
Utami, P.S. 2017. Pengembanagan Pemeikiran James A. Banks dalam Konteks Pembelajaran. Pancasila dan Kewarganegaraan. 2(2) : 1-10.
Putra, K. 2019. Analisis Penerapan  Nilai Pancasila Rasisme https://www.researchgate.net/publication/337849836_Analisis_Penerapan_Nilai_Pancasila_di_Indonesia_RASISME diakses pada 09 Juni 2020 pukul 19.57 wib.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rasisme diakses pada 9 Juni 2020 pukul 07.44 wib.
Kerusuhan di Papua buntut Kasus Rasial dan Hoaks by Dhias Suwandi. https://regional.kompas.com/read/2019/12/30/07000031/kaleidoskop-2019--kerusuhan-di-papua-buntut-kasus-rasial-dan-hoaks?page=all#page2 diakses pada 09 Juni 2020 pukul 19.52 WIB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H