Mohon tunggu...
Indriani Taslim
Indriani Taslim Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya adalah seorang mahasiswa fakultas ekonomi, jurusan ekonomi pembangunan. Saya juga seorang pengusaha muda, yang berkeinginan untuk menyejahterakan umat dengan mengamalkan konsep distribusi rezeki.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kapan Kita “Bisa” Memberi?

16 Mei 2012   04:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:14 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memberi itu harus ikhlas, kalau tidak mending tidak usah...

Memberinya pas sudah berlebih saja, kalau sudah kaya...

Apakah dalam pikiran anda masih setuju dengan dua kalimat diatas? Kalau iya, segera ubah cara berfikir anda mulai sekarang! Asahlah sifat dermawan anda dengan mulai berbagi kepada sesama. Sekecil apapun, meski keadaan anda serba terbatas. Pas-pasan. Orang kaya memberi itu biasa, kata Pak Rhenald Kasali. Kalau orang miskin memberi, itu baru luar biasa. Pemberian yang paling indah, justru yang datang dari orang-orang susah.

Lho, bagaimana bisa berbagi? Saya kan masih kekurangan, masih pantas menerima pemberian. Ingatlah Sobat, kita sendirilah yang berhak menentukan tingkat kepantasan kita. Jika belum kaya, pantaskanlah diri menjadi orang dermawan dengan mulai berbagi. Berapapun nilainya. Allah memerintahkan untuk menafkahkan harta bukan hanya kepada orang-orang kaya, namun juga kepada orang miskin. Sebenarnya, kata-kata saya masih kekurangan, saya masih miskin, nanti saja berbaginya kalau sudah kaya, kalau sudah ikhlas, dan lain sebagainya hanyalah dalih yang menghalangi kita berbuat kebaikan. Kita yang tidak memantaskan diri menjadi seorang yang dermawan. Kita yang menghalangi rejeki kita sendiri.

Padahal dengan bersedekah, Allahlah yang akan mencukupi kebutuhan kita. Allah yang akan mengayakan kita. Memang, hanya sedikit orang yang beruntung, bisa berfikir dan meyakini bahwa janji Allah selalu ditepati. Suatu ketika saya menulis status di Facebook, kira kira isinya begini: “Jika kamu takut miskin, bersedekahlah. Maka Allah akan mengayakanmu.. #yuk, sedekah!” Saya menulis status ini setelah membaca sebuah hadits. Kemudian ada seseorang yang meninggalkan komentar, yang mengutip sepotong ayat, “Janganlah kamu memberi dengan mengharapkan imbalan yang lebih besar.” Hmmm, begitukah?

Okelah, Insya Allah ayat tersebut juga benar adanya. Dari sini, paling tidak saya bisa mengambil dua kesimpulan.

Pertama, mengimani janji Allah itu butuh suatu usaha yang tidak mudah. Ada saja yang berusaha melemahkan iman. Barangkali dengan ‘cara yang kurang tepat’ dan ‘tidak kontekstual’, menurut saya. Jika kita cermati, ajakan saya untuk bersedekah amat sangat mudah dipatahkan dengan sepenggal ayat. Kalo begitu, nggak usah bersedekah aja dong? Kan saya masih ingin kaya, mengharapkan imbalan yang Allah janjikan? Sedekah saya nanti sia-sia dong? Yah, kalau saya menelan komentar tersebut mentah-mentah, mungkin saya urung bersedekah, dan tidak pernah mengajak orang lain untuk bersedekah.

Saya selalu berusaha menanamkan sikap positif dalam diri saya. Mungkin pendapat sahabat saya ini memang berbeda dengan apa yang saya yakini selama ini. Silakan saja, tidak masalah. Biar Allah yang menilai. Jika saya yang keliru, saya berdoa kepada Allah agar ditunjukkan jalan yang paling benar. Amin.

Kala itu saya hanya menjawab singkat, “Yupz, betul itu. Dan kita pun dilarang mengharap selain kepada Allah.” Maksud saya, sedekahnya tetep, mengharapkan rizki pun tak apa, asal berharapnya sama Allah. Yang tidak boleh kan kekeuh tidak sedekah dan berharap selain kepada Allah. Hehehe.. Iya, tho? =D

Yang kedua, tetaplah berbagi saat kita dilanda kesusahan. Hidup kita tak selamanya dalam posisi nyaman. Seringkali kita pailit, muflis. Tentunya kita jadi semakin rajin berdo’a kepada Allah. Memohon agar dikeluarkan dari kesulitan. Saat itu kita dilema. Mau berbagi, saya kan masih kekurangan. Kalo tidak berbagi, kita akan semakin terpuruk. Sudah miskin, pelit lagi. Sobat, ingatlah. Agar Allah menolong kita dari kesulitan, Allah memerintahkan kita untuk meringankan beban orang lain. Yakin deh, dengan tetap berbagi kita akan ditolong oleh Allah. Ingat, berharaplah hanya kepada Allah! Kalau kita berharapnya hanya kepada makhluk (misalnya hanya mengharapkan bantuan dari manusia atau bahkan menjurus ke syirik), tentu kita akan kecewa.

Sedikit renungan untuk kita. Manakah yang lebih kaya? Orang kaya yang tidak mau berbagi, atau orang miskin (baca: pas-pasan) yang masih mau berbagi kepada sesama?

Kalau saya boleh berpendapat, selama orang mau berbagi, dialah orang kaya yang sebenarnya. Sebanyak apapun harta yang ia miliki, ia belum disebut kaya jika kekayaannya hanya ditumpuk. Kekayaan bukanlah apa yang dimiliki, melainkan apa yang dinikmati. Selebihnya? Tidak berarti apa-apa jika tidak mau berbagi. Seperti kata Ippho Santosa, sejatinya kekayaan itu bukan soal mengumpulkan, melainkan soal membagikan.

Nah, bagaimana dengan Anda?

Kamar Renung, 15 Mei 2012.

Khoni Indriani

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun