Mohon tunggu...
Conni Aruan
Conni Aruan Mohon Tunggu... Administrasi - Apa ya?

Zombie

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sang Gadis Matahari

26 Juni 2014   18:04 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:48 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

-

Matahari pagi ini begitu misterius. Redup, sedikit tersaput awan kelabu. Dia memandangku sendu lantas menarik daguku, membuatku tak bisa mengelak menatap matanya pagi ini. Dia menggeleng seraya mengusap kedua pipiku.

"Malam sudah berlalu, kenapa mata ini masih hitam pekat?"

Kembali aku menunduk, memalingkan wajahku dari tatapannya yang kini semakin kelabu. Kutarik kursi kayu yang sedari tadi kaku dan bisu. Aku duduk.

"Memang hitam pekat, mataku..." semakin dalam aku menunduk. Tak lagi hanya Matahari yang harus kuhadapi pagi ini, Awan  kian bergerombol, Angin pun semakin berhembus kencang. Mereka begitu peduli akan lukaku.

"Mata yang bersinar secerah Matahari, beberapa hari yang lalu, mata siapa?" Angin bertanya lirih kepadaku. Berkali-kali dia berhembus membelai telingaku. Sedang Awan mengelabu dan masih tetap diam, menatapku dengan jutaan bulir-bulir air hujan yang tersimpan padanya.

“Kau tak bisa menyembunyikannya, di wajahmu tertulis luka itu.” Akhirnya Awan membuka mulutnya. Suaranya terdengar bergemuruh menahan amarah.

Aku menangis dalam diam. Mereka menunggu sebuah penjelasan yang kutahu akan merobek hati mereka.

Senyap. Hanya terdengar isak tangis.

Aku bangkit dari kursi kayu. Kubuka jubah kebesaranku yang kini tak lagi sepenuhnya beraroma Matahari. Batu tanah, kayu, dan pepohonan; Bumi kini ada padanya.

“Dia menyentuhku di sini.” kutangkupkan kedua tanganku ke pipi.

“Dia mengecap manisnya tubuhku.” kuraba perlahan bibirku.

“Dia mengukir sungai di sini.” kutunjuk belahan dadaku

“Dia menulis puisi di sini.” aku berbalik menunjukkan punggungku.

“Dia menanam sesuatu di sini.” kuletakkan kedua tanganku di perutku.

Aku kembali terisak. Semua sudah terjadi. Aku tidak bisa kembali seperti dulu lagi, bersih tanpa setitikpun noda Bumi.

Awan menggelegar. Angin menderu. Matahari semakin meredup dan menjauh dariku. Kemarahan dan kekecewaan telah kuukirkan di wajah kasih mereka. Saat airmataku kembali tumpah, Awan memelukku. Dia dingin dan berair.

“Biarkan aku yang menangis untukku.” katanya perlahan. Dan saat itu juga Bumi diserang bulir-bulir air yang tajam, siap menikam apapun yang menghalang.

Kukenakan jubahku. Aku pulang mengendarai Awan dan kembali mengenakan mahkota Angin.

-

Sembilan putaran waktu sudah berlalu sejak dia menyentuhku. Tubuhku kini tak lagi ramping bak ilalang yang bergoyang oleh angin yang meluncur dari puncak bukit. Ada sesuatu yang terus bertumbuh di perutku, sesuatu yang berpendar dan bergolak ingin keluar.

Matahari, menatapku dingin kali ini. Tak ada satu kata pun terucap dari mulutnya yang selalu membara. Bahkan saat aku berada di titik antara hidup dan matiku. Dia tetap seperti itu.

Sesuatu di perutku kembali bergejolak, kali ini dengan sangat hebat. Menguras tenaga, menyedot semua cairan dari tubuhku, dan menghisap cahaya yang tersisa di kedua mata indahku. Dan sesuatu itu pun keluar dari bawahku. Hanya sekepalan tangan. Dia ringan melayang. Terbang mengitariku, memutari matahari yang masih dengan diamnya, lalu sebelum mataku benar-benar tertutup, sebelum tubuhku luruh dan serpihannya akan jatuh, tersebar, dan bercahaya, aku melihat sesuatu itu melesat cepat menuju bumi.

Bulan, kunamai dia Bulan. Anak gadisku.

Aku merasakan tubuhku mulai luruh, Matahari memelukku dengan kehangatannya yang tak terkira. Dia meminta maaf telah membiarkanku bermain-main bersama Bumi, melepaskan pandangannya dariku, dan tak bisa berbuat apa-apa terhadap apa yang sudah terjadi. Dia akan sangat kehilangan diriku. Dia berjanji tatapan matanya tak akan pernah lepas dari anak gadisku dan sesekali dia akan menemuinya. Aku tersenyum lega mendengarnya. Airmataku jatuh dan bercahaya. Aku akan selalu menjadi kesayangan Ayah, Matahariku.

Aku luruh. Aku tercerai berai dan terbakar oleh panasnya duka Matahari karena kepergianku.

Aku, Sang Gadis Matahari, yang melahirkan bulan, yang mencintai Bumi.

***

Sumber gambar

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun