Kamu waktu kecil suka mengejar pesawat terbang yang melintas di langit biru nggak? Berteriak lantang, memanggil pesawat, berlari kencang mencoba mengejarnya, dan kalau beruntung bisa naik, lalu keliling dunia.
Aku dulu begitu, tapi aku mengejar pesawat terbang karena Ibuku ada di pesawat terbang yang melintas itu, kata Ayah begitu.
Setiap kali deru mesin pesawat terbang terdengar olehku, aku berlari mengejarnya hingga kakiku lelah dan tak mampu berlari lagi. Lalu aku melambaikan tanganku pada pesawat terbang yang menjauh itu, “Bu, sesekali berhentilah. Bawa aku ikut terbang bersamamu.”
Kadang, saat pesawat itu melintas malam-malam, yang terlihat hanya kelip lampunya. Ayah menggendongku ke pundaknya. Katanya, “Lihat, Ibu menyapamu. Ibu pesan supaya dedek tumbuh jadi anak yang baik.”
Jadi, setiap kali pesawat atau helikopter melintas di atasku, pastilah Ibu ada di sana, maka aku harus berusaha mengejarnya, atau paling tidak menyapanya dengan lambaian tanganku, biar Ibu bisa lihat kalau aku tumbuh menjadi anak yang baik.
Lalu saat aku pertama kali mengenakan seragam putih merah, sering kali aku melewatkan Ibu ketika melintas. Aku hanya berkata pada diriku sendiri, “Ibu lewat,” aku berhenti sebentar dengan tulisan halus kasarku, lalu melanjutkan saat telingaku tak lagi menangkap suara mesin pesawat itu.
-
Ayah adalah pusat hidupku. Ayah adalah rumah tempat aku pulang setelah sekolah usai, setelah aku selesai dengan ikan-ikan kecil di sungai, setelah aku mendapat banyak bunga-bunga rumput dari bukit, dan setelah aku berkelahi dengan teman bermainku. Aku selalu tahu di mana aku menemukan Ayah. Kalau tidak ada di rumah, berarti di ladang jagung. Kalau tidak ada di ladang jagung, berarti di kedai kopi. Kalau tidak ada di kedai kopi, berarti di sungai sedang mencuci piring atau pakaian kami.
Lalu, saat Ayah juga pergi meninggalkan aku, dan katanya, di saat terakhirnya kalau Ayah pergi ke langit malam dan menjadi bintang, aku harus pulang kemana? Kenapa mereka pergi begitu saja, kenapa aku tidak dibawa? Aku bingung, juga nggak mengerti. Terlau banyak tanda tanya di dalam kepalaku.
Saat itu adalah titik paling gamang dalam hidupku. Aku nggak tahu harus kepada siapa. Aku nggak tahu harus berbuat apa.
-
Dan di satu pagi, aku ingat tetanggaku, teman Ayah ngopi. Ya, aku tinggal bersamanya sejak Ayah memilih pergi menjadi bintang tanpa membawaku bersamanya. Dia membangunkanku, menyiapkan barang-barangku. Dan kami pergi meninggalkan perkampungan. Itu adalah perjalanan terjauh yang aku lakukan setelah aku mencoba mengejar kelinci ke hutan.
Dan kami tiba di satu tempat di mana telingaku dipenuhi oleh deru mesin yang sangat kukenal. Aku tenggelam di antara tubuh-tubuh orang dewasa. Melewati petugas yang memeriksa isi tasku. Lalu aku dititipkan pada perempuan dewasa yang tinggi dan sangat cantik.
“Kita mau kemana?” tanyaku pada perempuan cantik itu.
“Naik pesawat terbang!” katanya sambil memeragakan pesawat terbang melintas padaku dengan tangannya.
Yang pertama kali kucari saat aku berada di pesawat terbang adalah Ibuku. Aku meneliti setiap wajah yang kulihat, kalau-kalau saja aku mengenali wajah itu sebagai wajah Ibuku. Dan tentunya tak satupun wajah mereka kukenali sebagai wajah Ibuku. Jadi setelah mendarat dan aku dijemput oleh perempuan dewasa lain yang menyebut dirinya Tante, aku membuat kesimpulan kalau pesawat itu adalah Ibuku. Maka aku melambaikan tangan pada pesawat itu.
-
Saat aku tinggal bersama Tante, aku benar-benar tidak punya waktu untuk mengejar pesawat, bahkan aku lupa tentang Ayah yang menjadi bintang. Aku sibuk dengan pekerjaan rumah. Ya, kamu tahulah...
Aku berencana kabur pada satu malam, lalu aku melihat bintang di langit bergerak membentuk wajah Ayah, tak lama kemudian, Ibu lewat menyapaku dengan lampunya, dan sebuah bintang jatuh di wajahku.
Saat itu aku berkenalan dengan harapan.
-
Kini aku bisa bepergian bersama Ibu melintasi langit khatulistiwa. Dan kalau malam hari, aku bisa merasa begitu dekat dengan Ayah.
Dan kamu tahu, sekarang aku melihat diriku sama seperti perempuan dewasa cantik yang memegang tanganku saat penerbangan pertamaku bersama Ibu.
***
Sumber gambar: http://media-cache-ak0.pinimg.com/736x/25/72/53/257253c4a7999f0e32a526ee194bf8cb.jpg
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI