-
Ari memandang geram ketiga anak lelakinya. Dia benar-benar tidak menyangka akan mendengar jawaban sebodoh, setakberpendidikan itu dari mulut anaknya, yang sudah disekolahkannya dengan begitu susah payah. Dia mengambil tokai dari atas meja di belakangnya. Ctek! Mulutnya dimonyongkan. Dia menghisap pendek-pendek, lalu panjang, ditahan sebentar, dan gumpalan asap itu bebas merdeka dari mulut dan hidungnya. Fuuuh…
Kedua anaknya tetap menunduk, sedang yang paling bungsu diam-diam mengamati kelakuan bapaknya.
Kriiik… kriiikk… kriikk
Jam menunjuk ke angka sembilan. Di luar gelap semakin pekat, tak ada bulan maupun bintang. Angin juga enggan berhembus. Malam seakan mati.
Ari mematikan rokoknya yang tinggal setengah. Nafasnya tak lagi memburu.
“Hantu?! Yang kalian takutkan hantu?” Ari kembali bertanya dengan nada tidak percaya. Ketiga anaknya tetap bungkam. Ari menyisir rambut gondrongnya sambil menarik kursi dengan tanganya yang satu. Dia duduk menghadap ketiga anaknya yang masih menunduk.
“Jadi, siapa diantara kalian yang pernah melihat hantu? Di mana? Kapan? Dan seperti apa penampakannya?” tanya Ari dengan gemas.
Sebenarnya ini tidak hanya sekedar perkara hantu atau penampakannya terhadap ketiga anaknya Ari. Semua ini tentang air di musim kemarau. Air yang terbatas untuk mengairi petakan sawah mereka. Air yang membantu penyerapan segala nutrisi yang dibutuhkan oleh bibit padi, yang tingginya masih sejengkal tangan orang dewasa. Kalau air tidak dijaga dan dipastikan tetap mengalir, alhasil besok padi-padi itu akan kering dan jika tengah hari air belum juga cukup, demi hantu yang ditakuti ketiga anaknya, daun-daun yang hijau itu akan kering seperti kerupuk. Dan, ketiga anaknya menolak untuk menjaga air tetap mengalir, karena sudah malam, dan takut dengan hantu.
Ketiga anaknya masih diam sejuta bahasa ditambah mata mereka yang memerah menahan kantuk.
Jam sepuluh. Mereka masih berhadap-hadapan tanpa solusi.