[caption caption="Koleksi Pribadi"][/caption]-
Meina remaja bertanya pada bapaknya, “Pak, ada nggak tanda-tanda aku bertemu dengan calon suamiku?”
Untung melihat anak gadisnya itu dengan tatapan jenaka, sebelum menjawab dia meludahkan tusuk gigi yang sejak selesai menyantap oseng tetelan sapi saat makan siang tadi masih nyangkut di sela-sela giginya. “Kenapa? Kau mau kawin?”
Meina membenarkan posisi duduknya yang sebenarnya tidak salah. Dia melihat mata bapaknya sekejap kemudian menyelipkan untaian rambut yang menutupi mata kanannya. “Ehh, bukan. Cuma pengen tahu aja. Kali aja ada tanda-tandanya.” Meina bangkit dan berjalan menuju dapur dengan langkah cepat, dia tahu mata bapak mengawasinya.
-
Seperti anak perawan lainnya, Meina juga mendamba disukai, dikagumi, dan diinginkan oleh perjaka tulen. Beberapa kali dia bertemu, bercakap-cakap sambil lirik melirik, namun tak satupun yang membuat hatinya bergemuruh. Dia mulai gusar. Dia mempertanyakan dirinya sendiri. Apakah dia lesbi seperti teman-teman perawannya katakan tentang dia yang diumur 29 belum juga pernah ditandangi perjaka atau yang bukan perjaka sekalipun.
Seringkali dia setelah mandi, berdiri di depan kaca mencermati wajahnya yang menurut dirinya sendiri cukup cantik untuk dijadikan pacar. Dia memiliki dada yang cukup montok, pinggang yang melengkung dan pantat yang besar. Kurang apanya?
Meina mendekatkan wajahnya ke cermin, menatap dalam dan dekat ke matanya yang bulat besar dan berkata untuk dirinya sendiri, “Kau mesti sudah kawin di umur 30 nanti.” Meina menunjuk-nunjuk dirinya di cermin.
Kalau saja Meina mudah dirayu, diumur 18 dia sudah punya anak satu. Bagaimana tidak, untuk membantu ekonomi keluarganya yang payah, Meina harus bekerja di sebuah warung kopi di ujung jalan. Banyak laki-laki di situ. Dari yang perjaka, tidak perjaka, yang bangkotan, yang panuan, yang cukup kaya, yang paling tidak punya, ada. Banyak. Dan kalau saja Meina mau membuka matanya juga hatinya, terbelalaklah dia mendapati begitu banyak yang menginginkan dia dan tubuhnya yang montok.
Tapi Meina tetaplah Meina, yang membutuhkan pertanda. Dia tidak mau hanya suka-sukaan saja. Kenalan. Mengobrol. Berjalan-jalan ke pasar malam. Pegangan tangan. Tidak. Meina ingin sesuatu yang kuat. Sesuatu yang tidak biasa.
-