Mohon tunggu...
Conni Aruan
Conni Aruan Mohon Tunggu... Administrasi - Apa ya?

Zombie

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Duniaku Penuh Cahaya

31 Maret 2014   21:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:15 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

-

Kalau film di tivi diakhiri sebuah pernikahan yang meriah dengan banyak makanan, pengantin dan para tamu datang dengan baju yang bagus. Itu berarti akhir yang bahagia. Kalau berakhir dengan air mata, kematian, dan perpisahan, itu berarti akhir yang sedih. Dan para penonton pun akan berkata, “aku benci akhir yang sedih.”

Sepertinya semua orang menginginkan akhir yang bahagia. Seperti aku!

Kupikir kisahku enggak akan berakhir sedih. Aku baru saja menemukan satu cahaya untuk akhir kisahku nanti. Iya, akhir kisahku nantinya akan dipenuhi jutaan cahaya yang jatuh dari langit. Aku akan mandi cahaya bersama Ayah dan Ibu di sampingku.

Kalian tahu, mereka sudah membawa Ayah, untuk dirawat. Katanya Ayah akan segera sembuh dengan beristirahat banyak, makan yang sehat, dan lingkungan yang sehat. Tentu saja. Lingkungan kami sebelumnya tidak begitu sehat. Dan kabar baiknya lagi Ibu akan datang menemuiku. Kami akan bersama lagi. Aku sudah lupa sudah berapa lama kami tidak bertemu. Yang pastinya sudah lama, lama, lama... sekali. Bayangkan saja, aku tidak bisa mengenali wajahnya lagi. Tapi aku yakin jika aku melihatnya lagi aku akan tahu kalau itu wajah Ibuku.

Kalau aku menceritakannya, kalian harus berjanji untuk tidak menangis atau mengucapkan kata “kasihan”. Aku tidak suka kata itu. Kata itu  sekaan menenggelamkanku. Jadi begini, aku pernah meninggalkan Ayah di satu persimpangan, patokannya warung makan bercat hijau. Aku pergi mencari uang. Di jalan, seorang Ibu Tua menatapku lama, aku pikir dia akan memberikanku segenggam uang receh, tapi yang dia berikan hanya kata “kasihan” dari mulutnya yang bergincu oranye. Lalu aku pulang. Aku menceritakannya kepada Ayah.

“Ayah, namaku siapa?”

“Aisyah”

“Kenapa perempuan tua itu memanggilku ‘kasihan’?”

“Anakku, Aisyah. Begini, kamu punya Ayah, kamu sehat, kamu bisa bantu dan jaga Ayah, kamu bisa cari uang, , kamu kuat mengayuh becak. Apakah kamu sedih?”

“Iya, kadang-kadang sih. Tapi kebanyakan aku melakukannya dengan senang hati.”

“Nah, berarti tidak ada orang yang harus merasa kasihan sama kamu. Karena kamu kuat dan mau berusaha. Kasihanlah kepada perempuan tua itu, yang hanya bisa mengucapkan ‘kasihan’ padahal sebenarnya dia bisa mengucapkan kata lain yang bisa membuat kamu semangat, atau membantu kamu dengan memberikan makanan, uang...”

“Hmm...”

“Kamu mengerti?”

“Enggak”

“Pokoknya jangan mau dipanggil ‘kasihan’, kata itu buruk”

Jadi begitu ceritanya, mengapa aku tidak suka kata ‘kasihan’. Kalian mengerti tidak maksud Ayahku itu? Aku masih belum paham sih.

-

Kalian semua pasti punya rumah. Rumah yang besar dengan perabotan yang lengkap di dalamnya. Ada banyak makanan di lemari, buah-buah yang segar di kulkas, air minum yang berlimpah, dan pakaian yang bagus. Aku juga punya rumah. Tapi rumahku lebih istimewa.

Rumahku memiliki roda, pedal, stang, dan lantai yang terbuat dari papan tipis, kadang pakai kardus. Rumahku bisa berjalan bahkan berlari. Rumahku enggak perlu pakai AC atau kipas angin. Rumahku penuh angin. Dan kalau matahari terik, aku akan memindahkan rumahku ke bawah pohon yang rindang, kalau hujan, aku akan memindahkannya ke emperan toko, dan kalau malam tiba terkadang aku membiarkan rumahku berada di lapangan luas jadi aku bisa tidur sambil memandangi bintang dan bulan. Kalian tahu lagu Twinkle twinkle little star? Nah, aku selalu menyanyikan lagu itu saat malam tiba.

Di rumah hanya ada aku dan Ayah. Aku sehat dan kuat tapi Ayah tidak. Ayah sering sakit. Jadi aku harus menggantikan Ayah mengemudikan rumah dan mencari uang. Aku pernah melamar menjadi tukang cuci piring di rumah makan, aku ditolak. Katanya, mereka tidak menerima anak kecil untuk bekerja, katanya lagi, seharusnya aku sekolah, dan bermain. Mereka tidak tahu kalau Ayahku tidak punya uang yang cukup untuk menyekolahkan atau membelikan mainan untukku.

Aku harus mencari uang untuk membeli makanan, Ayah semakin sering batuk, badannya dingin,  dan nafasnya berat. Terkadang dari mulutnya keluar darah. Aku takut Ayah pergi meninggalkanku sendirian di rumah dan aku harus mengayuh rumah dengan kaki kecilku tanpa aku tahu kemana kakiku akan membawaku.

Ayah adalah segalaku. Kami selalu bersama-sama dalam keadaan apapun. Dunia berputar kami tetap bersatu . Waktu melesat kami tetap dekat berdampingan.

Saat keadaan Ayah semakin buruk. Aku seringkali menangis. Ayah tidak tahu karena Ayah hanya bisa berbaring sesekali matanya terbuka, mungkin menatap langit; apakah langit berwarna biru atau berwarna hitam. Aku menangis begitu saja seperti mereka yang datang tiba-tiba menyerangku.

Kalian pernah diserang oleh kenyataan yang berwujud kata-kata? Seperti: Kamu miskin! Kamu gelandangan! Kamu jorok! Kamu enggak punya apa-apa untuk membuat Ayah sehat! Enggak ada yang peduli sama kalian! Tetaplah mengayuh dan jangan berharap banyak! Dunia kejam! Buat makan saja kamu enggak punya, mau beli obat?! Kamu enggak akan pernah bisa sekolah lagi! Kamu akan kehilangan Ayahmu!

Pernah enggak, kalian diserang seperti itu?

Aku tidak bisa berbuat apa-apa kalau diserang begitu. Karena aku tahu semua itu benar. Jadi aku hanya mengayuh, mengemudi, dan berharap yang baik. Duniaku berputar dan laju. Aku meluncur bersama waktu, aku berdoa untuk setiap putaran roda becakku akan membawa aku dan Ayah pada satu kesempatan yang sama dengan orang lainnya; hidup yang lebih baik dan aku bisa bersekolah.

-

Dan kesempatan itu datang. Orang-orang dengan wajah bercahaya membantu Ayah. Membawa Ayah ke rumah sakit dan berusaha untuk menyembuhkan Ayah. Aku tidak begitu tahu bagaimana awalnya keajaiban ini datang. Aku seperti terbangun dan menemukan aku dan Ayah dikelilingi oleh cahaya.

Aku bertemu dengan banyak orang. Aku tidak mengenal mereka tapi aku tidak takut, karena mereka bercahaya.

Satu lagi cahaya menghampiriku. Cahaya itu sangat terang dan menyilaukan. Aku seakan mengenal cahaya itu, karena aku merasakan hatiku juga bercahaya saat menatap cahaya itu. Namun, cahaya itu memudar. Aku sempat sedih. Itu cahaya paling indah yang pernah aku lihat.

Kalian tahu apa di balik cahaya itu?

Ya, wajah yang selama ini kurindukan; Ibuku.

Duniaku penuh cahaya. Bagaimana dengan dunia kalian? Apakah kalian sudah menemukan cahaya? Aku sudah donk, harapku cahaya itu akan selalu ada.

***

Tulisan ini dipersembahkan untuk  Aisyah Pulungan, semoga semangat selalu. Berharap yang terbaik untuk kehidupanmu, Dik.

Sumber gambar 1: http://s.wallpaperhere.com/wallpapers/1680x1050/20110620/4e000cf1681a6.jpg

Sumber gambar 2: http://beritasore.com/news/wp-content/uploads/2014/03/Becak-.jpg

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun