“Adit nggak tau kamu hamil?” tanya Maya memastikan pernyataan Ferly.
“Dia nggak tau, Ma...” air mata Ferly mulai berjatuhan, “dan karena itu, aku merasa jahat banget, Ma...”
“Kamu ingin memberitahu Adit?” Maya meraih Ferly kepelukannya. Tidak mendengar Ferly menjawab, Maya menambahkan, “Mama, gak kemana-mana kok. Apapun keputusan kamu, cuma Ferly dan Sally yang Mama punya.”
-
Ferly menutup kamarnya dan kembali menatap kotak kecil yang penuh kenangan dia dengan Adit. Dia menarik nafas dalam-dalam sebelum membuka kotak itu. Banyak benda-benda kecil yang remeh tapi penuh kenangan, seperti sobekan kertas kecil yang bertuliskan, “Boleh kenalan?” yang diberikan Adit kepadanya di cafe favorit Ferly. Tiket nonton pertama mereka beserta karcis parkirnya, tapi yang Ferly butuhkan adalah buku kecil yang berisi no telepon Adit. Ferly mengetik dua belas nomor itu dan berpikir puluhan kali untuk menyentuh “Call” di layar HP-nya. Bagaimana aku harus menyapanya setelah bertahun-tahun?
Tidak sengaja jempol Ferly menyentuh tanda“Call” dan langsung terhubung. Bagaimana mungkin Adit tidak mengganti nomornya setelah bertahun-tahun?
“Hei, ” suara pahit, ragu, dan penuh tanya menyapanya.
-
Ferly tiba di cafe tempat mereka pertama bertemu tiga puluh menit dari yang dijanjikan. Dia mengenakan blus biru dan skinny jeans. Rambut panjang ikalnya dibiarkan membingkai wajahnya yang bulat. Dia belum memesan apapun. Dia hanya duduk bertopang dagu, menatap kosong pada buku menu.
Lima tahun yang lalu, jam delapan malam dia bertemu dengan Adit. Pria itu memesan segelas kopi yang murah dan sampai dingin tak disentuh karena mata dan jari-jarinya sibuk menyelesaikan tugas akhir kuliahnya. Sementara itu, Ferly memesan Frappucino yang sudah habis tuntas berikut es batunya. Sebagai pegawai di salah satu perusahaan yang sedang berkembang, pulang malam adalah wajar baginya. Tadinya dia berencana hanya akan memesan minuman, meminumnya sampai habis dan pulang. Tapi semua itu batal saat dia melihat pemandangan yang menyenangkan di depannya; Adit. Ferly menatap Adit begitu lekat sampai pria itu merasa tidak nyaman, lantas berhenti dengan laptopnya dan kembali memandang Ferly. Merasa ditantang, Adit menghampiri Ferly yang tersenyum penuh kemenangan. Sejak saat itu, hingga dua tahun berikutnya. Mereka bersama dalam suka dan duka.
Lonceng berdentang saat pintu cafe terbuka. Jam dua siang pas. Ferly menoleh dan mendapati Adit sudah lebih dahulu menatapnya. Adit mendekati Ferly yang pias dengan wajah merah menahan amarah.