Conni Aruan - No. 02
.
Loui berbinar menatap Yuki yang sudah rapi sejak jam setengah enam pagi. Dia mengelapkan tangannya ke sarung yang dia kenakan. “Tiga menit!” teriaknya sembari memasuki kamar. Loui mengenakan kebaya merah muda peninggalan ibunya. Mematut dirinya pada cermin yang retak dan tertawa untuk pencapaiannya sejauh ini.
“Mama siap!” Loui keluar kamar.
“Yey! Mama sudah siap!” Yuki berteriak sambil memakai tasnya.
-
Pagi masih kelabu. Matahari belum datang untuk menerangi dan membawa sisa badai semalam. Jalan berlumpur dan barisan-barisan jagung tiarap mencium tanah. Panen gagal lagi.
Loui dan Yuki berjalan bergandengan tangan. Berjalan setapak demi setapak untuk mimpi yang digantungkan di dinding kayu rumahnya. “Anakku harus sekolah” adalah kalimat terakhir dari Rendra Suaminya yang meninggal setahun yang lalu. Loui menuliskan kalimat itu pada selembar kertas dan menempelkannya di dinding kayu rumahnya, sebagai pengingat dan janji seorang istri.
“Mama, sekolah masih jauh?” tanya Yuki dari punggung Loui setelah satu jam perjalanan yang melelahkan.
“Di belokan sana,” tunjuk Loui, “nggak jauh lagi.”