Tak lama setelah kau pergi, hujan berhenti. Daun-daun dan rerumputan yang basah mulai resah melihat mentari kembali bersinar. Aroma kesejukan memudar. Dan aku mulai menghitung waktu yang kita lewati bersama di tempat berbeda.
Aku begitu yakin, aku mampu hanya menanti seorang saja selama perjalanan hidupku yang penuh dengan warna.
Ternyata tidak.
Mereka datang silih berganti dan kuterima dengan senang hati. Mereka memberi warna-warna baru dalam hidupku. Memberi rasa dan kenangan.
Kamu lama Jamie... Aku kangen banget sama kamu. Kamu tahu, aku begitu sibuk menyukai laki-laki yang hanya mirip sedikit sekali denganmu. Sampai aku menyadari enggak ada yang kayak kamu, yang benar-benar kayak kamu, selain kamu sendiri.
Penantianku hancur karena aku tidak mampu menunggu lebih lama lagi. Aku bermain-main dengan, kamu tahu... dengan mereka yang begitu memujaku.
Aku enggak pengen punya anak saat itu. Dua puluh tahun. Harusnya aku masih bersama teman cewekku menikmati masa muda yang penuh semangat. Harusnya begitu, tapi aku memilih bayi di perutku. Ini konsekuensi yang harus kuterima dan harus kucintai sepenuh hati.
Mereka kembali berdatangan dan menawarkan diri untuk menjadi ayah dari bayiku. Aku tidak mau. Aku ingin membesarkan bayiku meski tanpa seorang ayah. Ditambah, aku tidak ingin menjadi istri dari mereka. Aku hanya ingin menjadi istri dari lelaki yang meninggalkanku di jalan  berbunga saat hujan turun. Yah... aku mengacaukannya bukan?
Aku menjadi ibu, Jamie...kau percaya itu?
Aku bahagia saat  matahari begitu bersemangat membakar ubun-ubunku atau saat hujan yang sama –saat kau pergi- kembali turun.
Aku bahagia, Jamie...