Conni Aruan
No. 02
-
Hari ini cerah, Papa membimbingku ke kursi taman tempatku menghabiskan sepanjang sabtu sore dan minggu sore setahun belakangan ini. Bantalan duduk coklat berbulu dan selimut bergambar Spongebob ditata sedemikian rupa di kursi besi itu supaya aku bisa duduk nyaman  selama empat jam kedepan. Kalau hujan turun, aku tidak boleh ke taman. Padahal aku sebenarnya pingin main hujan kayak anak normal lainnya. Aku hanya boleh duduk di beranda melihat hujan.
"Nah, sudah selesai." Papa tersenyum ke arahku. Aku ingin berlari dan melompat ke kursi besi yang sudah disulap menjadi nyaman itu. Tapi aku nggak bisa. Aku berjalan perlahan dan duduk dengan perlahan.
"Makasih, Papa." Aku tersenyum lebar memamerkan gigiku yang kuning karena obat yang kuminum setiap hari.
Papa tertawa, "Ini bukunya, cemilan, dan air minum." Papa berdiri tegap. "Apa lagi ya?"
"Pa, aku sebenernya pengen coklat. Buah melulu. Bosen."
"Iya. Nanti ya..." Papa mencium kepalaku dan kembali ke mobil dan sibuk dengan laptopnya.
Sejak aku sakit, Papa memilih bekerja dari rumah. Setiap pagi jam enam Papa buka email, jreng! Kerjaan sudah menunggu. Papa yang bersih-bersih rumah, cucian, bahkan memasak. Bibi Treisa datang saat jam mandiku saja. Selebihnya Papa yang mengurusku. Hanya aku dan Papa di rumah besar ini. Kadang aku menangis, kalau aku rindu Mama.
-
Aku melihat buku yang dipilihkan Papa untukku. John Green yang terkenal dengan kisah cinta Agustus Waters dan Hazel Grace, Paulo Coelho, dan yang klasik Pride and Prejudice. Aku membolak-balikkan buku itu, membaca hanya bagian belakangnya saja. Lalu kuletakkan saat sekelompok anak-anak datang untuk bermain di taman ini. Merekalah alasanku datang ke taman ini. Aku tidak bisa lagi hidup normal seperti remaja pada umumnya. Yah, paling tidak aku bisa melihat dan merasakan kebahagian itu melalui wajah bahagia mereka.
Biasanya salah satu dari mereka suka menghampiriku, menemaniku duduk dan bertanya ini itu. Lalu tanpa malu-malu membuka kotak cemilanku lalu kami bermain cap cip cup. Papa selalu mencampur tiga atau empat macam buah di kotak itu.
Dara, anak kecil berambut keriting tidak suka melon. Dan saat bermain, buah yang harus dimakannya adalah melon. Dia menutup mulutnya saat hendak aku suapin. Dia jingkrak-jingkrak saat melon itu sudah di mulutnya. Mengunyah cepat dan langsung menelannya. Menyambar botol air minumku dan langsung kumur-kumur. Aku terbahak-bahak melihatnya. Anak-anak lain penasaran dan ikut bermain.
Kadang mereka begitu asyik bermain hingga lupa denganku yang selalu duduk di kursi ini melihat mereka.
Anak-anak perempuan hari ini bermain lompat tali dan yang laki-laki setiap hari selama berbulan-bulan bermain bola. Dara melihatku dan melambaikan tangannya. Aku bersemangat membalasnya.
"Hai, "
Aku menoleh, seorang laki-laki lebih tua empat atau lima tahun dariku, berdiri di samping kursi. Rambutnya ikal. Matanya coklat dengan sepasang alis yang tebal dan berantakan. Â Dia memegang dua mengkuk eskrim.
"Nih," dia menyodorkanku yang berwarna coklat.
Aku menggeleng sambil tersenyum.
"Kamu pasti pikir begini, 'jangan-jangan eskrim itu sudah dikasih sesuatu, yang begitu kumakan, aku tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku' iya kan?"
Aku melihatnya tepat di matanya. Dia tersenyum dan duduk di sampingku.
"Baiklah, buang-buang makanan itu pantang, jadi lebih baik eskrim ini kuhabiskan saja. Dia mulai memakan eskrim itu.
Aku merapatkan jaketku saat angin berhembus lumayan kencang. Sedang anak-anak di depanku malah kesenangan. Mereka membentangkan tangan seperti akan memeluk angin. Anak laki-laki mengibaskan rambut mereka. Kulihat pria di samping yang sibuk dengan eskrimnya. Aku jadi lapar. Kubuka kotak cemilanku, stroberi dan potongan kiwi.
"Oh, jadi kamu suka buah ya?"
Aku tidak menjawab, kumasukkan kiwi ke mulutku dan kukunyah pelan-pelan.
"Kayaknya enak," pria itu mencomot stroberi dan memakannya dengan eskrim. Dia tersenyum usil. "Aku harus pergi, lagian eskrimnya sudah habis. Kamu juga tidak banyak bicara." tambahnya sambil bangkit dari kursi.
"Aku suka coklat." kataku cepat.
Dia melihatku dan menaikkan alisnya. Aku mengangguk malu-malu.
"Oke. Sabtu?"
"Oke."
Dia melambaikan tangannya dan berlalu
-
Aku duduk menatap hamparan rumput hijau. Tidak ada anak-anak bermain sore ini. Dingin. Nafasku berat. Selimut di sandaran kursi kutarik menutupi punggungku. Seseorang yang baru memasuki lokasi taman melambaikan tangan kepadaku. Aku mengenalinya saat dia membuka helm. Dia berlari ke arahku.
"Dingin ya?" tanyanya sambil merapatkan selimut itu ke tubuhku.
Aku mengangguk, tersenyum.
"Tadaaa!" dari balik punggungnya dia mengambil sekotak coklat.
Aku tertawa, dia lucu. "Kamu ingat..." kataku.
"Oh iya... oke, kamu pilih." dia membuka kotak coklat. Ada beberapa baris coklat di sana. "Isi coklatnya beda-beda." tambahnya.
Kuambil yang di sudut kanan bawah. Kumasukkan ke mulutku. Kukunyah. Aku tersenyum.
"Apa?"
"Wine."
"Kamu dapat yang paling enak. Menurutku..." dia mengambil yang di tengah. Memasukkan ke dalam mulutnya
dan mengunyah cepat. Wajahnya memerah menahan tawa.
"Cabeeee" dia menyambar botol minumku, meminum beberapa teguk lalu terbahak-bahak di sampingku.
Kami melanjutkan permainan itu sampai sekotak coklat itu habis. Lalu dia mengeluarkan  buku dari punggungnya. Lalu membacakan sebuah puisi untukku.
"Dengarkan kisahku... Dengarkan tetapi jangan menaruh belas kasihan padaku, karena belas kasihan menyebabkan kelemahan, padahal aku masih tegar dalam penderitaanku..." *
-
Aku membuka mata. Aku sudah kembali ke ruangan putih itu lagi. Tangan papa yang hangat menyentuh kedua pipiku. Matanya bengkak.
"Papa..." aku menangis.
Papa tersenyum ke arahku, menggenggam kedua tanganku erat.
"Aku takut..." Aku takut tertidur dan tak akan terbangun lagi. Apakah nanti Papa akan baik-baik saja?
Papa mulai terisak, "Papa di sini dan akan selalu menamani Rumi."
"Aku makan coklat, sama cowo itu.."
"Papa tau..." Papa menangis, tertawa, dan terlihat lega.
Aku ingin berjuang bersama Papa seribu tahun lagi.
***
Terima kasih sudah membaca, baca tulisan teman-teman yang lain tentang "Cinta dan Perjuangan" di sini ya
-->Â Cinta dan Perjuangan
Gabung bersama kami yuk, di Komunitas Fiksiana
*Kahlil Gibran, Kisahku
Sumber gambar:Â https://sheefasrimulyati.files.wordpress.com/2013/09/bangku-taman.jpg
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H