-
Aku melihat buku yang dipilihkan Papa untukku. John Green yang terkenal dengan kisah cinta Agustus Waters dan Hazel Grace, Paulo Coelho, dan yang klasik Pride and Prejudice. Aku membolak-balikkan buku itu, membaca hanya bagian belakangnya saja. Lalu kuletakkan saat sekelompok anak-anak datang untuk bermain di taman ini. Merekalah alasanku datang ke taman ini. Aku tidak bisa lagi hidup normal seperti remaja pada umumnya. Yah, paling tidak aku bisa melihat dan merasakan kebahagian itu melalui wajah bahagia mereka.
Biasanya salah satu dari mereka suka menghampiriku, menemaniku duduk dan bertanya ini itu. Lalu tanpa malu-malu membuka kotak cemilanku lalu kami bermain cap cip cup. Papa selalu mencampur tiga atau empat macam buah di kotak itu.
Dara, anak kecil berambut keriting tidak suka melon. Dan saat bermain, buah yang harus dimakannya adalah melon. Dia menutup mulutnya saat hendak aku suapin. Dia jingkrak-jingkrak saat melon itu sudah di mulutnya. Mengunyah cepat dan langsung menelannya. Menyambar botol air minumku dan langsung kumur-kumur. Aku terbahak-bahak melihatnya. Anak-anak lain penasaran dan ikut bermain.
Kadang mereka begitu asyik bermain hingga lupa denganku yang selalu duduk di kursi ini melihat mereka.
Anak-anak perempuan hari ini bermain lompat tali dan yang laki-laki setiap hari selama berbulan-bulan bermain bola. Dara melihatku dan melambaikan tangannya. Aku bersemangat membalasnya.
"Hai, "
Aku menoleh, seorang laki-laki lebih tua empat atau lima tahun dariku, berdiri di samping kursi. Rambutnya ikal. Matanya coklat dengan sepasang alis yang tebal dan berantakan. Â Dia memegang dua mengkuk eskrim.
"Nih," dia menyodorkanku yang berwarna coklat.
Aku menggeleng sambil tersenyum.
"Kamu pasti pikir begini, 'jangan-jangan eskrim itu sudah dikasih sesuatu, yang begitu kumakan, aku tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku' iya kan?"