Mohon tunggu...
Conni Aruan
Conni Aruan Mohon Tunggu... Administrasi - Apa ya?

Zombie

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisahku Si Pemulung Cilik

14 Juni 2013   14:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:02 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="farm2.static.flickr.com"][/caption]

Terkadang saat waktuku berjalan sangat pelan aku mengingat Tuhan. Aku mempertanyakan keberadaannya dan kepeduliannya kepadaku. Kenapa aku lahir ke dunia ini sebagai pemulung? Kenapa Dia nggak tanya dulu, aku mau dilahirkan sebagai apa? Anak petani kah? Anak pengusaha kah? Anak tukang minyak kah? Atau anak presiden kah?

Begitu saja aku lahir dari rahim seorang perempuan muda berusia 18 tahun - tidak ada Ayah. Dan perempuan bodoh itu tak mau memberikan asinya untukku. Dia malu katanya. Menetek bayi yang tidak punya Ayah. Jadilah aku besar dengan air gula dan air-air lainnya yang rasanya manis.

Perempuan itu, ya Ibuku adalah perempuan yang sibuk. Sampai aku, anaknya sendiri sering dilupakan. Dia menitipkan aku pada nenek tua di ujung perumahan kumuh nan menyedihkan. Pagi diantar dan dijemput saat malamberbingkai suara-suara syahdu dari toa masjid. Kadang satu malam tak dijemput, duamalam, bahkan sampai tiga malam. Perempuan itu tiada cinta dan sayang padaku. Pada nenek tua itu aku di ayun-ayun dengan gendongan lusuh berbau amis dan disenandungkan lagu sumbang dari mulutnya. Makan nasi yang sudah dimamah oleh mulutnya yang kempot. Minum air gula yang suam-suam kuku. Tak ada dot minuman. Nenek tua itu menyuapi aku dengan sendok plastik. Aku anak yang baik kata nenek tua itu, karena aku tak pernah menangis. Tahu diri. Saat gula di plastik tinggal aromanya, aku disuapi air putih yang suam-suam kuku. Nenek tua itu memanaskan dengan tungku kecil di sudut gubuknya. Api dari kertas-kertas yang didapatnya dari gunungan sampah pelan-pelan menjilat ceret aluminum yang sudah bonyok di sana sini.

Kata nenek tua Ibuku perempuan yang baik, bekerja keras siang dan malam untuk menafkahi aku dan memberiku satu adik laki-laki yang juga tidak punya Ayah. Berdua aku dan nenek mengurus bayi laki-laki kecil merah itu. Nggak beda jauh dari aku, sama-sama menyedihkan hidup kami. Dan perempuan itu melenggang bebas siang dan malam. Entah apa yang dikerjakan di luar sana. Sedikitpun aku tak melihat rasa sayang dari matanya untuk kami anaknya.

Kata nenek tua ibuku terlalu muda untuk punya anak tapi tidak untuk kawin. Entah apa maksudnya. Di umurku yang entah berapa; kedua kakiku dan tanganku masih kecil dengan jari-jarinya yang mungil; mataku yang masih hitam di atas putih; pandanganku yang masih sebatas pinggul orang dewasa, aku memulai pekerjaan pertamaku; memulung.

Nggak jauh, hanya memutari kampung kumuh dan tampaklah gunungan sampah. Di situlah aku bekerja. Dari pagi saat dingin dengan gencarnya memeluk tubuh kecilku aku sudah berjalan dengan karung di balik punggungku. Meninggalkan nenek tua dan adikku Si Merah. Mencari-cari botol akua, plastik kresek dan kardus bekas sebanyak-banyaknya sampai matahari tenggelam di balikgunung sampah. Aku pulang menyeret karungku. Kadang penuh kadang tidak. Tergantung aku.

Aku menyetor hasil keringatku kepada nenek dan berdua kami memilah sesuai jenisnya. Setelah itu nenek pergi dengan karungku meninggalkan aku dengan Si Merah. Nenek selalu pulang sebelum Si Merah menangis dua lembar 5 ribu atau 10 ribu terselip di balik beha lusuhnya. Dan kami pun bisa makan.

Perempuan itu? Ibuku, entah dia di mana, sama siapa, dan sedang apa. Tapi kurasa dia cukup bersenang-senang di luar sana tanpa aku dan Si Merah. Aku nggak tahu rasanya kasih sayang Ibu dan Ayah. Aku ingin merasakannya walaupun hanya dalam angan. Tapi sayang, membayangkannya saja pun aku nggak bisa. Sama sekali tak bisa kugambarkan bagaimana seharusnya perlakuan seorang Ayah dan Ibu kepada anaknya. Ya, perhatian seorang nenek cukup lah untuk aku dan Si Merah.

-

Aku pernah hampir mati karena gunungan sampah yang longsor. Tidak tahu kejadiannya persis seperti apa. Aku di bawah dengan sampah-sampahku dan beberapa detik kemudian aku sudah tenggelam oleh sampah. Bau yang sangat busuk memenuhi penciumanku, gelap dan basah. Seluruh tubuhku meronta-ronta, tanganku menyusup di antar sampah-sampah untuk mencapai permukaan. Aku megap-megap saat hidungku tak mampu menemukan udara untukku, kepalaku berdenyut-denyut dan dadaku serasa panas terbakar dan hampir meledak. Aku akan mati, begitu pikirku. Nggak apa-apa kalau aku mati, aku nggak perlu lagi memulung. Aku pasti masuk surga. Aku masih kecil dan nggak ada dosa yang berat menggantung di pundakku. Dosaku, paling saat aku meneriaki Si Merah yang tak henti-hentinya menangis. Aku sudah mengayunnya cepat dan dia menangis semakin kencang. Aku kesal, marah dan berteriak pada Si Merah menyuruhnya untuk diam. Atau melawan nenek saat disuruh menyuapi Si Merah makan. Begitu-begitu saja, itu bukan dosa yang berat. Nggak apa-apalah aku mati. Pikiran-pikiran itu melintas begitu di benakku saat nafasku tinggal satu-satu.

Saat aku sudah siap dengan kematianku yang sangat menyedihkan dan jorok itu, bayangan Si Merah memenuhi penglihatanku. Dan detik itu kemudian aku berseru minta tolong, “Tuhan tolong!” Dan seketika gelap!

Gelap...

-

Kupikir aku sudah mati hingga aku mendengar suara-suara orang panik dan berteriak di sekelilingku. Pelan-pelan kubuka mataku dan terlihatlah orang-orang sibuk menggali sampah di beberapa titik longsor. Beraneka macam ekspresi tergambar di wajah orang-orang yang berkerumun itu.

Pelan-pelan aku bangkit dan terhuyung-huyung menerobos kerumunan. Tak ada yang menyadari keberadaanku. Karena aku bukan siapa-siapa, aku hanya pemulung cilik yang terselamatkan oleh tangan Tuhan.

Aku mempercepat langkahku dan setengah berlari menuju gubuk kecil jelek reot itu. Beberapa orang memandangku aneh. Aku nggak perduli dan nggak akan pernah perduli dengan pandangan orang-orang akan diriku. Dan kudapati aku sedang berlari. Aku merasakan rindu yang sangat besar yang tidak pernah kurasakan sebelumnya terhadap Si Merah. Aku berlari dengan kaki kecilku yang kurus saat mataku melihat gubuk itu.

Si Merah sedang bermain dengan tumpukan botol akua dan kardus bekas. Dia merangkak mendekatiku yang jorok dan bau. Kupeluk dia, adikku.

“Abang hampir mati dek, maafkan Abang ya”

Aku tahu dia tak mengerti maksud ucapanku itu, begitu juga aku. Aku hanya ingin bilang begitu. Aku sayang adikku Si Merah.

-

Tentang Tuhan, sejak kejadian itu aku belajar mengenalnya dari apa yang aku punya, aku dapatkan. Aku belajar berterimakasih. Nenek yang mengajari tentunya. Walau sampai sekarang aku masih sering mempertanyakan, memaki, meneriaki-Nya saat inginku yang paling kecil tak kudapatkan. Aku hanya ingin makan nasi dua kali sehari. Dan untuk mendapatkan itupun sangat susah. Ku pikir tak mengapa aku sedikit berlaku kasar pada-Nya. Biar Dia ingat aku. Aku pemulung cilik yang butuh kasih sayang dan makan nasi dua kali sehari.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun