Cerpen kolaborasi, Conni Aruan dan Fandy Sido
Cinta adalah sebentuk magnet. Di kedua sisinya.
KAFE D’Angelis ramai seperti biasa. Keceriaannya bertahan bahkan hingga tahun keempat namanya. Dahulu bilik makan dua lantai yang dindingnya dipadu dari kayu dan bambu ini sohor sebagai Raminten. Pribumi peracik jamu. Tapi sepeninggalan pemilik lama, bisnis berpindah ke tangan seorang Cina yang gandrung Eropa. Nama Jawa pun hilang, berganti romansa Latin abad pertengahan. Tapi apapun itu, pengunjungnya tetap ramai. Mungkin karena matahari terbenam di barat Yogyakarta selalu nampak bersahaja dari jendelanya. Menumbuhkan ketenangan.
Perasaan sama yang membuat Li dan Ambar saling senyum tanpa kata,terkadang diselingi lirikan-lirikan mesra Ambar kepada kekasihnya itu. Di meja nomor empat. Jari jemari Ambar yang memainkan batangan magnet diatas meja,itu pun sepertinya tak dapat menarik perhatian Li.Ambar menghentikan kegiatannya kemudian menatap lekat pada kekasihnya.Li yang tiba-tiba tidak nyaman diamati seperti itu,membuang pandangannya keluar jendela. Ambar semakin curiga dengan sikap Li yang tidak seperti biasanya.
“Li,kau kelihatan bingung takseperti biasa,” komentar Ambar dengan tatapan curiga kepada kekasihnya yang semakin terlihat aneh, kikuk sebenar-benarnya.
“Ng?”
“Mukamu, sayang. Seperti menyimpan kalimat yang mau diucapkan. Ada apa?”tanya Ambar semakin penasaran
“Tidak ada,sayang,”
Li kembali bertingkah sekenanya dengan menyelipkan rambut hitam kekasihnya itu kebalik telinga. Perempuan itu selalu memukau dengan wajahnya yang bulat dan selalu bersinar seperti bulan yang bersinar terang,matanya yang besar dengan bulu mata yang lentik dilengkapi pandangannya yang selalu ramah,senyumnya yang menenangkan,dan hidung tegak sempit yang selalu membuat orang merasa iri.
“Katakan saja.” Ambar selalu tahu, saat Li menyimpan sesuatu di pikirannya.
Laki-laki itu meraba pandang bidang meja. Mengamati butir kondensasi yang merambat turun di dinding luar gelas cola float.Sibuk dengan pikirannya yang sedang merangkai kata indah untuk diucapkan kepadakekasihnya itu. Hanya empat kata yang terlontar memulai. Saat Ambar berdeham, akhirnya ia mengangkat mukanya.
“Ambar. Aku ada pertanyaan …,” kata Li pada akhirnya.Jari jemari Li,saling meremas satu sama lain. Keringat pun mengalir dari dahinya. Tak menyangka sebegitu susahnya untuk mengucapkan empat kata yang sedari tadi tersusun baik di kepala. Laki-laki itu semakin gugup melihat gadis didepanya, menatapnya tak sabar. Ambar penasaran dibuatnya. Matanya terpicing dan keningnya berkerut seperti mulai kesal.
Empat tahun kebersamaan mereka bukanlah waktu yang singkat untuk saling terbuka. Ambar pun tahu Li selalubisa mengatakan perasaan kepadanya tentang hal sekecil apapun, meski pada pertemuan pertama semuanya tidak begitu lancar karena Li lebih gugup dari siapapun. Tapi semuanya berjalan baik-baik saja. Hubungan mereka hangat karena banyak hal, terutama karena kafe ini, dan sepasang benda yang di setiap kunjungan mereka selalu dibawa. Sepasang benda yang kini bergeser di antara jari-jari Li kekasihnya.
Dua batang kecil dengan paduan dua warnanya yang cerah. Merah dan biru. Seperti Mars dan Venus yang melekat karena hukum alam tanpa kecanggungan relativitas sama sekali. Magnet lebih kecil dari kelingking itu bergeser. Saling tarik kemudian menempel dengan bunyi yang lucu.
Ambar menggenggam tangan Li bersama dengan magnet-magnet itu. Ketenangan yang hangat kemudian merambat sampai kepala.
Li menghela napas. Senyuman itu membuatnya bersemangat. Jantungnya berdegup lebih cepat saat pegangan tangan Ambar mulai berdetak-detak.
“Ambar,” kata Li dengan segenap keberaniannya. Tak ada balasan untuk itu. Hanya pandangan mengharap.
“Maukah kau menikah denganku?”
Ada sesuatu, di mata perempuan itu, yang membuat Li tak bisa bicara lagi. Kalimatnya telah purna. Meski hatinya belum tenang menunggu jawaban. Ambar lama menatap. Kemudian tersenyum,senyum paling indah yang pernah terukir diwajah yang selama ini berupaya dewasa.
Magnet lalu berpindah di dua tangan. Kemudian didekatkan dengan perlahan. Menempel begitu saja seperti mekanisme tanpa rumus. Cahaya matahari mengoranye memantulkan kilau di sepanjang sisi kecilnya. Ambar berurai air mata bahagia. Dan Li tak lagi menunggu jawaban berupa kata.
***
Menjadi seorang pedagang serasa sebuah takdir turunan untuk anak keturunan Tionghoa. Dan Li tahu betul itu. Makanya tatkala sang mama memintanya meneruskan usaha toko bahan bangunan warisan sang papa, ia tak menolak. Ia rela meninggalkan minatnya di bidang hukum untuk mengejar rezeki keluarga yang terbukti menjanjikan itu. Sedikit kreativitas digunakannya untuk membuka toko baru yang menjual bunga-bunga Adenium dan rumput-rumput Zoysia Japonica yang laris keras di pinggir kota. Jenis rumput yang sedang mahal-mahalnya itu memberinya kesibukan muda yang membara.
Pertemuannya dengan Ambar setelah lamaran itu berjalan biasa saja. Sesekali lebih hangat karena bunyi detak dari dalam genggaman. Magnet saling tarik dan menempel lagi. Setiap kali ada bunyi lucu itu, Ambar selalu tertawa lepas. Dan Li dibuat bingung karenanya. Menggabungkan dua hati sampai ke mimpi paling tinggi adalah kodrat langsung dari Langit.
Tapi semua itu belum berarti sempurna sebelum dua keluarga disatukan. Li memberontak di sore hari. Ketika kekasihnya sedang sibuk dengan toko bunganya, puluhan kilometer jauhnya.
“Tidak bisa, Ma!” bentak Li. Ia mondar-mandir sampai akhirnya langkahnya terhenti. Suaranya kembali pelan. “Mama tahu aku mencintai Ambar. Bukan orang lain.”
Tapi sang bunda punya alasan sendiri. “Ini permintaan almarhum ayahmu. Sen gadis yang baik. Pintar, keluarganya terpandang, punya masa depan, mandiri. Semuanya adalah kriteriamu kan?”
“Iya. Tapi …”
“Kalau begitu tidak ada masalah. Jangan sampai perasaan membutakanmu. Biasanya itu hanya sebentar. Kau sudah dewasa dan bisa memakai logika. Mama yakin kelak kau akan memutuskan yang paling cerdas. Jangan sampai seperti Mamamu dulu.”
Kalimat yang terus berdengung di telinga Li. Meski sebagiannya ia tak tahu persis bermakna apa. Ruang kerjanya sontak hening saat ibunya sudah tak di situ. Bunyi detak jam membuatnya bingung. Waktu akan memberinya waktu yang tidak menyenangkan mulai saat itu. Separuh rasa abai membuatnya melirik foto yang dijatuhkan sang ibu tepat di hadapannya.
Sen. Gadis tersenyum manis dengan matanya yang sipit. Kulitnya putih kekuningan. Seperti ayahnya. Seperti dirinya. Pikirannya bertanya mengapa Tuhan menciptakan manusia dalam banyak bentuk ras yang berbeda. Dan mengapa Ambar terlahir bukan sebagai orang Cina.
***
Empat minggu Li berdiam. Meski ia masih tersenyum setiap kali berbicara dengan Ambar lewat telepon. Ia tahu persis kekasihnya itu memahami kondisi apapun bahkan tanpa harus dijelaskan panjang lebar. Tangan-tangannya sibuk mengikuti gerak pikiran yang berusaha merancang format keuangan baru. Tak satupun selesai. Ia berdiri menghadap kaca jendela saat pintunya diketuk.
“Nak, besok jelang setahun peringatan kematian ayahmu. Kau sudah harus memutuskan ini. Kalau tidak, Mama sendiri yang akan memanggil Ambar kemari.”
Pintu tertutup kembali. Dan Li hanya bisa kembali menatap bulir air di luar kaca. Ia berpikir tentang masa depannya. Bagaimana semua itu akan berakhir.
***
Ambar bingung kesekian kali karena tiba-tiba Li mengajaknya bertemu lagi di meja nomor empat itu. Kali ini lampu kekuningan tak memperlihatkan apa-apa di bawah sana. Gelap dan hanya dijejali butir-butir cahaya kecil yang berbisik tanpa suara.
Li memulai kalimatnya dengan basa-basi. Tapi Ambar selalu tahu apa maksud kekasihnya itu. Lama mereka terdiam. Mata gadis itu berair. Kini ia yang tak bisa bicara. Li beberapa kali berusaha meraih tangan Ambar, tapi tak berbalas.
Magnet-magnet itu terlempar dan jatuh ke sudut lantai.
“Harusnya aku tahu dari awal, Li. Karena kita begitu indah.”
Ambar berlalu dengan tangisannya yang tak terdengar. Ketegaran hanya milik perempuan yang bisa menutupi pedihnya dengan senyuman. Tapi itu tak berlaku ketika perasaan jatuh dari ketinggian yang sebelumnya indah. Ambar pun goyah dan menyerah. Dalam pikirannya ia tak perlu mengharapkan apa-apa lagi. Sebatang magnet dibawanya pergi.
Li menatap kedua tangannya kosong di atas meja itu. Tak lama kemudian ia mendengar celetukan suara lelaki tua.
“Kau tak memperhatikan, Nak,” kata suara itu. “Bahwa sisi yang sama pada magnet akan senantiasa saling tolak. Sisi berbedalah yang akan saling melekat.”
Entah apa maksud kalimat itu, pikir Li. Yang ia lihat hanya punggung tua bungkuk yang menjauh. Pria itu digandeng oleh sosok perempuan sama tuanya. Yang setengah tinggi badannya. Hingga melewati kasir dan menghilang di pintu keluar.
Kebingungan yang bodoh.
***
Brussels. Tiga tahun kemudian.
Ambar memilih tenang. Ia menyibukkan diri dengan rancang-rancang bangun minimalis sambil mengamati gelayut kabut musim dingin yang turun di antara Saint-Josse-ten-Noode dan Haren. Ibukota peradaban yang senyap.
Keputusannya pindah keluar negeri bukan murni karena dorongan perasaan. Apalagi beasiswa sekelas Fulbright yang berhasil direbutnya. Logikanya sedikit bekerja, dan semangat dari sang bunda memberinya ketegaran yang kuat bahwa hidup harus berjalan seperti rencana Tuhan. Meskipun seorang perempuan harus merelakan kepergian laki-laki yang dicintainya.
Maemunah Sahlan adalah ibu terbaik baginya. Janda dengan kekuatan dua keluarga yang membentuk ketegaran seorang gadis yang memilih untuk kuat.
Menjadi seorang arsitek terasa seperti dewi pembentuk dunianya sendiri. Bentuk-bentuk adalah mimpi baginya. Garis-garis adalah nadanya. Lalu ia memutuskan gambar sebuah taman di tengah langit. Dengan tangga-tangga kokoh yang ia rakit satu per satu. Dan sepasang nama di depan pintunya. Li dan Ambar. Mimpi cinta yang tak bisa dibeli. Bayangan lama kembali diyakinkan sang kekasih yang waktu itu.
“Aku masih yakin terhadap hubungan kita, Ambar.”
Suara di seberang telepon itu terdengar lemah. Cukup menenangkan meski ia tak tahu harus menempuh pintu yang mana.
Tuhan selalu punya rencana.
Ambar tak pernah menanyakan Tuhan. Satu-satunya pertanyaan yang ia simpan adalah mengapa Li dulu meyakini agama yang berbeda. Tak penting lagi kini. Toh mereka tak pernah berdiskusi soal ketuhanan dalam hangatnya anugerah cinta waktu itu. Cinta rasanya sama bahkan sebelum mempertemukan dua keyakinan agama.
***
Kemudian panggilan telepon sore di bulan Mei itu menegaskan semuanya. Li memutuskan menikah dengan Sen. Demi abu ayahnya.
Ambar tersenyum menatap keluar jendela. Betapa dunia punya teka-tekinya sendiri. Omong kosong soal cinta dan kesetiaan pernah ia abaikan selama bertahun-tahun. Tapi jawaban yang tegas dari seorang laki-laki harusnya cukup memberinya tepukan di punggung untuk bangun dari mimpi. Bahwa cinta itu bukan untuk datang sendiri, melainkan dikejar. Ia tak pernah paham mengapa Li tak pernah berusaha lebih kuat untuk mengejarnya. Atau apakah memang laki-laki manis itu lemah sejak awal.
Mematung hampir satu jam melihat ratusan orang berlalu di bawah sana. Ambar menangis. Terisak begitu saja. Di atas meja, batang magnet itu sama diamnya.
***
Pada akhirnya gadis itu harus kembali ke tanah air untuk kabar tentang ibunya. Maemuna Sahlan sakit keras di antara perawatan anak tertuanya. Ambar tiba dan langsung melepas jaketnya. Merawat sang bunda penuh pengabdian.
“Menikahlah dengan Ruslan, Nak.”
Kalimat sang bunda seperti meniupkan angin kencang ke muka Ambar. Ia tahu siapa Ruslan. Lelaki masa remajanya itu pernah beberapa kali menghubunginya lewat internet ketika masih di Belgia. Tapi tentang siapa sebenarnya Ruslan, ia belum tahu.
“Menikahlah. Demi ibu. Ibu ingin menimang cucu sebelum mati.”
Ambar langsung menutup bibir ibunya dengan jari telunjuk, menenangkan tubuh lemah itu dengan kedua tangannya sendiri. Secangkir jahe hangat membuat sang ibu tenang tidur. Sementara Ambar tak banyak berbincang lagi dengan saudara-saudaranya yang berharap sama akan masa depannya.
Tiga hari tiga malam Ambar memikirkan permintaan ibunya tentang Ruslan. Ia tak pernah membayangkan menjadi istri seorang pimpinan pondok pesantren. Meski pemuda itu berwibawa dengan tanggung jawabnya, Ambar tak mau melepaskan perasaannya begitu saja kepada seseorang yang belum ia kenal dari dua sisi. Ia juga berpikir tentang usianya yang tak lagi muda. Kepala tiga memang sudah saatnya.
Bagaimana aku menemukan penggantiLi?
Ambar terlihat tidak yakin bisa melupakan Li,pria jangkung dengan rambutnya yang seperti jarum,alis tebal yang hampir menyatu satu sama lain,matanya yang teduh dan dalam,tahi lalat dibibirnya,persis di dekat bibir atas.Cinta dan sayang selama empat tahun yang sudah dikecap bersama.
Kenapa kisah cinta kita harus berakhir seperti ini? Ambar goyah.Ia berulangkali menyisir rambut panjangnya dengan jari jemarinya,seperti kebiasaannya saat memikirkan hal yang sangat penting.
Hening tanpa suara. Ambar duduk ditepi ranjang menghadap ke cermin yang tak bersuara. Mencoba memahami semuanya.
***
Jembatan Kleringan Yogyakarta indah dengan pantulan cahaya matahari petang di dua lajurnya. Deru air dangkal Kali Code yang mengalir di bawahnya seperti desir darah yang mengalir sampai ujung kaki. Mengantarkan pesan kehidupan yang terus berjalan tanpa henti. Ambar berdiri di tengah-tengah panjang jembatan itu. Menatap puncak Merapi dan membiarkan angin barat menyeka tubuhnya. Tangannya terbuka.
Batang megnet itu kini nampak lebih kecil. Tunggal tanpa reaksi. Bisik-bisik soal cinta lamanya dengan Li kini makin senyap. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk melupakan semuanya dan melihat kemungkinan-kemungkinan baru. Ia mengumpulkan keberanian itu pada akhirnya. Untuk memilih satu pintu yang paling baik.
Dengan sekali ayunan lengan, magnet itu terlempar sampai ke dasar sungai. Menghilang bersama deru orang-orang yang hidup di bantarannya.
Langkah berlalu dan hanya menyampaikan salam rindu kepada Kafe D’Angelis di seberang sana. Di meja nomor empat lantai dua itu kini diisi sepasang muda yang bercanda.
Ambar tersenyum lega.
***
Tujuh tahun berlalu seperti kehidupan yang baru.
Ambar tersenyum-senyum melihat pesan masuk yang mengejutkan itu. Lensa kaca matanya berkilau memantulkan pendar-pendar layar monitor. Sebuah foto keluarga yang lucu.
Kalian kelihatan cocok. Aku turut bahagia.
Komentar yang diketik begitu saja mengikuti naluri sosial yang menghargai pemberian Tuhan.
Terima kasih, Bu Ambar. Saya yakin Tuhan punya hadiah terindah buat setiap manusia. Tugas kita hanya memilih pintu yang benar. Selamat bahagia buatmu juga. Oh iya, Salam dari saya dan keluarga buat Andari ya! Gadis kecil itu cantik dan tegas seperti ibunya.
Ambar membalasnya dengan smiley sebentuk senyuman. Senyum tak terlepas dari wajahnya. Kenangan hanyalah kenangan. Cinta memang memilih keindahan untuk manusia, bukan sebaliknya. Kini mereka sudah paham itu. Ia pun langsung memegang tangan yang menyentuh pundaknya.
Ruslan ternyata suami yang baik. Pemberian Tuhan yang disyukurinya.
***
Di Pontianak, tempat pesan balasan itu terkirim.
Li membalas senyum. Ia lalu menatap syukur pada sebingkai foto yang membuatnya bahagia. Keluarga kecilnya.
***
Cinta adalah sebentuk magnet. Di kedua sisinya. Para tetua berkata bahwa ibarat dua kehidupan hanya akan bertaut jika menemukan kutub perbedaannya. Li dan Ambar percaya betul hal itu kini. Meski pikiran dan hati kecil mereka masih berbisik bahwa kutub yang sama pun bisa bertemu. Kalau tangan yang memegangnya memmberikan sedikit dorongan.
Di atas semuanya, mereka tak pernah menolak rencana terbaik dari Tuhan.
Aku sendiri belum berani meraba perasaanku tentang jari-jari percintaan. Masa remaja ini terlalu penting untuk aku lalui dengan kesenangan yang menikmati proses. Untuk sementara ini, aku cukup senang menuliskan kisah romantisme masa lalu yang membawaku ke masa ini. Rahasia yang kudengar suatu malam sebelum aku tidur. Entah mengapa, aku senang.
Terlebih lagi, karena aku menulis kisah cinta ayahku sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H