[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Sumber gambar: toniwithaneye.com"][/caption]
-
Ambar memeriksa kembali isi tas anak perempuannya, Quentin. Dia mencocokkan jadwal pelajaran besok dengan isi tas Quentin. Cocok, kecuali dengan boneka kayu, bulu ayam, dan daun-daun jambu kering yang dikumpulkan lalu diikat dengan benang. Ambar mengeluarkan semua itu dari tas Quentin.
Quentin berdiri di pintu kamarnya, di sudut bibirnya masih tersisa busa pasta gigi. Quentin, gadis kecil sembilan tahun, berambut ikal panjang sepunggung, dengan poni menjuntai hampir menutupi kedua mata bundarnya yang berwarna coklat. Banyak orang yang mengatakan padanya, kalau Quentin harusnya hidup di dunia peri. Mungkin karena telinga Quentin yang runcing seperti telinga peri di negeri dongeng, juga wajahnya yang selalu berkesan licik tapi menggemaskan.
“Ma, kenapa dikeluarin?” tanya Quentin mendekat. Dia mengelap mulutnya dengan lengan bajunya.
“Kamu ke sekolah ngapain bawa beginian?” jawab Ambar. Tas Quentin diletakkan di meja belajarnya, lalu meraih beberapa helai pakaian kotor dari sandaran kursi. Quentin diam, matanya mengamati wajah Ambar, setiap gerakan yang dilakukan, dan rambut Ambar yang dipotong pendek, seperti potongan rambut laki-laki. “Selamat tidur peri malam, seperti biasa?” tanya Ambar pada Quentin yang mengintip dari balik selimutnya. Quentin mengangguk.
Klik! Lampu dimatikan. Pintu ditutup dan malam pun merayap ke kamar Quentin. Hening.
When I was just a little girl, I asked my mother, "What will I be? Will I be pretty, will I be rich?"
Here's what she said to me: "Que Sera, Sera, whatever will be, will be. The future's not ours to see Que Sera, Sera. What will be, will be"
Kedua mata Ambar yang berwarna coklat terbuka. Baru saja dia akan terlelap, kalau saja tidak mendengar ukulele dan nyanyian Quentin dari kamarnya. Ambar bangkit dan menuju kamar Quentin.
Klik! Lampu dinyalakan. Terlihat Quentin tersenyum lebar sambil memeluk ukulele.
“Jangan lagi.” larang Ambar tegas. “Jangan sampai Mama menjual ukulele itu ke pasar loak.”
Quentin meletakkan ukulele itu di sampingnya, menatap Ambar mematikan lampu dan menutup pintu kamarnya.
Hening. Ting... jreeeng... ting... Quentin memainkan pelan-pelan senar ukulelenya. Di kamarnya yang gelap, mata Quentin berkilat bercahaya. Tangannya meraba-raba, mencari boneka kayu Si Gale-gale, oleh-oleh dari Oscar teman sekelasnya saat berliburan ke Tuk-Tuk di Sumatera Utara. Jemari Quentin meneliti setiap ukiran dan detil boneka itu, dan akhirnya sepasang mata itu mengatup.
Gelap. Sunyi. Dan, beberapa pasang mata berkilat-kilat mengawasi Quentin yang terlelap.
“Lihat telinganya, kayak telinga kita. Dia cantik sekali, dia akan menjadi rebutan kalau dia mau tinggal di tempat kita.”
“Hidungnya mungil, aku pengen menyentuhnya.”
“Huss! Jangan! Nanti dia bangun.”
“Hihihi...”
“Kamu ini,”
“Hei ini perhiasannya lucu. Aku boleh ambil nggak?”
...
-
Jam istirahat berdering, Quentin mengeluarkan kotak bekalnya, sosis panggang dan potongan apel yang dilumuri mayonise. Di pintu kelas, Oscar sudah menunggu. Rambutnya hari ini disisir rapi ke samping, berminyak, tapi wajahnya terlihat menyebalkan. Dia menatap Quentin dengan setengah menantang.
“Kamu mau ikut atau tidak? Lama!”
Quentin mendengus, lalu menghampiri Oscar dengan bekalnya sepelastik ditentengnya. Mereka akan makan siang di belakang sekolah, di bawah pohon akasia, menghadap dinding pembatas setinggi tiga meter.
Oscar membuka bekalnya dan mulai melahap isinya.
“Aku heran, kenapa kamu makannya dikit banget. Jadi aku minta sama mama untuk menyiapkan bekal untuk dua orang. Hahaha... Aku bilang buat kamu.”
“Aku kan makannya emang sedikit. Buat apa banyak-banyak, toh di rumah juga makan lagi.”
“Aku tahu, maksudnya kalau kamu nggak mau kan bisa jadi buat aku. Hahaha.”
Quentin dan Oscar banyak bercerita sambil melahap makan siang mereka, tentang pelajaran hari ini, tugas-tugas, dan rencana sepulang sekolah. Mereka berdua sama-sama punya karakter yang menyebalkan, tapi itu membuat mereka nyaman satu sama lain.
“Kamu mau nginap di rumah aku nggak hari sabtu?” tanya Quentin saat mereka berdua berjalan kembali ke kelas.
“Ngapain, pasti nggak boleh sama Mama kamu.”
“Kamu bisa aku selundupin dari jendela.”
“Ngaco kamu!”
Hup! Quentin melompat menangkap daun yang terbang di bawa angin. Dia mengamati daun itu, menyentuh tulang daunnya, lalu dia memasukkan ke sakunya.
“Kamu percaya nggak, kalau angin itu sebenarnya adalah tangan Bumi?” teriak Quentin pada Oscar yang semakin jauh darinya. Oscar melambaikan tangannya.
“Aku percaya!Bumi baru saja memberikanku selembar daun, dengan tangannya, angin. Bumi ingin aku melakukan sesuatu pada daun ini.” Teriak Quentin sambil mensejajarkan langkahnya dengan Oscar.
“Iya, kamu bisa membakarnya atau merebusnya, jadi sup daun kering.” Oscar menjawab asal.
“Haha, bisa juga. Ohya, aku punya rahasia, dan aku akan menceritakannya padamu kalau kamu bisa berhenti bersikap sinis kepadaku.” Quentin berlari memasuki kelasnya meninggalkan Oscar di belakangnya.
“Rahasia, fantasi iya...”
-
Quentin duduk menatap makan malam yang baru disiapkan Ambar. Semangkuk mie rebus pakai bakso kesukaannya dan segelas jus alpukat. Ambar masih sibuk menyiapkan menu vegetariannya.
“Minggu nanti, kita ke salon. Rambut kamu sudah terlalu panjang.” kata Ambar sambil meletakkan sepiring penuh sayuran di meja.
Quentin menatap Ambar dengan tidak setuju. Dia ingin protes, tapi Ambar sudah pada posisi berdoa, “kamu yang pimpin malam ini.”
Quentin menutup matanya dan membacakan doa mau makan yang sudah dihapalnya luar kepala. Tak sampai semenit, dia sudah selesai. Ambar menatapnya jengkel.
“Kamu harus belajar mengucapkan terima kasih dari hatimu. Yang baru kamu lakukan adalah menyebut hapalan.”
Mereka berdua mulai melahap makanannya masing-masing.
“Aku nggak mau potong rambut.” Quentin menusukkan garpunya pada bakso paling besar lalu memasukkan ke mulutnya. Mulutnya penuh dan dia mengunyah dengan kesusahan.
“Dipotong sampai sebahu saja kok,” jawab Ambar datar.
Quentin langsung menelan bakso yang belum begitu halus di mulutnya, matanya membesar saat bakso itu melewati kerongkongannya. Matanya menatap Ambar kesal.
“Mama, aku nggak mau potong rambut sampai sebahu. Potong rambut, oke, tapi cuma sedikit saja.” Quentin meletakkan sendok dan garpunya. Dia menunggu respon Ambar.
“Kalau cuma sedikit, ngapain repot-repot ke salon, potong sendiri juga bisa.”
“Nah! Makanya, nggak usah ke salon, aku akan potong rambutku sendiri.”
“Tidak boleh nego.”
-
Quentin merajuk, keningnya berkerut, mulutnya maju. Dia memutari kamarnya dengan kaki menghentak-hentak membuat Ambar bolak-balik mengingatkan putri satu-satunya itu. Ukulelenya dimainkan asal, dia menyanyikan lagu Que Sera sera dengan lirik buatan sendiri, “Kalaulah kubisa mohon, Mama jangan potong rambutku. Biarkan saja panjang, biarkan saja menjuntai, karena aku ini peri malam...”
Malam semakin larut, Quentin tak juga tidur. Dia merangkai daun-daun di lacinya pada kertas karon, membentuknya jadi sebuah pohon. Aku akan menempelnya besok, lalu aku akan menggambar Oscar duduk di sampingku, bisik Quentin dalam hatinya.
“Psst!”
Quentin menghentikan tangannya merangkai daun-daun itu. Dia memasang telinganya lebar-lebar.
“Pssst!!” suara itu terdengar lagi, memanggilnya.
Quentin berdiri, dia mencari-cari sumber suara itu di sekeliling kamarnya.
“Di sini!” suara itu lagi, seakan mengajaknya bermain petak umpet.
Qentin gentar, dia sudah berkali-kali mengamati kamarnya, dan tidak menemukan orang lain selain dirinya. Dia melangkah perlahan ke kasurnya, menarik saklar lampu di samping meja belajarnya dan hup! Quentin melompat dan langsung bersembunyi di balik selimutnya. Dia mendekam di sana, telinganya awas terhadap suara sekecilpun, sampai dia lelah dan tertidur.
Tak berapa lama, Quentin terbangun. Dia mendengar suara-suara berbisik di sekelilingnya, menceritakan tentang dirinya, rambut panjangnya, dan barang-barang yang ada di kamarnya. Badan Quentin bergetar, jari-jari tangannya mencengkeram selimutnya.
Quentin mengintip dari selimutnya, dalam gelap dia mencari-cari sumber suara yang didengarnya tadi. Tidak ada siapapun di sana. Dan tunggu! Di sana di sudut sepasang bola mata berwarna hijau berkedip mengawasinya.
Quentin melompat dari kasurnya, menarik saklar lampu, dan klik!
Terang benderang dan tak ada orang lain di kamar itu selain dirinya sendiri.
“Mamaaaaaaaaa!!!”
--Bersambung--
-
Tulisan ini diikutkan dalam Even Fiksi Fantasi yang diselenggatarakan oleh Fiksiana Community
Baca tulisan teman yang lain di sini
Gabung di grup pencinta fiksi yuk! Di sini yaa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H