Mohon tunggu...
Conni Aruan
Conni Aruan Mohon Tunggu... Administrasi - Apa ya?

Zombie

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malam Tahun Baru

21 Januari 2015   19:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:40 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keheningan ini mematikan. Kulihat Ibu meringkuk di sudut ruangan, matanya menerawang, adikku Kiki tertidur di pangkuannya dengan memeluk revolver rampasanku kemarin. AK-47 yang kuberikan pada Ibu sama sekali tak disentuhnya. Lilin tinggal sesenti, tak lama lagi akan padam. Lengkap sudah kengerian ini.

Aku menjaga mata dan pikiranku untuk tetap terjaga. Pasukan pembersih sudah disebar jam tujuh malam tadi. Hanya butuh waktu lima jam untuk sampai ke perkampungan. Itu berarti tiga puluh menit lagi. Aku harus bertahan, tapi aku ngantuk sekali...

Aku mendengar suara tembakan, samar-samar. Dan ... teriakan ketakutan Kiki, tapi suara itu jauh sekali. Sebuah ledakan dahsyat mengguncang.

Kubuka mataku. Tuhan! Aku tertidur. Kiki menatapku dengan penuh ketakukan. Mataku mencari-cari Ibu. Tidak ada!

“Ibu ke rumah nenek.” Kiki berkata lirih. Matanya merah tapi tak lagi mengalirkan airmata. Dia sudah lelah menangis ketakutan sejak sore.

Aku pias mendengarnya. Tanganku bergetar hebat saat menyampirkan SS2 dan meraih pistol dari tasku.

“Bawa yang penting-penting aja, kita harus nyusul Ibu.” Aku mengintip dari jendela, melihat situasi. Gelap mencurigakan.

Kiki memasukkan sebotol air minum, sisa roti sore tadi, dan kaus oblong dua. Dia meraih jaketku dan memakainya.

“Tetap di belakang kakak, lakukan apa yang kakak bilang. Senjata kamu, masukin tas. Kakak yang jagain kamu. Oke?” Dia mengangguk tertahan. Dan langsung menutup mulutnya saat mendengar tembakan dari depan dan dibalas tembakan lagi dari bangunan tak jauh dari tempat kami bersembunyi. Kuletakkan telunjuk di bibirku. Dia mengangguk saat kutunjuk pintu belakang.

-

Rumah nenek sebenarnya tak jauh, tapi karena pasukan keparat itu sudah memutuskan jembatan penghubung terpaksa kami berjalan memutari kampung.

Aku tak pernah menyangka kebijakan pemerintah untuk mengurangi kaum kami dengan cara sesadis ini. Mereka pikir kami akan menyerahkan diri begitu saja. Tidak. Kami melawan. Mereka bisa mengatur hidup kami, tapi mereka tidak bisa mengambil nyawa kami begitu saja. Di hari-hari tertentu mereka menyerang. Dan kekuatan kami terbilang imbang. Jumlah nyawa kaumku yang hilang sebanding dengan jumlah nyawa aparat yang kami kirim ke neraka.

Kiki memegang ujung bajuku. Kami mengendap-endap di gunungan sampah. Melewati tumpukan mayat yang mulai membusuk. Kiki menahan gejolak di perutnya dan tak kuasa menahannya saat tembakan dari pohon beringin itu memecah hening dan sebuah peluru berdesing di telingaku.

Kutarik Kiki yang masih muntah-muntah. Kusandarkan dia di balik pohon dan mulai menembaki ke arah tembakan itu berasal. Tembakannya masih melenceng jauh. Pemain baru pasti, pikirku. Kureka-reka asal tembakan itu. Dan kutembak.

Kutunggu beberapa detik. Tidak ada tembakan balasan. Aman, pikirku. Kulihat Kiki terduduk lemas, kami harus segera bergegas. Semakin larut semakin banyak lawan. Perut Kiki masih memompa, berusaha mengeluarkan sesuatu dari perutnya yang dari kemarin hanya diisi dengan sekerat roti. Kuraih ransel dari pundaknya, dan kuminumkan padanya air. Setelah dia merasa sedikit baikan, kusobek kaus oblong untuk menutup hidung Kiki. Kami akan melihat lebih busuk dan bau lagi, aku tidak mau berhenti. Terus bergerak kalau mau bertahan hidup.

Beberapa bayangan hitam merangkak mendekat. Kuraih lengan Kiki dan kami berlari secepat mungkin ke bangunan yang tak jauh dari gundukan mayat. Kiki berlari di depanku, aku menjaganya dari belakang.

Sesaat setelah Kiki mencapai sisi bangunan itu, sepasang tangan kekar menyergapnya. Gelap sekali, yang kulihat hanya sepasang matanya yang berkilat menatapku tajam. Spontan kujatuhkan pistolku begitu mengenali seragam hitam yang dikenakan pria itu.

“Lepaskan dia! Bunuh aku saja!” Kuangkat kedua tanganku yang bergetar hebat. Aku menunggu respon dari pria itu, sementara mataku menatap cahaya bulan yang dipantulkan aliran deras airmata Kiki. Oh Tuhan!

“Sandi?!” Tanya suara bariton itu dengan tegas.

Seketika aku merasa sangat lega. Aku bersiul sesuai sandi dari pemimpin kami. Sandi yang sangat membantu kami untuk tidak saling membunuh disaat genting begini.

Pria itu langsung melepaskan Kiki. Pelan-pelan Kiki mendekatiku dan bersembunyi di balik punggungku.

“Jangan pernah berlari terang-terangan begitu. Penembak jitu sudah disebar di beberapa tempat.” Dia menyalakan pemantiknya dan membakar ujung rokok yang tinggal setengah. Diisapnya dalam-dalam dan dibuang perlahan dari mulutnya. Setelahnya, ujung rokok yang membara itu ditekankan pada dinding bangunan sampai mati.

“Kau memakai pakaian mereka.” Aku bersandar di dinding, Kiki mengikutiku.

“Hanya supaya aku bisa membunuh mereka dengan mudah.”

“Kau juga bisa terbunuh.”

“Kau tahu, beberapa aparat menyamar sebagai kaum kita. Begitu sebaliknya. Sebaiknya kau mesti bersiap-siap. Kalian mau kemana?”

“Ke kampung sebelah tapi jembatannya sudah putus...”

“Sungai itu tidak begitu dalam. Aku melewatinya tadi. Hanya sebatas dada. Dari pada memutari kampung, kemungkinan untuk selamat hanya tiga puluh persen.”

“Aku bersama adikku.”

“Yaaa....” dia tidak melanjutkan omongannya.

Kami terdiam beberapa saat sebelum aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kami.

-

Dan tak pernah kusangka perjalanan kami boleh dikatakan mulus. Siulan-siulan dari kaumku banyak terdengar dari timbunan sampah, parit, tong drum minyak, bahkan dari tumpukan mayat busuk. Mereka mengarahkan kami ke jalan yang aman.

-

Rumah Nenek memprihatinkan. Sisi rumah sebagian kanan hancur. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Kiki sudah mulai menangis lagi. Kami memasuki bagian rumah yang belum hancur.

“Buuu...?” Panggil Kiki sepelan  mungkin. Tidak ada siapa-siapa di sana, bahkan potongan-potongan tubuh, yang paling tidak, menjelaskan semuanya, tidak terlihat sama sekali.

Suara jejak langkah dari balakang rumah membekukanku. Kiki berhenti bernafas dan wajahnya pias. Kuperintahkan padanya untuk menyiapkan senjatanya. Dengan tangan bergetar hebat, Kiki menggenggam revolver dan mengarahkannya ke pintu belakang yang sudah doyong.

Kusuruh Kiki mundur, aku memposisikan diriku tepat di depan pintu dan mengarahkan pistolku tanpa ragu.

Orang itu belum bergerak lagi. Beberapa detik yang mematikan dipecahkan dengan suara yang sangat kukenal.

“Sandi?”

Aku bersiul.

“Pia?”

“Ibu?” kuturunkan senjataku. Dan langkah kaki itu mendekat cepat. Begitu menyadari wajah itu, Kiki langsung menghambur memeluk perempuan itu.

Aku memandangnya tajam. “Kau meninggalkan kami.”

“Ibu harus menyelamatkan nenekmu.”

Aku terdiam.

“Karena Ibu tahu, kau pasti menjaga Kiki. Kau bisa. Kau kuat.”

Ibu pun bercerita sebuah kamp pengungsian dengan keamanan terjamin telah disediakan pempimpin kami. Tak jauh. Hanya 2 kilometer dari rumah nenek. Nenek sudah aman di sana. Dan Ibu kembali karena tahu kami pasti menyusulnya.

-

Kami mengendap-endap menuju parit yang tak jauh dari rumah nenek. Di sana, kata ibu, cukup aman untuk dilewati. Beberapa kali ibu bolak balik untuk membawa teman ke pengungsian dengan selamat. Aku tak pernah menyangka ibu mampu melakukan semua ini. Dengan AK-47 siap di tangannya, dia memimpin kami.

Kiki yang sejak perjalanan selalu gemetaran kini terlihat cukup meyakinkan setelah bersama ibu. Dia menggenggam erat senjatanya, dan mulai mempelajari situasi.

Kami baru saja melewati rumah-rumah kardus yang sudah hancur lebur saat mendengar siulan sahut menyahut. Saat sumber siulan itu semakin mendekat, ibu dan aku bersiul dengan panik, dan balasan siulan kami ternyata hanya sepuluh langkah di depan kami. Belum sempat kami menanyakan apa yang terjadi, RPG melesat dan menghancurkan gunungan sampah tempat beberapa kaum kami bersembunyi disusul balasan tembakan dari berbagai tempat.

Tembakan memancing tembakan, kepanikan di mana-mana, dan yang bersembunyi pun menampakkan dirinya disusul percikan api diujung senjata.

Ibu memaksa kami berlari melewati hujan peluru itu. Sekarang atau tidak sama sekali. Beberapa pejuang kaumku, melindungi kami dari tembakan hingga kami mencapai sisi parit terdekat. Kiki melompat lebih dulu, kemudian aku, dan ... saat ibu hendak melompat sebuah peluru menembus lehernya dan darah muncrat begitu derasnya. Ibu jatuh dan langsung kutangkap. Kutatap matanya, dia tak lagi ada. Kiki menjerit-jerit di sampingku.

“Ayo! Kita pergi dari sini!” Teriakku. Kiki menurut dengan kondisi masih menangis. Suara tembakan semakin mendekat, kami berlari semakin kencang dan sedapat mungkin tubuh tetap menempel pada tembok parit. Tangan Kiki yang memegang lenganku semakin terasa dingin. Kulihat mukanya yang sudah sangat pucat dan syok.

“Kak, berhenti sebentar ya?” Pintanya.

Aku mengangguk. Kami duduk meringkuk di dalam parit berbau busuk. Kenangan bersama ibu pun mengisi pikiranku. Baru saja aku hendak menutup kedua mataku, karena letihnya. Sebuah ledakan membutakanku dan tubuhku sekejap lumpuh.

Telingaku berdengung dan samar-samar penglihatanku kembali. Di sana, di antara reruntuhan Kiki menatapku dan meneteskan airmata terakhirnya. Kusadari saat itu aku juga sudah mati.

-

“Selamat tahun baru kakak...” bisikan itu membuat kedua mataku terbuka. Aku menggeliat di atas kasur gepengku.  Kiki tersenyum dengan sangat manisnya. Dia mengenakan rok yang kubelikan padanya dua hari lalu sebagai hadiah tahun baru sekaligus atas nilai rapornya yang bagus.

Dan Ibu, yang sedang menyiapkan kue dan teh manis hangat untuk kami santap bersama setelah mengucap syukur atas tahun 2014 dan tahun 2015 yang penuh dengan harapan. Ibu melihatku, sambil mengisyaratkan supaya aku bangun dan membantunya menuangkan teh.

---

Sumber gambar: http://iamhomelessgirl.com/wp-content/uploads/2012/04/girl_scared_done_close1.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun