Mohon tunggu...
Conni Aruan
Conni Aruan Mohon Tunggu... Administrasi - Apa ya?

Zombie

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[Dear PPA] Perempuan

2 Maret 2015   06:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:18 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"aku tak ingin hamil, apalagi punya anak." begitu kau mengawali ceritamu di satu waktu yang mereka sebut Hari Ibu mataku berair dan kabur oleh asap rokok yang meluncur dari bibir merahmu wajahmu tetap tak terbaca,meski kedua matamu mulai menerawang menatap kembali masa lalu yang tak pernah ingin kau kenang

“aku hanya seorang anak kecil, yang lahir dengan takdir menjadi indah, menjadi kesayangan,menjadi yang utama. yang hanya padanya bebungaan tumbuh dan mekar di lipatan roknya. yang hanya untuknya melati mekar  jam tujuh pagi. yang hanya karenanya mentari di atas kepala tak lagi menyengat.”

kau berdiri mempertunjukkan sisa-sisa keanggunanmu, tanpa sekalipun melepaskan rokok di sela-sela jari lentikmu. “saat aku mengenal lelaki dengan segala kepalsuan yang dipertontonkan, cumbu rayu yang tak bermutu, dan  bisikan janji yang akan usang oleh waktu, dan sayangnya aku terlalu awal bermain-main dengan rasa, lalu aku bertemu dengan takdirku yang lain; menjadi perempuan untuk dimiliki.”

ceret mendesis saat kau melangkah cepat menuju dapur kau kembali dengan dua cangkir kopi di tangan kiri dan kananmu rokok di sudut bibirmu tergoncang-goncang saat kau kembali bercerita.

“itu adalah kekacauan paling manis yang pernah kulakukan, menarik adam yang satu, mengulur adam yang lain, bermain mata dengan adam yang sana, berkirim surat dengan adam yang situ, tanpa satupun kepastian.” dan kau menarik nafasmu dalam-dalam sebelum melanjutkan, “kau pasti tahu, akibat dari kekacauan; bencana. aku bunting dengan mudahnya, saat adam yang sana menghampiriku dengan paksa, dan perlawananku hanya menyisakan ini...” celanamu kau turunkan, parut sepanjang 15 senti menodai kaki indahmu.

“aku tak ingin hamil, apalagi punya anak. tapi aku lebih tidak ingin membunuh sesuatu yang terus bertumbuh di sana. Aku hanya perempuan yang ditakdirkan menjadi indah yang memiliki ruang hangat dan nyaman di perutku sebagai rumah calon generasiku.”

aku terdiam, dia melanjutkan “aku sudah tua. esok, bisa saja aku sudah terbujur kaku di kamar. pikirkanlah, kau perempuan, kau tentu bisa memilih yang terbaik untuk keperempuananmu.”

kau berlalu dari hadapanku dan tersenyum tanpa menyisakan teka teki di bibirmu

-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun