Mohon tunggu...
Taufiqur Rahman
Taufiqur Rahman Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

aku hanya ingin belajar menjadi manusia yang manusiawi yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Menulis adalah harapan dalam setiap jengkal hidupku walaupun seringkali aku melalaikannya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Remaja dalam Pusaran Zaman

2 November 2010   22:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:53 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebagian orang mengatakan masa remaja merupakan satu tahapan kehidupan yang menakutkan. Walaupun asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar, akan tetapi perkembangan psikologis remaja yang cenderung labil dan seringkali "cuek" terhadap "akibat" dari apa yang dilakukan, menjadi alasan bagi sebagian orang untuk menghawatirkannya. Suasana hati (mood) yang cepat berubah, jika tidak termediasi dengan baik dapat berakibat pada perilaku yang menyimpang dan secara psikologis dianggap bermasalah.

Mood yang tidak baik seringkali timbul akibat kejenuhan-kejenuhan terhadap rutinitas kehidupan yang dijalaninya. Misalkan suasana rumah yang dianggap tidak menyenangkan menyebabkan remaja lebih suka hidup dijalanan.. Belum lagi kurangnya perhatian yang di dapat di rumah. Jalanan jadi tempat alternatif bagi mereka untuk menemukan suasana yang berbeda dari suasana rumah, bisanya mereka bergrombol. Mereka merasa mendapatkan seseuatu yang lebih, yang tidak didapatkan dirumah. Dijalanan mereka merasa mendapatkan perhatian, solidaritas dari kelompoknya, merasa lebih punya peranan daripada dirumah dan lain sebagainya.

Seperti dimahfumi bersama, bahwa jalanan merupakan tempat lalu lalangnya beragam manusia dengan aktifitas yang beragam pula. Meskipun pilihan aktifitas dijalanan tidak selalu negatif, dengan kondisi mental yang labil, kecenderungan remaja lebih memilih aktifitas yang menjurus pada perilaku negatif dalam penilaian masyarakat. Sering kita temui banyak remaja yang hidupnya dihabiskan dijalanan akrab dengan minuman keras bahkan lebih tragis, narkotika dan psikoterapika sudah bukan hal asing bagi mereka. Tawuran yang seringkali terjadi antara remaja juga acapkali berawal dari kebiasaan hidup dijalanan. saking betahnya hidup dijalanan, mereka lupa waktu dengan mengorbankan jam-jam sekolah hanya sekedar menikmati suasana hidup dijalanan. Atau dengan kata lain mereka suka bolos sekolah karena bagi mereka sekolah juga menjenuhkan. Parahnya lagi bolos sekolah menjadi sesuatu yang membanggakan bagi mereka.

Kebiasaan dijalanan tersebut bisanya lebih banyak dilakukan oleh remaja laki-laki. Sedangkan remaja perempuan biasanya menjadikan jalanan seperti "catwalk" untuk memamerkan kelebihan-kelebihan keperempuanannya. Mereka rela saja ketika tubuh moleknya dinikmati oleh lawan jenisnya secara visual. Bahkan sebagian dari mereka akan bangga jika ada lawan jenisnya yang menggodanya, karena hal itu bagi mereka merupakan bagian kecil dari bentuk perhatian. Aktifitas jalanan remaja perempuan lainya, bisanya bersama teman-teman sebayanya banyak menghabiskan waktu dengan "shopping", meskipun tidak membeli satu barang pun, jalan-jalan ke supermarket sudah memberi kepuasan tersendiri bagi mereka. Satu kebiasaan lagi yang sering dilakukan oleh remaja perempuan adalah suka bergerombol dan "bergosip ria" tentang hal-hal yang sebenarnya sangat tidak penting.

Selain kebiasaan hidup "jalanan" yang digambarkan diatas, kemajuan tekhnologi informasi menjadi faktor yang cukup berpengaruh terhadap pola perilaku remaja zaman ini. Tanpa bermaksud menafikan sisi psoitif dari kemajuan tekhnologi informasi, namun remaja lebih memilih yang "menyenangkan" yang disuguhkan oleh kemajuan tekhnologi informasi. Dalam ungkapan Freud dijelaskan bahwa manusia memiliki hasrat primitive yang berada dalam struktur ketidaksadaran manusia, yang disebut sebagai "id", yang memiliki prinsip "kesenangan" semata (pleasure principle). Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa masa-masa remaja lebih dikuasai oleh hasrat primitif ini. Masa remaja merupakan periode kehidupan dimana prinsip "hanya mengejar kesenangan" menjadi tujuan hidup. Dan dengan kemajuan tekhnologi informasi prinsip ini menemukan jalannya.

Diawali oleh keberadaan televisi yang saat ini menjelma menjadi kebutuhan pokok bagi sebagain besar masyarakat kita. Kurang lengkap rasanya jika rumah tidak ada televisinya. Pada dasarnya, memiliki televisi bukan sesuatu yang jelek, karena dengan televisi kita dengan cepat dan murah mengetahui iformasi dari berbagai belahan dunia, dalam hal ini televisi dapat menjadi media edukasi bagi kita. Namun disisi lain televisi adalah media hiburan yang dapat mengisi kekosongan waktu untuk sekedar menjembatani penatnya rutinitas kehidupan sehari-hari, dan dimensi hiburan yang disuguhkan televisi sebenarnya juga mengandung nilai-nilai edukatif.

Tapi dasar sudah menjadi kecenderungan remaja, yang hasrat hidupnya lebih dikuasi oleh prinsip mengejar kesenangan, media televisi kemudian hanya berfungsi tunggal, yakni sebagai media hiburan semata. Tragisnya lagi, hampir semua televisi swasta nasional kita menyuguhkan hiburan yang sangat minim nilai edukatifnya, bahkan ada yang tidak ada sama sekali. Banyak tontonan yang disuguhkan-sepanjang amatan saya-tidak layak tonton khususya oleh generasi penerus bangsa ini. Misalnya tayangan sinetron yang seperti jamur dimusim hujan, tema besar yang ditonjolkan tidak jauh dari gaya hidup marterialisme dan hedonisme. Dalam sinetron, dengan mudah kita menyaksikan lakon tentang rebutan harta, rebutan pacar, anak yang menentang orang tua serta masih banyak lagi nilai-nilai yang efeknya tidak baik bagi perkembangan remaja selanjutnya.

Setelah televisi, capaian tekhnologi informasi yang begitu hebat yang saat ini juga mudah diakses adalah internet. Dengan internet kita bisa meng-up date informasi apapun, dari manapun, kapanpun bahkan dalam setiap detiknya. Namun, seperti yang dalam analisis para pemikir postmodern, bahwa kehidupan selalu berwajah ambivalen, bermuka dua. Sesuatu yang positif ternyata juga menghadirkan efek yang negatif. Begitu juga halnya internet yang merupakan media tanpa sensor, dengan mudah dapat diakses pornografi, aksi kekerasan yang menjurus pada sadisme. Nah, bagi remaja yang tidak memiliki super ego yang memadai dan lebih dikuasai oleh id-nya akan lebih memilih mengakses hal-hal yang dapat memuaskan hasrat seksualnya secara visual dan juga mengakses praktek-praktek kekerasan yang dapat memacu andrenaline-nya.

Kondisi semacam ini, sekali lagi-akan berekses tidak baik bagi perkembangan ego remaja baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. Miris rasanya kita membaca, mendengar atau menyaksikan informasi tentang maraknya perilaku seks pra nikah pada remaja. Dada kita juga akan terasa sesak membaca, mendengar, atau menyaksikan informasi tentang tawuran yang dilakukan gerombolan remaja siswa antar sekolah serta perilaku-perilaku menyimpang lainnya. Jika kondisi seperti ini dibiarkan maka para remaja tersebut hanya akan menjadi penyakit dalam tatanan masyarakat kita bahkan bagi Negara ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun