Penduduk Jeju lalu melakukan pemogokan umum. Akhirnya Kantor Pemerintah Militer Angkatan Darat Amerika di Seoul, mengirim perwira kepolisian dan pemuda sayap kanan ke Pulau Jeju, mereka melakukan teror yang akhirnya pecah pemberontakan penduduk Jeju. Mereka didukung Partai Buruh Korea Selatan.
Kakek Kim, adalah satu dari sekian banyak tokoh kesaksian peristiwa getir itu. Ia adalah salah satu Zainichi Korea -- sebutan penduduk eksodus Jeju yang menetap di Jepang. Kim pulang ke tanah airnya. Di usia senjanya, lelaki itu ingin menuntaskan kerinduan kepada kampung halaman, kepada kebun dan kedua bapak dan ibunya. Kim ingin mati dan dikubur di tanah kelahirannya.
Tetapi mimpi dan kerinduan lelaki tua itu pada kampung lamanya, tak seperti dibayangkannya. Jeju bukanlah Jeju dulu lagi. Keramahan penduduk dan pesona keindahan pulau itu, kini bukan seperti keramahan masa kecilnya. Jeju telah menjadi pulau sorga. Pulau industri pariwisata yang meraup miliaran bahkan triliunan won, bagi pemerintah Korea Selatan.
Kakek Kim tidak pernah tahu lagi identitas kampung dan keluarganya. Jangankan bertemu bapak dan ibu tercinta, kuburan mereka pun tak akan pernah dijumpainya. Pulau yang terletak sebelah selatan Semenanjung Korea itu, menjadi sepi dan asing bagi Kim. Jeju telah dipenuhi ornamen-ornamen budaya dan sejarah yang terbingkai berbagai atribut kepentingan politik dan ekonomi negara. Menjadi "Monuments To An Elegy" - syair pilu yang tersisa di monumen duka Hallasan atau Gunung Halla, akibat pragmatisme ekonomi, meraup keuntungan bagi devisa negara.
Lelaki bongkok itu menyusuri sebuah theme park, taman tematik bernama Jeju Loveland, sebuah taman wisata dipenuhi puluhan patung bugil beraneka pose. Kim hanya tersenyum sendiri memandangi tubuh-tubuh telanjang yang berserakan di setiap pojok taman. Ia tahu kalau karya tangan seniman Honglk University Seoul itu, bukan peradaban Jeju.
Sore itu udara lebih dingin dari kemarin. Kim terpaku menatap laut dan karang. Batu-batu yang diam. Seakan ingin kembali menyelam ke dasar laut mencari abalon dan kerang. Selama berabad-abad, penduduk Jeju dijuluki sebagai yukgoyeok (pekerja keras) yang mengerjakan berbagai pekerjaan berat untuk hidup, seperti menyelam ke dasar laut, membangun pelabuhan, beternak, membuat kapal dan bertani.
“Kebahagian itu kecil seperti butir pasir, sementara kesedihan itu sebesar batu karang,” ujar Kim pelan sambil berlalu meninggalkan kami. Kalimat Kim seakan hendak mengingat kembali falsafah kehidupan rakyat Jeju. Tabah dan mampu bertahan dalam situasi sesulit apa pun. Kim bukanlah nama sebenarnya. Ia merahasiakan nama lahirnya. Sebelum berpisah ia mengingatkan kami pada Sijo, sebuah puisi klasik Korea karya penyair Jeong Mongju.
Biarpun aku harus mati, seribu kali
Jeong Mongju
‘단심가’정몽주
Biarpun aku harus mati, seribu kali
이 몸이 죽고 죽어 일백 번 고쳐 죽어