Mohon tunggu...
Muhamad Karim
Muhamad Karim Mohon Tunggu... Dosen - Saya seorang Akademisi

Bidang Keahlian saya Kelautan dan perikanan, ekologi, ekonomi politik sumber daya alam.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Wacana Menko Kelautan

17 Februari 2014   16:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:45 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

WACANA MENKO KELAUTAN

Oleh: Muhamad Karim

Dosen Universitas Trilogi, Jakarta/

Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM)

Wacana perlunya Kementerian Koordinator (Kemenko)Kelautankembali mencuat jelang Pemilu 2014 (Harian Neraca 27/01/2014). Wacanaini amat penting soalnya “kelautan” melibatkan berbagai kementerian/lembaga dan sektor pembangunan ekonomi di Indonesia. Setidaknya, 20 kementerian/lembaga berkepentingan terhadap sektor kelautan (baca: PP No 78 Tahun 2005). Wacana ini akan naik daun tatkala dinamika politik tahun 2014 kian memanas. Pasalnya,pasal 25 A UUD 1945 menegaskan Indonesia sebagai “negara  kepulauan” berrciri  Nusantara. Merujuk aturan ini,wajar Menko Kelautan  hadir dalam kabinet Indonesia pasca Pemilu 2014. Masalahnya beranikah Presden hasil Pemilu 2014 merealisasikannya?

Isu Penting

Sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia menyisahkan pelbagai agenda kelautan mendesak di level domestik hingga global. Di level domestik agendanya, pertama, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kelautan masih menggantung di DPR, kendati masuk program legislasi 2009-2014. Mungkinkah DPR mengesahkannya, sementara masa kerjanya berakhir tahun ini? Pastinya amat mustahil. Soalnya RUU lain juga mengantri diundangkan. Kedua, kebijakan kelautan Indonesia (Indonesia Ocean Policy/IOP). Hingga kini satu-satunya Negara kelautan di duniatanpa Ocean Policy. Semenjak 2004, telah ada kementerian/lembaga menginisiasinya. Diantaranya, Bappenas, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Menko Perekonomian hingga Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN). Sayangnya hingga kini ceritanya bak ditelan bumi. Dokumen output-nya, jika ada mengendap entah kemana. Padahal prosesnya melibatkan pakar kelautan dari pelbagai universitas dan praktisi. Ketiga, Pencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) kelautan 2015-2019. Agenda ini sejatinya akan memandu Presiden hasil Pemilu 2014. Masalah, apakah RPJM ini mampu mendorong bidang kelautan sebagai “arena baru”mendorong kekuatan ekonomi nasional? ApakahRPJM kelautan ini nantinya mengakomodasi beragam kementerian/lembaga Negara yang berkepentingan di dalamnya? Bila, hanya mengakomodasi KKP, RPJM akan jadi macan omopong. Tak bergigi buat menggerakan kelembagaan lain. Inilah urgensi mengembalikan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), lalu mewujudkannya dalam bentuk Ocean Policy. Pasalnya, era reformasi menghilangkan GBHN sebagai panduan pembangunan, termasuk kelautan.

Di level global, agendanya, pertama, kejahatan transnasional dan keamanan laut. Kini kian marak di perairan Samudera Hindia. Mulai dari penyeludupan narkoba, perdagangan manusia (human trafficking), barang tambang, hingga senjata yang berkedok kapal penangkap ikan. Contoh, kasus perdagangan orang. United Nations Office Drug and Crime (UNODC) tahun 2012 mencatat 3.800 korban kurun waktu 2007-2008 di Asia Selatan dan Timur hingga Pasifik. Secara global, mereka berjenis kelamin wanita 59 % dan pria 41 persen, Mereka mengalami eksploitasi tenaga kerja (47 %), kejahatan seksual (44 %) dan perdagangan orang lainnya (9 %). Sebelumnya UNODC (2011) juga mencatat pencari suaka dari Afganistan, Irak, Iran dan Srilangka ke Australia menumpang kapal ikan. Celakanya, mereka memosisikan Indonesia sebagai Negara transit. Makanya, kerapkali aparat Indonesia menangkapnyadi perairan pantai selatan Jawa, misalnya di Sukabumi dan Cianjur.

Kedua, soal kerjasama Negara-negara yang berkepentingan dengan Samudera Hindia. Pemerintah Indonesia periode 2015-2017 mengetuai Indian Ocean Rim Association (IORA) beranggotakan 20 negara pesisir di Asia-Pasifik. Komunitas Negara ini berkepentingan dengan Samudera Hindia. China dan Amerika Serikat sebagai observer. Kendati demikian, hegemoni keduanya kian masif. Kini China membujuk Thailand agar mau membuka terusan yang menghubungan Laut China Selatan dengan Samudera Hindia. Jalur ini memperpendek jalur perdagangan internasional dari Laut Arab, Samudera Hindia ke Laut Cina Selatan. Jika ini terjadi, otomatis sentral perdagangan Asia Tenggara, Singapura akan mati. Bukankah hal ini menguntungkan Indonesia, bila pemerintah berani membuka Pulau Sabang sebagai kawasan perdagangan bebas? Amerika pun membuka pangkalan militernya di Darwin, Australia.Bagaimana Indonesia menyikapi hal ini?

Ketiga, aturan internasional soal tenaga kerja yang mencari nafkah di kapal ikan asing. International Labor Organization (ILO) menetapkan Convention No. 188, 2007 soal aturan bekerja di perikanan (the work in fishing convention). Ketentuannya, pekerjaan menangkap ikan masuk kategori berbahaya. Sayangnya, Indonesia belum meratifikasinya. Ini jadi PR penting di masa datang.

Keempat, kian maraknya kejahatan perikanan dan pertambangan ilegal (illegal fishing and mining crime). Faktanya, tahun 2000 ekspor ilegal ikan tuna Albacore dari Indonesia mencapai 52 persen dari total volumenya ke Thailand. Tepatnya 271.419 kgsenilaiUS$ 1.070.630. Tahun 2010, diduga mengekspor ilegal ikan tuna Albacore ke Thailand melonjak hingga 69,20 persen dari total volumenya. Tepatnya 2.352.724 kg senilaiUS$ 8.326.839. Cacatan Komisi Kepolisian Indonesia tahun 2007 menyebutkan aparat Indonesia mengungkap 147 kasus dan menuntaskan 121 kasus pertambangan ilegal.Mulai dari, batubara 378 ton, biji emas 25 karung. timah 14 ton, hingga pasir timah 110 ton.

Kelima, pecemaran laut lintas batas Negara. Contohnya, meledaknya sumur minyak blok Montara milik Australia tahun 2009 di perairan Laut Timor. Imbasnya, sebaran pencemarannya mengancam kehidupan nelayan NTT, dan ekosistem Taman Nasional Laut Sawu.

Semua agenda domenstik maupun global soal kelautan ini mustahil penanganannya bertumpu pada satu institusi. Melainkan, melibatkan semua pemangku kepentingan yang mengurus soal kelautan. Masalahnya, di Indonesia siapa yang mesti bertanggungjawab? Soalnya, membutuhkan koordinasi dan kerjasama antar kementerian/lembaga. Di Indonesia, soal semacam ini bak telur dengam ayam. Makanya, gagasan membentuk Menko Kelautan dalam cabinet pasca Pemilu 2014 jadi keniscayaa. Jika abai, agenda domestik maupun global kelautan Indonesia kian suram.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun