MENIMBANG KEMENKO BARU KABINET JOKOWI -JK
Oleh: Muhamad Karim
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim/
Dosen Bio-Industri Universitas Trilogi Jakarta
Jokowi-JK dipastikan jadi pasangan Presiden – Wakil Presiden 2014-2019. Mereka telah mengusung isu Poros Maritim Dunia (PMD) serta kedaulatan pangan dan energi.Keduanya jadi isu strategis yang membedakan dari pendahulunya. Isu PMD strategis karena Indonesia sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia yang diakui lewat UNCLOS 1982. Sama pentingnya dengan pangan dan energi. Pasalnya penduduk Indonesia diperkirakan 300 juta orang masuk milenniun ketiga. Praktis membutuhkan pasokan pangan dan energy berjumlah besar. Bila membiarkannya sejak dini, Indonesia bisa jadi Negara importir pangan dan energi terbesar di dunia.
Poros Maritim
Setidaknya ada tiga domain kala mengusung poros maritim dunia (PMD). Pertama, kelautan. Domain kelautan terkait sumberdaya yang ada di pesisir, pulau-pulau kecil, permukaan air, badan air, dasar laut hingga dibawahnya. Di permukan dan badan air ikan, alga (bahan pangan dan energi alternative), gelombang, pasang surut dan OTEC. Di bawah dasar laut mengandung barang tambang MIGAS, mineral (emas, batubara dan intan). Kekayaan alam ini mesti dikelola sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Kedua, kemaritiman, Domain ini terkait transportasi laut, pelayaran dan kepelabuhanan termasuk industrinya. Kala kampanye Jokowi-JK mengusung istilah “tol laut”. Kendati filosofinya amat terestrial/daratan sentris. Pasalnya, di laut itu tanpa halangan apapun. Jadi, tol lebih tepat di daratan. Lebih elegan menggunakan kosakata transportasi laut. Problem transportasi laut Indonesia bukan hanya soal jelimetnya perizinan pelayaranan danstandarisasi pelabuhan. Yang Jokowi-JK mau tertibkan. Melainkan, 95 persen kapal yang beroperasi di perairan Indonesia dimonopoli/dikuasai asing termasuk domestik. Pelayaran rakyat (PELRA) penghubung antar pulau kian terpinggirkan. Padahal mobilitas orang dan pengiriman barang dan jasa ke pulau kecil masih mengandalkan PELRA. Kapal pelayaran nasional (PELNI) belum semuanya menjangkau hingga perairan pedalaman dan perbatasan maritim Indonesia. Sebuah kenicayaan pemerintahan Jokowi-JK, menomorsatukan kepemilikan kapal domestik buat pelayaran nasional dan internasional, merevitalisasi industri perkapalan, dan PELRA. Terakhir, Indonesia mesti membangun dan menstandarisasi pelabuhan-pelabuhan lautnya. Hingga memenuhi standar hubport internasional. Kita mesti mengurangi ketergantungan pada Singapura dan Malaysia sebagai hubport buat mengekspor sumberdaya alam ke Eropa, Timur Tengah, Asia Timur dan Amerika Serikat. Pasalnya, kita kehilangan nilai tambah ekonomi (economical value added). Ironis, Singapura bukan penghasil budidaya ikan hias (ornamental fish) tapi, berstatus eksportir terbesar di dunia. Kenyataannya suplainya dari Indonesia. Bangsa kita hanya jadi pedagang perantara. Inilah problem mengapa sumberdaya alam kita belum bisa semuanya diekspor lewat pelabuhan Indonesia.
Ketiga, kebaharian. Domain ini terkait soal sosio-kultural masyarakat Indonesia. Sekitar 350 Kabupaten/Kota di Indonesia berlokasi di wilayah pesisir. Imbasnya, separoh masyarakatnya berbudaya unik yang membedakan dengan pedalaman. Masyarakat pesisir umumnya berkarakter terbuka, egaliter, berpandangan jauh (outward looking), berani mengambil resiko, solider dan berjiwa gotong royong hingga entrepreneurship. Karakter ini telah berlangsung ribuan tahun silam. Orang-orang Nusantara (Nusantao dalam tradisi melayu kuno) telah melayari dan menjelajahi dunia. Mereka berdagang/barter, mengumpulkan hasil laut hingga mobilitas sosial. Hingga kini masih menyisahkan suku/etnik berbudaya bahari. Umpamanya, Bugis, Makassar, Buton, Bajo hingga Sawang. Mereka amat sulit dipisahkan dengan lautan. Pun, masyarakat pesisir Sumatera, Jawa bagian utara hingga pulau-pulau kecil di Nusantara. Mereka mengterinternalisasikan karakter bahari dalam kehidupannya. Makanya mereka lebih mudah menerima demokrasi dan nilai positif baru asalkan berakulturasi dengan budaya lokalnya.
Pendek kata, Jokowi-JK mestinya mendekonstruksi dan merevitalisasi tiga domain ini guna mewujudkan PMD. Secara institusional, dalam struktur kabinetnya ada Kementerian Koordinator Maritim/Kelautan yang bisa digabungkan dengan Lingkungan Hidup. Dibawahnya mengkoordimasikan Kementerian Kelautan dan Perikanan dan 21 kementerian/lembaga yang terkait soal laut. Langkah awal yaitu menggolkan Undang-Undang Kelautan masa legislasi 2015. Tapi, prosesnya di parlemen bukan di komisi IV DPR saja, melainkan lintas komisi.
Kedaulatan
Soal kedaulatan pangan dan energi kini bukan lagi problem ekonomi. Melainkan sudah masuk ranah ekonomi politik internasional. Bila Indonesia abai soal ini, krisis pangan dan energi mengancam eksistensi dan stabilitas NKRI. Pasalnya, memasuki millennium ketiga penduduk Indonesia diperkirakan 300 juta jiwa. Tanpa mesti membutuhkan metode peramalan matematis, kebutuhan pangan dan energi akan melonjak. Terutama pangan pokok beras, kedela, gula, susu, ikan dan daging. Demikian pula energi listrik, air dan bahan bakar minyak serta gas. Otomatis kebutuhannya melonjak juga seiring pangan. Padahal sumber energi fosil Indonesia diperkirakan tinggal 25 tahun. Prasyaratnya, Indonesia mesti menekan ekspornya dan memprioritaskan kebutuhan dalam negeri. Pangan pun demikian. Pasalnya, luas lahan pertanian subur di Indonesia menyusut setiap tahunnya. Alih fungsi lahan buat industri perumahan, perkebunan, kawasan industri (bisnis) kian masif. Akibannya impor pangan melonjak setiap tahun. Pemerintah seolah-olah mati langkah. Memang ada perubahan cara pikir. Umpama, UU Pangan No 18 Tahun 2012 mengakomodasi pentingnya kedaulatan, kemandirian buat jaminan ketahanan pangan. Hingga pemerintah dan parlemen menyadari, bila abai soal ini Negara bisa terancam disintegrasi. Ingat, bubarnya Yugoslavia (balkanisasi) dan Uni Soviet salah satu pemicunya soal krisis pangan.
Kini soal pangan dan energi jadi dilematis. Di satu sisi pertumbuhan penduduk mengikuti amat cepat (deret ukur). Di sisi lain ketersediaan pangan dan energi lambat (deret hitung). Pangan sewaktu-waktu menipis akibat perubahan iklim global. Umpama gagal panen. Sumber energi pun tinggal menunggu waktu habis masanya. Bukankah rakyat Indonesia berpotensi terancam kelaparan masal dan krisis energi? Otomatis memengaruhi konstalasi politik dan eksistensi Negara. Makanya kampanye dan gagasan diversifikasi pangan dan energi jadi keniscayaan. Di pangan umpamanya, bagaimana mendiversifikasi dan memproduksi pangan bersumber dari lautan. Energi juga begitu. Percuma hendak mengembangkan industrialisasi pedesaan. Tapi, pasokan listriknya kembang kempis.
Pemerintahan Jokowi JK ke depan mesti menseriusinya. Mereka mesti melakukan lompatan jauh ke depan agar membebaskan negeri ini dari ancaman krisis pangan dan energi. Berbagai kebijakan diprioritaskan. Pertama, membangun pertanian skala rumah tangga berbasis agro-ekologi. Tujuannya menciptakan kedaulatan dan kemandirian pangan keluarga. Modelnya semacam taman gizi keluarga. Jadi mensuplai sayuranm buah dan obat-obatan tak perlu memberi ke pasar. Cukup dari kebun sendiri.
Kedua, pemerintah mesti membentuk badan logistik perikanan (mirip BULOG). Supaya produk ikan dari wilayah sentral-sentral produksinya tetap terjamin dan berkualitas baik. Didukung infrastruktur cold storage. Utamanya di Bitung, Sorong, Banguwangi, Maluku, Benoa, Kendari, dan Makassar.
Ketiga, pemerintah mesti berani menghentikan alih fungsi lahan pertanian subur di pulau Jawa. Relokasi industri mestinya diprioritas di pulau Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Hal ini penting sekaligus mengantisipasi pergeseran peta kekuatan geo-ekonomi dan geo-politik dunia dari Atlantik ke Pasifik.
Ketiga, pemerintah mesti fokus mengembangkan energi alternatif terbarukan (EAT). Bukan sebatas retorika dan wacana publik. Kita mesti berkaca pada pemerintahan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama yang serius mengembangankan EAT. Langkah awal, pemerintah mesti memperbesar anggaran riset pendidikan tinggi buat EAT. Lalu, mengujicobakan beberapa desa/kelurahan hingga mengurangi ketergantungan energi fosil. Imbasnya, angka koefisien elektrisitas Indonesia melonjak setiap tahunya.Terakhir, memasalkan penggunannya buat rumah tangga, pertanian, perikanan, hingga industri (terutama UMKM). Simaklah Denmark yang memanfaatkan energi angin buat separoh pasokan listriknya. Yang rasional ialah mengolah alga laut sebagai bahan bakar solar (BBS) bebas polusi. Pasalnya luas laut Indonesia 75 persen ketimbang daratanya hingga bisa membuat kebun alga terbesar di dunia. Ini bisa mendongkrak ekonomi kerakyatan karena rakyat memasok bahan bakunya dari budidaya. Tugas pemerintah dan ilmuwan di perguruan tinggi ialah menyiapkan teknologi dan kelayakannya. Sementara usahawan dipicu mengembangkan invrstasi skala besarnya. Rakyat bisa saja lewat Koperasi mengusahakannya di pedesaan asal ada teknologi tepat gunanya. Pendek kata, rakyat Indonesia mesti berdaulat, mandiri menjamin ketahanan pangan dan energinya di masa datang. Pemerintah Jokowi-JK mesti memberantas mafia MIGAS dan pangan hingga akar-akarnya. Mereka dalang perburuan rente dan KKN. Mereka juga menguras potensi pendapatan Negara bukan pajak. Karenanya itu membentuk Kementerian Koordinator Kedaulatan Pangan dan Energi dalam kabinet Jokowi-JK sebuah keniscayaan. Nantinya membawahi Kementerian Pertanian, Perdagangan, Perindustrian, Energi dan Sumberdaya Mineral serta Riset dan Teknologi. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H